Pada suatu hari, datang teman ke rumah, yang mengusulkan untuk mengumpulkan artikel-artikel saya, kemudian dibukukan. Saya kira ini merupakan ide brilliant. Usulan yang sangat bagus. "Tapi butuh dana besar kan pak?" Tanya saya lebih lanjut. "Tidak pak." Jawabnya meyakinkan. Kemudian saya diberikan jalan bagaimana harus membukukan karya-karya saya. Saya turuti nasehatnya.
Alhamdulillah impian saya bertahun-tahun sesudah membaca artikel guru yang melamar kerja di tempat kami kerja dulu, tercapai. Bukan hanya dalam bentuk artikel yang dimuat, namun saya bisa bikin buku. Saat buku saya terbit, dengan duit sendiri saya terbitkan, bukan main rasa bangga dan senangnya batin ini. Seolah ini adalah sebuah prestasi yang harus saya celebrate, saya rayakan.
Sebagian besar buku tersebut saya bagi-bagikan gratis, walaupun ada juga yang membeli. Akan tetapi sekali lagi, bukan uang yang saya cari. Saya merasa saat itu benar-bena sebagai Sang Juara Tanpa Piala. Saya berlomba dengan diri sendiri, mengalahkan diri sendiri, membei hadiah (piala) buat diri sendiri.Â
Saya tidak peduli apa yang orang lain katakan, bahwa karya saya jelek atau jauh dari sebutan berkualitas. Saya jalan terus. Menulis dan menulis. Selang kurang lebih dua puluh tahun saya butuhkan waktu untuk meraih semua ini. "Ternyata, kegiatan yang kelihatan sederhana seperti ini butuh perjalanan waktu yang cukup panjang." Demikian kata saya dalam hati. Â
Dari keterampilan menulis tanpa tutor ini, saya merasa bisa berjalan tanpa melihat, walau dalam gelap. Sebuah keterampilan yang saya dapat melalui proses belajar mandiri sangat memberi arti. Saya lakukan terus menerus, istiqamah. Dari situ kemudian saya berani menularkan ilmu ini kepada beberapa teman-teman dekat, serta kepada mungkin sudah ratusan orang perawat.Â
Ada yang malah pintar sekali. Kami membuat buku bersama. Menulis Buku Bareng, dengan testimoni Duta Besar Indonesia di Belanda, Ibu Retno LP Marsudi, sekarang Menteri Luar Negeri. Buku saya lainnya juga ditestimoni oleh Bapak Saiful Hadi, Duta Besar Indonesia untuk Qatar. Ada tidak kurang 18 buku yang sudah saya tulis.
Kalau duit saya tidak dapat. Tetapi kepuasan batin, inilah yang saya cari sepanjang perjalanan karir. Dari keterampilan menulis inilah mengantarkan saya menjadi Diaspora Award Winner di Los Angeles untuk kategori Social Activism, tahun 2012, bersama Ibu Sri Mulyani (Menkeu) dan Daniel Sahuleka penyanyi terkenal warga kita yang menjadi warga Negara Belanda. Tanpa ikut lomba. Malah ditawari. Alhamdulillah.
Saya tidak pernah berhenti menyemangati teman-teman sejawat untuk menulis. Menulis sungguh nikmat dan menyegarkan. Menulis membuat diri jadi awet muda. Menulis menjadikan diri selalu bersemangat, tidak pernah kehabisan ide. Menulis bagi saya seperti menelusuri perjalanan di Gurun Sahara. Selalu haus meski sudah minum. Ada banyak orang pintar menulis yang jauh melebihi kemampuan saya. Biarlah tidak apa-apa. Karena di atas langit, masih ada langit.
Pesan yang ingin saya sampaikan kepada adik-adik yunior, khususnya yang seprofesi dengan saya, perawat, belajar dan menulislah. Dengan menulis anda bisa dapatkan segalanya. Kalau mau, ilmu, keterampilan, uang, ketenaran dan profesionalisme semuanya bisa kita dapat lewat kebiasaan menulis. Namun jangan menulis hanya untuk mendapatkan uang. Karena jika sudah punya uang, biasanya kita akan berhenti menulis.
Yang paling berharga adalah dengan menulis, akan menuntun kita untuk jadi juara, tanpa piala."
Seperti yang dikisahkan Syaifoel Hardy, Diaspora Award Winner-Social Activism, Los Angeles, 2012, kepada Ridha Afzal.