Farmer, di United States of America, bergengsi. Mereka bertopi cowboy, mengenakan sepatu booth, sarung tangan, kadang masker, berkendara. Tangan-tangan dan kaki mereka nyaris tidak bersentuhan langsung dengan tanah dan lumpur. Bahkan dengan hasil bumi nya pun tidak. Farmer di Amerika kaya, sawah ladangnya berhektar-hektar. Memiliki gudang besar dan pablik selip sendiri. Yang bersentuhan dengan tanah dan hasil bumi namanya bukan Farmer, tapi buruh tani, alias worker, farming workers.
Di kita sangat beda. Semua orang yang bekerja di sawah, kita sebut 'Petani'. Padahal, sawah sepetak aja gak punya. Di sini kita tidak bisa bedakan mana petani dan mana buruh tani. Yang tertulis di KTP pun, tertera 'petani'. Kenyataannya, ya itu tadi, tidak punya lahan tempat bercocok-tanam. Tapi tidak mengapa. Lain negara, lain istilah. Yang penting kecerdasan. Petani atau buruh tani di kita kadang tidak kalah cerdas dengan yang ada di USA. Saya ingin bercerita sedikit tentang seorang Petani yang saya kenal dari Trenggalek Selatan.
Saya mengenalnya saat Lebaran tahun lalu, 2019. Diajak oleh senior jalan-jalan, silaturahim Lebaran. Dari Malang ke Trenggalek, motoran. Asyik juga. Sepanjang 7 jam perjalanan dari arab Malang meuju Trenggalek mengingatkan saya akan Takengon di Aceh Tengah. Sungguh indah pemandangannya. Kami berangkat malam Idul Fitri bertiga.
Tiba di sebuah desa namanya Salam Wates, Kecamatan Dongko, saya takjub. Desanya terletak paling ujung arah tenggara, persis dibatasi oleh hutan Pinus di beberapa bukit. Hijau, menawan. Dari jauh tidak kelihatan ada penghuninya.Â
Ketika sudah sampai, kami tiba di sebuah dusun, persis di area perbukitan Gunung Butak namanya. Ada sekitar 20 rumah di lerengnya. Masing-masing berjarak antara 50-100 meter dari satu rumah ke rumah lainnya.Â
Rumah Pak Samingan yang akan kami tuju berada di paling ujung timur, tidak ada rumah lain kecuali rumah beliau. Sebuah rumah kokoh, saya heran, koq bisa? Dihuni oleh 7 orang. Pak Samingan beserta istrinya, kedua mertua, anak dan menantu, serta cucu satu orang.
Pak Mingan saya memanggilnya, berusia 54 tahun. Pendidikan SD. Keterampilannya bikin saya geleng-geleng kepala. Luar biasa. Rumah yang didirikan adalah hasil karyanya, dibantu oleh orang-orang kampung.Â
Sekalipun ada beberapa bahan bangunan yang beli di toko seperti semen, cat, paku, dan tegel, mayoritas adalah hasil karyanya sendiri. Beliau tebang kayunya sendiri di kebun. Diolah dan digergaji sendiri. Batu bata cetak sendiri. Pasir dan batu juga cari sendiri di sungai.
Pak Mingan memiliki beberapa hektar sawah dan ladang. Sawah ditanami padi, kadang jagung atau kacang. Semua digarap sendiri. Kadang bersama-sama orang Gunung Butak, semacam arisan kerja bhakti. Tidak ada istilah bayar jasa buruh tani di sana, termasuk kala panen tiba. Ada 6 kamar di rumahnya yang cukup besar, salah satunya digunakan untuk gudang atau lumbung padi.Â
Saya melihat masih ada beberapa tumpukan padi dalam karung yang terlihat dari ruang makan saat kami bersantap bareng dengan keluarga mereka.Kebun pak Mingan lumayan luas di sekitar rumah. Ada lebih dari 10 ekor kambing, 3 ekor Sapi, dan puluhan ayam kampung.Â
Sebelum kami tiba, ibu Karti, istri Pak Mingan menyembelih beberapa ekor ayam yang disajikan kepada kami. Lebaran di sana luar biasa nuansa festivalnya. Jauh dari keramian kota, namun tidak mengurangi makna begitu antusias warga mereka dalam menyambutnya.Â