Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Artikel Saya Tidak Ada yang Baca, Emangnya Sampah?

2 Juni 2020   17:19 Diperbarui: 2 Juni 2020   17:24 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya amati setahun terakhir ini di dekat kompleks perumahan kami, selalu gonta-ganti orang-orang yang berjualan di pinggir jalan. Dari mulut hingga ujung jalan. Di mulut jalan masuk perumahan Bumi Mondoroko Raya (BMR), biasanya selalu ada Penjual Gorengan. 

Sejak Ramadan lalu tidak lagi muncul. Beberapa hari lalu saya lihat menjelang Maghrib, gerobaknya dipakai, tetapi bukan Gorengan yang dijual. Melainkan minuman Es Degan (Kelapa muda). Saya mikir, ada apa ya? Saya dengar dari pak Satpam, katanya si istri penjualnya, sakit-sakitan karena efek asap gorengan.

Di sebelah selatan jalan, sebelum supermarket, ada lagi penjual Ayam Goreng dan aneka lalapan. Sempat jualan beberapa bulan kemudian berhenti dan tidak kelihatan lagi. Kata pak Fauzi, tetangga jualan Kopi panas, mereka barusan kemalingan. Motornya diambil pencuri saat mereka berjualan. 

Koq bisa? Keluarga penjual Ayam Goreng ini ngontrak rumah di dekat Mushallah An Nur, tidak jauh dari tempat mereka jualan. Nasib orang memang tidak sama. 

Di tengah keramaian pun, zaman gini orang masih juga kemalingan. Walaupun bukan urusan saya soal ini, minimal saya pribadi turut prihatin akan nasib sesama. Sudah sedemikian parahkan moral bangsa ini, sehingga untuk bertahan hidup ternyata harus merampok harta milik orang lain padahal mereka juga hidupnya pas-pasan?

Yang satu lagi, tepat di depan supermarket yang setiap hari saya lalu-lalang berjalan di depannya. Ada dua buah kios kecil. Satu Roti Bakar, yang satunya lagi jualan Juice. Mereka berdua sepertinya bertahan tidak sampai tiga bulan. Gerobak Roti Bakar kini mangkrak, parkir di tepi halaman supermarket. Gerobaknya sudah kelihatan rapuh sekarang. Sedangkan untuk juice, ganti wajah 'Teh Thailand'. Inipun tidak tahan lama. Sebulan terkhir ini berubah lagi, termasuk penjualnya. Kini ganti dengan Kue Basah.

Mengamati fenomena pedagang kecil ini, sebagai pemuda, kadang saya ikut sedih. Sedih memikirkan tentang apa dan bagaimana bentuk bisnis yang akan saya kerjakan nanti. Sekarang saja, kondisinya sudah seperti ini. Apalagi di Aceh sana yang masyarakatnya tidak se-majemuk Jawa, pastinya tidak mudah. Di Jawa jauh lebih padat penduduknya.

Saya amati mau jualan apa saja, kayaknya lebih laris di pulau Jawa ini dari pada Aceh. Orang Jawa saya akui lebih kreatif dan penuh inisiatif. Kayaknya apa saja bisa dijual. Orang sepertinya tidak pernah ketinggalan dengan yang namanya inovasi di Jawa ini. Kalau jualan 'A' tidak laku, dicoba jualan 'B'. Yang inipun jika tidak laku, coba lagi jualan 'C'.

Fenomena persis seperti yang saya dapat cerita dari Tukang Cuci Motor di ujung timur BMR. Saat saya tanyakan selain cuci motor apa saja yang dikerjakan. Pak Ridwan, demikian namanya, menjawab,: "Saya dulu pernah bekerja di sebuah pabrik. Kemudian pernah jadi Sales. Setelah itu kerja di alat-alat kesehatan." Tetapi karena di Surabaya, setiap hari harus pulang pergi dari dan ke Malang, saya resign." Paparnya. "Saat ini kami sambil jualan online. Istri saya ngasih les." Tambahnya.

***
Dari tiga kisah di atas, saya jadi refleksi. Sepertinya, menulis pun jika dianalogikan, tidak beda dengan jualan, berbisnis. Bisa laris manis banyak 'pembeli', bisa juga berisiko, tidak laku. 

Penjual Ayam goreng yang saya sebut di atas, bukan berarti masakannya tidak enak. Demikian juga penjual Roti Bakar serta Juice nya. Bukannnya tidak lezat. Tetapi ada faktor 'X' yang perlu diidentifikasi, mengapa tidak laku.
Lantas, apakah harus gulung tikar?

Bedanya, untuk berjualan, orang butuh dana. Jualan Ayam Goreng, jika tidak laku, dimasukkan Kulkas lama-lama juga tidak baik. Roti juga ada kadaluwarsanya. Juice, buah juga bisa busuk dalam beberapa hari. 

Tulisan, tidak perlu dana. Memang harus ada gadget, laptop atau komputer dan pulsa. Tapi tulisan tidak ada kadaluwarsanya. Tulisan juga tidak busuk atau masuk sampah. Hanya saja, tulisan tidak serta merta memiliki nilai bisnis seperti orang jualan kecuali kita tekuni profesi sebagai penulis untuk tujuan komersial. Yang ini beda lagi.

Saya nimbrung nulis di Kompasiana ini selama baru saja genap sebulan. Kalau soal produktivitas, kayaknya saya tergolong 'rajin'. Yeee...GR nih ye....! Bagaimana tidak? Selama Ramadan, tiap hari saya nulis. Kadang dua artikel. Seminggu terakhir, rata-rata saya tulis dua buah artikel. 

Jumlah tulisan saya di Kompasiana sebulan kurang tiga hari ini ada 61 buah. Ada 3 yang masuk Headline. Seneng juga memperoleh apresiasi dari Editor Kompasiana. Ada artikel yang dibaca oleh 1000 orang lebih. Ada yang hanya kurang dari 15 orang. What's wrong with it? Sebel juga kadang. Namanya juga manusia.

Tapi saya pingin jadi orang yang tidak mudah patah semangat. Saya ingin nulis, nulis dan nulis. Saya tidak peduli apakah tulisan saya dibaca sedikit atau banyak orang. Saya yakin kayak prinsip seorang Atlit. Berlatih terus tanpa menunggu tepuk tangan penonton. Kalau hanya untuk jadi juara tujuannya, sebaiknya jangan jadi atlit. Sepertinya menulis juga demikian. 

Kalau hanya untuk meraup jumlah Viewers, pembaca yang banyak, ketika yang dicapai sedikit, pasti akan kecewa atau sakit hati. Begitupun kalau nulis untuk tujuan cari duit. Mungkin yang sekelas J.K Rowling, Dan Brown atau Stephen King, yang sekali nulis hasilnya bisa dapat sejuta Dollar, bisa untuk beli rumah mewah di Beverly Hills.

Di Indonesia kita mengenal Andrea Hirata, Tere Liye, Dewi Lestari, Eka Kuniawan atau Pidi Baiq. Ada lagi penulis-penulis kondang lainnya yang karyanya menginspirasi, sehingga namanya begitu melejit, mampu bertengger begitu lama dalam posisi Best Seller bersama dengan penulis-penulis ternama lainnya.

Pelajaran yang saya petik adalah, jadi penulis kayaknya gampang-gampang susah. Gampang karena kita punya modal, minimal bisa baca dan bisa nulis. Susahnya, meraup minat dan kemauan pembaca, editor, fans dan penerbit, ternyata bukan persoalan mudah.

Sembilan putuh persen, saya percaya butuh waktu, ketekunan, keseriusan, ketelatenan, konsistensi, relasi, network hingga research. Sedangkan yang 10%, saya yakin, ada faktor keruntungan dan do'a.
Do you believe it?

Malang, 2 June 2020
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun