Saya amati setahun terakhir ini di dekat kompleks perumahan kami, selalu gonta-ganti orang-orang yang berjualan di pinggir jalan. Dari mulut hingga ujung jalan. Di mulut jalan masuk perumahan Bumi Mondoroko Raya (BMR), biasanya selalu ada Penjual Gorengan.Â
Sejak Ramadan lalu tidak lagi muncul. Beberapa hari lalu saya lihat menjelang Maghrib, gerobaknya dipakai, tetapi bukan Gorengan yang dijual. Melainkan minuman Es Degan (Kelapa muda). Saya mikir, ada apa ya? Saya dengar dari pak Satpam, katanya si istri penjualnya, sakit-sakitan karena efek asap gorengan.
Di sebelah selatan jalan, sebelum supermarket, ada lagi penjual Ayam Goreng dan aneka lalapan. Sempat jualan beberapa bulan kemudian berhenti dan tidak kelihatan lagi. Kata pak Fauzi, tetangga jualan Kopi panas, mereka barusan kemalingan. Motornya diambil pencuri saat mereka berjualan.Â
Koq bisa? Keluarga penjual Ayam Goreng ini ngontrak rumah di dekat Mushallah An Nur, tidak jauh dari tempat mereka jualan. Nasib orang memang tidak sama.Â
Di tengah keramaian pun, zaman gini orang masih juga kemalingan. Walaupun bukan urusan saya soal ini, minimal saya pribadi turut prihatin akan nasib sesama. Sudah sedemikian parahkan moral bangsa ini, sehingga untuk bertahan hidup ternyata harus merampok harta milik orang lain padahal mereka juga hidupnya pas-pasan?
Yang satu lagi, tepat di depan supermarket yang setiap hari saya lalu-lalang berjalan di depannya. Ada dua buah kios kecil. Satu Roti Bakar, yang satunya lagi jualan Juice. Mereka berdua sepertinya bertahan tidak sampai tiga bulan. Gerobak Roti Bakar kini mangkrak, parkir di tepi halaman supermarket. Gerobaknya sudah kelihatan rapuh sekarang. Sedangkan untuk juice, ganti wajah 'Teh Thailand'. Inipun tidak tahan lama. Sebulan terkhir ini berubah lagi, termasuk penjualnya. Kini ganti dengan Kue Basah.
Mengamati fenomena pedagang kecil ini, sebagai pemuda, kadang saya ikut sedih. Sedih memikirkan tentang apa dan bagaimana bentuk bisnis yang akan saya kerjakan nanti. Sekarang saja, kondisinya sudah seperti ini. Apalagi di Aceh sana yang masyarakatnya tidak se-majemuk Jawa, pastinya tidak mudah. Di Jawa jauh lebih padat penduduknya.
Saya amati mau jualan apa saja, kayaknya lebih laris di pulau Jawa ini dari pada Aceh. Orang Jawa saya akui lebih kreatif dan penuh inisiatif. Kayaknya apa saja bisa dijual. Orang sepertinya tidak pernah ketinggalan dengan yang namanya inovasi di Jawa ini. Kalau jualan 'A' tidak laku, dicoba jualan 'B'. Yang inipun jika tidak laku, coba lagi jualan 'C'.
Fenomena persis seperti yang saya dapat cerita dari Tukang Cuci Motor di ujung timur BMR. Saat saya tanyakan selain cuci motor apa saja yang dikerjakan. Pak Ridwan, demikian namanya, menjawab,: "Saya dulu pernah bekerja di sebuah pabrik. Kemudian pernah jadi Sales. Setelah itu kerja di alat-alat kesehatan." Tetapi karena di Surabaya, setiap hari harus pulang pergi dari dan ke Malang, saya resign." Paparnya. "Saat ini kami sambil jualan online. Istri saya ngasih les." Tambahnya.
***
Dari tiga kisah di atas, saya jadi refleksi. Sepertinya, menulis pun jika dianalogikan, tidak beda dengan jualan, berbisnis. Bisa laris manis banyak 'pembeli', bisa juga berisiko, tidak laku.Â
Penjual Ayam goreng yang saya sebut di atas, bukan berarti masakannya tidak enak. Demikian juga penjual Roti Bakar serta Juice nya. Bukannnya tidak lezat. Tetapi ada faktor 'X' yang perlu diidentifikasi, mengapa tidak laku.
Lantas, apakah harus gulung tikar?