"Awal tahun 2001 saya tiba di Kuwait. Bersama dengan ratusan perawat Indonesia yang ada, komunitas kami semakin besar di negeri Petro Dollar nya Shaikh Sabah. Seperti halnya teman-teman lain, tujuan utama saya berangkat ke sana adalah guna memperbaiki nasib, meningkatkan kesejahteraan hidup dan menambah wawasan demi perbaikan karir.Â
Bukan berarti tidak bisa kami dapatkan di Indonesia. Hanya saja, kalau semua perawat kita kerja di negeri sendiri, bagaimana orang luar akan mengenal bahwa di Indonesia kita punya perawat-perawat hebat?
Jumlah perawat kita di Kuwait makin tahun makin bertambah banyak. Sekitar tahun 2008 angkanya bisa mencapai lebih dari 700. Jumlah yang lumayan besar, meski masih kecil dibanding perawat-perawat Filipina dan India yang puluhan ribu. Jumlah masyarakat kita mencapai lebih dari 25.000 orang waktu itu.Â
Sayangnya mayoritas bekerja sebagai domestic helper. Sehingga yang nampak bagi orang asing lainnya, ekspatriat seperti kami, Indonesia lebih dikenal dengan negeri para Pembantu. Sedih memang. Sayangnya kami tidak bisa berbuat apa-apa.
Populasi perawat Indonesia yang makin banyak membuat kami tidak saling kenal dengan mudah. Maklumlah, wajah kami mirip-mirip orang Filipina, Thailand, Malaysia, Burma yang sebagaian juga ada di sana. Kecuali sesudah bicara. Walaupun, sebenarnya orang-orang Indonesia sangat gampang dikenali.Â
Misalnya, biasanya orang kita lebih suka keluar bergerombol, group. Meskipun ada yang individual. Namun jarang. Nah, saat bergerombol inilah kita bis mengenal dengan mudah. Apalagi orang asal Sunda. Lengket banget dengan budayanya. Ngomong pun, kami gunakan Sunda. Bukan Indonesia.Â
Makanya jangan heran, terkadang perawat-perawat kita yang ada di sana yang bergaul dengan orang Sunda, bukannya Inggrisnya yang makin lancar, malah perbendaharaan Bahasa Sunda yang makin banyak.
Besarnya populasi masyarakat Pasundan ini yang membuat lahirnya ide untuk membentuk Paguyuban Pasundan di Kuwait (PPK) beberapa tahun lalu. Belum lama kami membentuknya. Selain untuk tujuan silaturahim, memperkuat persaudaraan, mempertajam pelestarian Budaya Sunda. Dari sana kemudian puluhan perawat khususnya, masyarakat Indonesia pada umumnya, ngumpul bareng. Saya ketemu dengan Pak Nanang Suyono. Â
Kuwait negara kecil. Komunitas perawat Indonesia tersebar di beberapa wilayah, di antaranya di Al Jahra, Reggae, Farwaniyah, Hawali, Salmiyah dan di Al Ahmadi. Kami tinggal di wilayah yang sama, di Farwaniyah. Saya di Blok 4, Pak Nanang di Blok 5. Pak Nanang bekerja di kompleks Sabah Specialist Hospital. Â
Sejak pertemuan pertama, Pak Nanang kami nobatkan sebagai Ketua PPK dan saya ditunjuk sebagai Sekretarisnya. Hubungan dalam organisasi ini yang membuat kami dekat. Padahal sebelumnya tidak saling kenal. Kalaupun tahu, sebatas 'wajah'. Tapi tidak pernah ngobrol dan sharing pengalaman atau lainnya.Â
Kedekatan ini boleh jadi karena kami berasal dari daerah yang sama, Sunda. Saya dari Bogor, beliau Tasikmalaya. Secara psikologis kami memiliki banyak kesamaan visi misi. Pak Nanang orangnya religious. Saya merasa mendapatkan seorang sahabat ketika bersama dengan beliau. Kesamaan dalam profesi sudah tentu menjadi faktor pendukung lainnya.
Begitulah. Dalam organisasi PPK inilah kami akhirnya sering ketemu dalam berbagai kegiatan. Ngobrol, diskusi dan bicara tentang banyak hal. Dari persoalan pribadi, profesi hingga bisnis.Â
Ada tiga hal yang membuat kehidupan saya sebagai pribadi menjadi lebih baik sesudah bersahabat dengan Pak Nanang. Pertama, kehidupan beragamanya. Yang kedua kesederhanaan. Yang ketiga kejujuran. Â
Beliau aktif dalam kegiatan keagamaan, termasuk dalam wadah Masjid Indonesia di Reggae. Setiap kali ada kegiatan akbar, Pak Nanang, ayah dari empat orang anak, selalu hadir. Saya merasa tergerak untuk ikut serta berpartisipasi di dalamnya.Â
Seringkali malah bareng dalam satu mobil beliau. Beliau aktif dalam kegiatan sosial, mencarikan donasi bagi anak-anak yatim. Safari dakwah, belajar Bahasa Arab di Islamic Cultural Center (ICC) Kuwait, ketemu tokoh-tokoh dari Indonesia yang datang ke Kuwait seperti Dr. Hidayat Nur Wahid, Ustadz Syafiq Basalamah, bertemu dengan Bapak Dubes, dan lain-lain.Â
Sepertinya kami memiliki kegiatan ekstra yang cukup padat. Meski demikian, Pak Nanang masih sempat untuk berbisnis dengan jualan arloji merek-merek terkenal. Â
Kematian memang misteri dalam hidup manusia. Saya tidak pernah menyangka bahwa kegiatan Pak Nanang dalam bentuk peduli pada sesamanya, saat Covid-19 melanda Kuwait, ternyata pekerjaan dan aktivitas di luar kerja, berisiko sangat besar. Yang dikorbankan tidak tanggung-tanggung, nyawa beliau sendiri.
Sejak 15 Februari, kami tidak lagi ketemu, kecuali sebatas lewat medsos. Saya empat membaca postingan beliau sebulan terakhir sebelum beliau opname di hospital. Sarat dengan tausiyah kematian. Apakah ini pertanda? Wallahu a'lam.
Ada banyak hal yang bisa saya petik sebagai pembelajaran hidup yang sangat berarti. Dalam usia mudanya saya katakana beliau telah berhasil. Mungkin tidak dalam bentuk gelar pendidikan. Tetapi impiannya mengayomi anak yatim, jadi manusia yang bermanfaat bagi keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan agama, telah beliau buktikan.
Kalau bukan 'kehilangan' lantas saya sebut apa peristiwa ini? Saya hanya mampu mengenangnya dalam album-album yang tetap saya simpan dalam HP saya. Pak Nanang Suyono, seorang perawat Indonesia yang berpulang ke Rahmatullah, meninggalkan kesan yang begitu mendalam bagi kami, komunitas perawat di Kuwait dan juga warga Indonesia, khususnya kami pengurus Masjid Indonesia di Reggae. Â
Seperti yang dikisahkan oleh Robby Fajar Cahya, Perawat Indonesia di Kuwait yang saat ini sedang cuti di Indonesia.
Malang, 28 Mei 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H