Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

(Lagi) Perawat Corona Meninggal di Kuwait dan Puluhan Dipecat di Sumsel

25 Mei 2020   20:20 Diperbarui: 25 Mei 2020   20:30 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

'There are less than 28 million nurses and midwives according to the World Health Organization's World Health Statistics Report, 2019'. Mayoritas berada di Amerika Serikat, India, dan China. Dunia masih membutuhkan 5.9 juta perawat saat ini menurut WHO (World Economic Forum). 

Di Indonesia, diperkirakan terdapat 12-13 nurses setiap 10.000 penduduk. Berarti, kita memiliki sekitar 351.000 perawat di negeri ini. Rasio perawat per 1000 penduduk sebesar 1.8. Artinya kita butuh 1.8x270.000= 486.000 perawat. 

Kita masih kekurangan 135.000 perawat teregister. Jumlah tersebut sebenarnya tidak banyak, karena jumlah lulusannya mencapai 40.000 per tahun. Bisa jadi saat kita kita sudah surplus. Persoalannya, tidak semua perawat melapor. Yang kedua, banyak yang sudah lulus tapi belum lolos Uji Kompetensi.

Bila mengikuti langkah AS yang penduduknya 350 juta, ketiga terbesar di dunia, sementara Indonesia menduduki peringkat penduduk terbesar ke 4 di dunia, seharusnya jumlah nurses di negeri ini, sudah lebih dari 2 juta jiwa. Sedangkan jika mengikuti langkah yang ditempuh India yang penduduknya sekitar 1,2 milyar jiwa, dalam artian kuantitas, rasio kita sudah memadai.

Sepuluh tahun terakhir ini, jumlah lembaga pendidikan nursing maju pesat. Saat ini tidak kurang dari 700 institusi. Jika setiap institusi meluluskan setiap tahunnya rata-rata 100 orang saja, maka ada 70.000 fresh graduate nurses yang bertambah. Berdasarkan angka ini, meski tidak menutup kemungkinan bahwa lulusan pendidikan nursing tidak selalu bekerja sesuai dengan profesinya, saya yakin, jumlah nurses di Indonesia mestinya jauh melebihi perkiraan WHO.

Hari ini kita berduka.  Seorang perawat asal Jawa Barat, yang bertugas di Kuwait, meninggal dunia sebagai petugas kesehatan di sebuah rumah sakit. Nanang Suyono bekerja di Unit Dialisis, Alnafisi Hospital, Kuwait. Pada saat yang sama, kita (mestinya juga) berduka, karena lebih dari seratus tenaga dokter dan perawat di Sumatera Selatan dipecat.

Koq bisa?

Semakin maju peradaban sebuah negara, semakin sedikit angka kesakitan dan kematiannya. Beberapa negara seperti USA, Jepang, Inggris, Perancis, Australia dan Canada, terhitung sebagai negara-negara yang sudah maju. 

The USA misalnya, sebagai sebuah negara maju, selalu butuh nurses dalam jumlah yang besar setiap tahunnya. Bahkan jumlahnya terbanyak di dunia. Ini sebagai bukti bahwa tuntutan mereka terhadap kebutuhan nurses bukan semata mengandalkan perbandingan rasio nurse:patient. Perawat di USA sangat dihargai kedudukan mereka.

Manusia yang peradabannya sudah maju, di mana angka kesakitan dan kematiannya makin kecil, justru jarang sakit atau tinggal di RS. Itu tidak berarti bahwa mereka tidak membutuhkan healthcare services. 

Mereka yang tinggal di rumah, pasar, supermarket, kantor, mall, bioskop, tempat hiburan, taman-taman, perusahaan, industri hingga di daerah pertambangan dan lepas pantai, semunya membutuhkan pelayanan kesehatan.

Pelayanan kesehatan yang mereka kehendaki adalah pelayanan paripurna, yang tidak lepas dari nursing care intervention. Perawat yang kerja di sector ini juga mendapatkan penghargaan besar di negara-negara maju.

Kita klaim berada di negara maju, tetapi perlakuan kita terhadap perawat sedemikian rendah.  Meskipun kita tahu perawat rela mengorbankan jiwanya demi kita. Di era Covid-19 ini, sudah lebih dari 30 orang perawat meningga karenanya.

Apa yang terjadi di atas, yakni kematian perawat kita di luar negeri, menunjukkan betapa hebatnya perjuangan perawat kita. Kerja di luar negeri bukan semata karena uang. Mereka bukan hanya Pahlawan Devisa, tetapi juga pahlawan kemanusiaan. Mereka membawa harum nama bangsa dan negara Indonesia. Selain itu, juga memanggul nama baik profesi. Namun seberapa penghargaan yang kita berika kepada mereka?  

Kita belum sehebat bangsa-bangsa banhkan sekelas Timur Tengah dalam memperlakukan professional kesehatan di negeri sendiri. Tiga hari lalu, seorang perawat meninggal, Khalid Al-Sharif, mendapatkan sambutan penghargaan dari Prince Khaled Al-Faisal, Emir of Makkah. Khaled disebutnya sebagai Saudi Nursing Hero. Di kita, hanya sambutan duka cita dari Ketua Organisasi Profesi.

Kita sepertinya tidak begitu peduli dengan nasib perawat. Akibatnya, berhamburanlah jumlah nurses, mulai dari harga yang termurah hingga tidak ada yang tertarik untuk 'menggunakannya' sama sekali. Padahal, manusia selalu membutuhkan pelayanan kesehatan sepanjang hidupnya. Sejak lahir hingga matinya. Sepanjang proses ini, keberadaan nurses tidak akan pernah dikesampingkan. Kita tidak perlu munafik, kita butuh perawat.

Menurunnya jumlah angka kesakitan dan kematian di negeri ini, tidak lepas dari campur tangan perawat. Itu harus kita akui. Keberhasilan dalam penyelenggaraan penanganan Covid-19, selalu melibatkan perawat. Perawat kita bisa bekerja tidak kurang dari 60 cabang spesialisasi. Di samping itu, perawat juga bisa merangkap, apakah sebagai dosen, trainer, konsultan, entrepreneur, health advisor, penulis, editor, motivator dan sebagainya.

Saat ini, perawat Indonesia masih belum mendapatkan perlakuan yang layak sebagaimana yang kita harapkan. Kasus perawat dipecat merupakan bukti lemahnya regulasi terhadap diskriminasi profesi. Sementara pasar luar negeri sangat luas dan membutuhkan kita dan perawat kita memperoleh perlakuan yang lebih baik dari negeri sendiri.

Kita seharusnya membuka mata lebar. Meningkatnya kebutuhan hidup individual, menjadikan sebagian besar perawat kita kurang puas dengan imbalan yang diperolehnya. Dampak dari minimnya penghasilan ini bisa 'berbahaya'. Salah satunya adalah terjadinya 'malpractice'. Bila tidak diantisipasi dan dicarikan jalan keluarnya, kecenderungan praktik seperti ini bakal mencoreng reputasi nama baik profesi juga Pemerintah Indonesia. Kasus pemecatan terhadap perawat tidak boleh terulang.

Ada banyak cara guna mempersiapkan agar perawat kita bisa jadi jago dan sigap menghadapi masa depan dan segala tantangannya. Indonesia juga bisa jadi ladangnya jago perawat yang siap bertarung di arena internasional. Bukan hanya bertarung di negeri sendiri. Jadi jago kandang. Hanya saja, guna mempersiapkannya, perlu ditopang oleh sejumalh elemen yang handal. 

Dalam dunia pendidikan, kita butuh dosen yang berkualitas, kurikulum yang pas, sarana dan prasarana belajar termasuk laboratorium yang memadai, tempat praktik lapangan yang sesuai serta adanya sistem yang mapan akan kontinuitas pembinaan karakter mahasiswa. Juga perlu sosialisasi kepada masyarakat terkait peran perawat. Tentu saja dukungan dari Pemerintah serta pihak swasta tidak kalah penting.

Jika ini terwujud, maka Indonesia bakal menghasilkan perawat handal. Perawat yang dijamin kualitas dan masa depan kerjanya yang jauh lebih baik. Bukan perawat dengan gelar sarjana yang tidak jelas arahnya.

Malang, 25 May 2020
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun