Dulu, sewaktu masih kuliah, saya melihat dosen-dosen ini koq enak banget kerjanya. Semula saya kira nyaman sekali ngantongin profesi sebagai dosen. Tinggal di Perumnas, berpakaian rapi, nenteng tas berisi laptop, naik mobil, dihormati di masyarakat, disegani di kampus.Â
Kerjanya hanya memberi materi, bikin power point, menjelaskan di depan kelas, ngasih PR atau penugasan, kemudian ngoreksi di rumah sambil minum kopi. Dari satu kelas, pindah ke kelas lain. Dari satu kampus, ke kampus lain. Ruangan ber-AC, disuguhi sebotol air mineral. Pada akhir bulan tinggal ngitung jam pedapatan. Gaji, tunjangan dan uang ngajar lemburan tinggal nunggu di akhir bulan. Keren banget.
Forget about perguruan tiggi negeri (PTN). Perguruan tinggi swasta yang saat ini mencapai 4500-an instansi, bisa jadi peluang. Cukup besar kesempatan untuk jadi dosen-dosen baru. Yang penting punya Index Prestasi 3.5, kayaknya bisa. Itu syarat utama. Syarat administrasi lainnya sepertinya gampang: KTP, foto berwarna 4x6, ijazah S2 dan transkrip, surat keterangan sehat dan SKCK dari kepolisian. Syarat lainnya, punya TOEFL score 500. Tidak terlalu berat untuk rata-rata mahasiswa Indonesia saat ini.
Itu kalau mau ngajar jenjang pendidikan S1. Kalau mau ngajar diploma 3 atau jadi guru di SMA atau SMK, mestinya lebih ringan atau lebih mudah. Apalagi di kampus swasta. Saya fikir bisa diatur lah.
Impian saya buyar seketika, sesudah wisuda.
Kalau untuk sekedar dapat Ijazah S2 dengan IP 3.5 memang tidak terlalu sulit lah. Sekarang ini, nilai tinggi kayaknya 'mudah' sekali dapatnya. Bahasa Inggris score 500 juga tidak terlalu sulit. Yang bikin saya mikir-mikir jadi dosen adalah beban kerja yang tadinya tidak pernah saya bayangkan.
Ada tiga beban kerja utama yang menjadi tanggungjawabnya.
Pertama, niatnya harus datang dari dalam hati, bukan teman atau tetangga. Apalagi medsos. Tidak boleh terpaksa, karena repot cari kerja. Atau karena gampang cari uang. Kayaknya, kalau untuk cari uang, sebaiknya tidak jadi dosen lah. Honornya ternyata tidak seberapa. Saya dengar, honornya Rp 150.000, sekali pertemuan untuk dosen tidak tetap. Kalau 4x pertemuan sebulan berarti hanya Rp 600 ribu.
Persiapan untuk diri sendiri juga dituntut. Jadi dosen kalau sekedar ngajar, mungkin bisa. Tetapi ilmu ajar mengajar, seperti design instructional, psikologi mengajar, teknik evaluasi pengajaran, itu harus punya. Ngajar, tidak sekedar ngomong di depan kelas, menyontoh bagaimana dulu  ngajarnya para dosen senior. Dosen kini juga harus punya sertifikat dosen agar teregistrasi sebagai profesi. Yang ini tidak mudah. Antriannya banyak, seleksinya ketat. Duit? Bolehlah.
Jadi dosen juga harus rajin mencari referensi. Bikin buku, minimal jurnal. Rajin membaca kalau tidak ingin disebut blo'on oleh mahasiswa, karena materi yang diberikan tidak up to date. Itu belum termasuk kebutuhan pribadi lainnya. Mana ada dosen pakai sepeda Ontel? Pakaian, khususnya cewek, kalau jarang ganti, pasti jadi bahan omongan. Tidak terkecuali sepatu, tas dan asesori lainya, misalnya jilbab. Pendeknya, harus siap-siap 'besar pasak dari pada tiang'.
Kedua, tugas yang berhubungan dengan mahasiswa. Minimal, harus belajar sehari sebelum mengajar. Mengumpulkan referensi, menyiapkan power point itu wajib. Kalau materinya copy paste, PPT nya hitam putih, dijamin bakal diketawakan mahasiswa. Dosen dianggap jadul, tidak paham teknologi. Sesudah itu, harus mempelajari kurikulum. Bikin tugas dan ngoreksi tugas. Bikin soal untuk ujian bulanan, triwulan dan semester juga tidak boleh ketingalan. Kalau mahasiswanya 30 orang mungkin wajar. Di kampus swasta, kadang harus ngajar kelas besar, 120 orang. Mana tahan?
Itupun, kalau nilainya baik-baik, ngajarnya bener, tidak masalah. Kalau nilai mahasiswa jeblok, dapat tekanan dari mana-mana. Dari atasan, Kaprodi atau Dekan bakal ditanya karena ada hubungan dengan akreditasi. Dari mahasiswa juga ditanya kapan mengulangnya. Dosen harus bikin daftar ujian ulang. Belum lagi jika ada ujian praktik atau ada praktik lapangan. Bisa basah saat hujan, berkeringat pula kalau musim panas.
Kini lagi ada wabah Corona. Tuntutannya beda. Dosen harus paham video conference. Memang tidak keluar transport. Namun harus siap extra pulsa dan quota. Power point juga makin banyak. Koreksi tugas mahasiswa pula numpuk. Ada Corona bukan berarti makin enak-enakan di rumah. Mundur kena, maju kena, kayak film nya Prambors.
Yang ketiga, dari sisi manajemen kampus. ternyata dosen punya beban extra. Pegang jabatan extra jangan dikira nyaman. Duit tidak seberapa, tetapi mental harus siap-siap tahan bantingan. Era akreditasi dan sertifikasi bikin dosen makin bunyek. Mau ngajar dipanggi pimpinan. Saat ngajar diundang rapat yayasan. Sesudah ngajar pun, eh....masih disuruh ikut seminar, Online lagi. Ketika liburan ternyata, harus susun laporan.
Jadi dosen, kapan istirahatnya?
Makanya, saya mungkin gagal jadi dosen. Koq berat banget ya? Kalau begitu, mau jadi apa ya? Impian saya buyar ketika sadar, bahwa dosen, memang pantas menggondol predikat sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Beban kerja berat, penghasilannya tidak seberapa. Dari luar, orang menganggap dosen berada di area Comfort Zone. Ketika sudah ada di dalam kampus, lingkungan kerjanya di Dangerous Zones.
Tulisan ini tidak bermaksud ngomporin teman-teman untuk tidak jadi dosen. Sekali lagi, bukan untuk itu. Ini sebagai pengingat, jika mau jadi dosen, harus siap dari dalam diri. Kalau ngin cepat kaya, cari duit banyak, tolong jangan pernah mimpi. Profesi dosen bisa jadi salah alamat.
Kayaknya, jadi Trainer aja lah yang mudah. Hanya perlu ikut pelatihan Train the Trainer. Punya S2 bagus, tidak punya tidak masalah. Bisa bahasa Inggris excellent. Tidak pintar-pintar amat, juga tak masalah, yang penting komunikasi nyambung. Waktu ngajar seorang Trainer sangat fleksibel. Honor bisa berjubel, asal laris jadwal bimbel.
Malang, 13 June 2020
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H