Saya pernah beraktivitas dari jam 04.00 pagi hingga jam 21.30 malam sampai di rumah. Pagi dini hari bikin kue, hingga pukul 06.00. Kemudian mendistribusikan ke warung-warung hingga jam 08.00. Sesudah itu kuliah hingga siang. Sore harinya mengambil sisa makanan di warung-warung dan belanja bahan bikin kue untuk esok harinya.Â
Di rumah kontrakan, masih harus disibukkan dengan persiapan belajar, ujian dan bikin kue. Rutinitas seperti ini berlangsung tidak kurang dari dua tahun. Sesudah itu, saya berpikir, sampai kapan saya harus seperti ini?
Benar, bahwa saya memang butuh duit. Duit ini saya gunakan untuk berbagai kebutuhan dan kepentingan. Buat diri sendiri, sewa kamar dan kuliah. Itupun belum cukup jika harus ngangsur motor.Â
Maklum, manusia cenderung selalu kurang puas. Kecuali jika hanya untuk kebutuhan hidup primer sehari-hari. Kekurang-puasan itu saya hitung dengan pemasukan yang saya peroleh tiap bulan yang ternyata belum cukup. Mungkin kalau terbatas membeli T-shirt atau baju setiap bulan, OK lah.
Dari sana kemudian saya berpikir: "Saya harus berubah!" Perubahan ini tentu perlu diikuti dengan langkah-langkah yang nyata. Sejak tahun 2014 saya ikuti perkembangan permintaan dan pemberangkatan perawat ke luar negeri.Â
Sejak dari situ saya mulai berfikir untuk merintisnya. Beberapa negara yang banyak membutuhkan adalah Timur Tengah, Belanda, Jerman, dan Jepang.Â
Sejak saat itu pula, saya susun strategi mulai dari bikin passport, nabung dan ingin mengikuti pelatihan bahasa di Jawa. Perlahan sekali, saya akhirnya siap. Mulai dari izin orangtua, uang transport, passport serta dokumen-dokumen pendukung lainnya.Â
Dari Aceh, kami berangkat ke Jawa bertiga. Satu cewek, dua cowok. Teman-teman Aceh banyak yang menghadapi kendala, terutama izin orangtua bila harus kerja di luar negeri.Â
Meski banyak permintaan, hanya ada satu dua orang yang minat. Secara umum bukan hanya di Aceh. Di Indonesia, peluang ke luar negeri tidak begitu antusias disambut oleh perawat kita. Penguasaan bahasa yang minim, izin orangtua dan mental. Tiga persoalan inilah yang terbesar.
Dalam prosesnya, ke luar negeri memang tidak gampang. Saya sudah mengikutinya lebih dari setahun ini. Di tengah jalan, kami ketemu Covid-19. Padahal, saat ini harus mengikuti ujian Bahasa Jerman di Goethe Institut. Goethe Institut tutup. Semua kedutaan juga tutup. Sampai kapan? God knows....hanya Tuhan Yang Maha Mengetahui.
Waktu berjalan memasuki bulan ketiga sudah. Kami belum tahu kapan proses pemberangkatan akan dimulai lagi. Kursus-kursus bahasa pun terhenti. Mau terus belajar sendiri agak sulit. Karena bagaimanapun tatap muka langsung akan sangat jauh berbeda dengan online learning.Â
Secara psikologis, kami yang memiliki optimisme untuk tetap berangkat merasa tidak mendapatkan dukungan atau support yang cukup di era Corona ini. Namun hidup ini harus jalan terus. Saya tidak ingin mengecewakan, diri sendiri, keluarga, masyarakat, profesi dan juga bangsa Indonesia. Pertanyaannya adalah, negara mana yang terbaik jika kondisi wabah Corona mulai redah?
Kadang bermunculan dengan segala pro dan kontranya. Ada kalanya ingin pulang saja. Tapi apakah dengan pulang, lantas bakal menyelesaikan masalah? Ada kalanya sudahlah, ke mana saja yang penting kerja. Kadang juga ingin tetap fokus ke Jerman. Sepertinya saya tidak sendirian. Teman-teman banyak yang memiliki jalan fikir serupa. Pada saat yang sama, kami kuatir, negara-negara yang membutuhkan perawat ini akan berubah kebijakan administrasinya. Yang pasti, pasca Corona, akan terjadi perubahan sistem seleksinya.
Pertama, dari sisi kompetensi. Â Saya melihat, akan diperketat. Dari sisi bahasa misalnya tidak lagi mudah. Waktu itu, untuk ke Jerman masih diperlonggar dengan kualifikasi Ujian Bahasa Jerman Level B1. Ke depan, B2 akan menjadi syarat mutlak yang tanpa memperoleh sertifikatnya tidak akan mendapatkan Lampu Hijau. Ke Belanda, penguasaan Bahasa Inggris sebagai basic.Â
Dulu, syarat ini cukup TOEFL score 400. Ke depan, kami dengar naik dan lebih ketat interview-nya. Ke Timur Tengah, syarat mengikuji Ujian Prometric Test. Belum terhitung ke Australia jika nanti akan ada peluang. Saat saja mereka minta IELTS band score 7.
Kedua dari sisi kesehatan. Kemungkinan besar akan diminta syarat Bebas Corona. Ini bisa dipastikan sangat penting guna perlindungan warga mereka. Negara-negara tempat kerja nanti tidak ingin kecolongan dengan masuknya warga negara lain yang membawa Covid-19. Sertifikat Bebas Corona sepertinya menjadi bagian dari syarat kesehehatan. Jangankan yang mau kerja di luar negeri; pedagang sayur saja di negeri ini sudah mulai diminta hasil Rapid Test.
Dua syarat di atas memiliki konsekuensi finansial. Dengan kata lain kandidat harus menyiapkan kocek lebih. Ini tentu saja memberatkan, kecuali ada subsidi dari Pemerintah, atau ada semacam sistem Soft Loan. Untuk pilihan yang saya sebut terakhir ini tidak gampang mendapatkannya, karena berisiko. Bank tidak mau memberikan tanpa ada jaminan.
Persoalan berikutnya adalah dalam diri perawat sendiri. Jangankan dengan diperketat persyaratannya. Yang lunak saja perawat kita masih banyak yang ogah.Â
Saya dengar dulu tahun 90-an permintaan ke luar negeri saya besar dengan syarat yang sangat ringan, namun sedikit sekali peminatnya. Saya tidak terlalu optimis perawat kita punya greget untuk kerja di luar negeri pasca Corona, sekalipun di dalam negeri nasibnya juga tidak tentu arah.
Tanpa bermaksud mendewakan rekan-rekan yang kerja di luar negeri, apakah itu selama di Kuwait, United Arab Emirates, Saudi Arabia, Qatar, Malaysia, Belanda, Singapore, Canada, USA dan Australia, yang pernah kontak dengan saya baik langsung maupun lewat forum dunia maya, mereka benar-benar professional dan luar biasa. Semua negara menawarkan hal yang terbaik, dengan segala plus minusnya. Kelebihan rekan-rekan kita yang tinggal di sana adalah mentalitas yang terbina. Kedisiplinan yang teruji. Training yang handal dan kelasnya internasional.Â
Daya tahan terhadap stress, keberanian menghadapi masalah dan risikonya, kejelian dalam travelling, wawasan yang makin luas dan piawai dalam hubungan sosial antar negara. Saya yakin dan percaya, nursing professional di Indonesia ini ke depan akan mengetahui betapa banyak keuntungan jika harus bekerja di luar negeri.
Mungkin saat ini bukan saat yang tepat perawat kita kerja di luar negeri, meski banyak permintaan. Barangkali menunggu kondisi yang benar-benar kepepet. Kita akrab dengan budaya kepepet ini. Namun insyaallah akan datang masanya, bahwa Indonesia, di era pasca Corona ini insan professional bakal berubah mindsetnya atau sedikitnya Pemerintah akan meninjau kembali kebijakan pengiriman tenaga kerja di bidang nursing ini ke depan.Â
Tidak lain agar tidak terjadi penganggur dalam skala besar atau peledakan jumlah tenaga trampil nursing professional yang hidupnya kurang layak di negeri sendiri. Mau ke Eropa, Timur Tengah, Jepang atau Australia, tidak masalah, yang penting bisa sejahtera.
Malang, 26 May 2020
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H