Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Denda Lebih Menakutkan Ketimbang Kematian

10 Mei 2020   19:07 Diperbarui: 10 Mei 2020   19:03 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya masih ingat sebelum iklan rokok 'terbaru' yang berisi 'Peringatan' bahwa merokok bisa menyebabkan 'kematian' ternyata tidak efektif. Kenaikan cukai rokok dan PDB sektor pengelolahan tembakau, setiap tahun sejak tahun 2011 yang semula berkisar Rp 70 Trilliun, merangkak naik terus hingga mencapai angka sekitar Rp 136 Trilliun, jadi lading bisnis rokok makin subur. 

Kenaikan cukai rokok sebesar 23% pada tahun 2020 termasuk harga jual eceran rokok dinaikkan 35% juga tidak mengurangi minat perokok untuk menurunkan 'hobi' nya. Pertumbuhan produksi rokok sejak 2016 negatif menurut Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) (Kompas 17.09.2019).  Ini mengindikasikan, perokok 'tidak takut mati' meskipun sudah 'diancam'.


Sangat berbeda pemandangannya dengan pajak. Tanggal 30 April lalu, andai tidak ada lockdown, kantor-kantor pajak pasti penuh antri pelapor pajak. Tahun lalu, ketika kami kunjungi kantor pajak pada bulan Maret, publik sudah mulai membludak memadati kantor-kantor pajak. Beda jauh suasananya dengan di bulan Januari atau Februari. Mengetahui antrian panjang, saat saya menanyakan kepada petugas mengapa ini terjadi, dijawabnya "Orang kita menunggu last minute dan takut denda."  Dua hal ini, 'last minute' dan 'takut denda', saya garis bawahi.


Ketika ada tulisan 'Anda akan dikenakan denda', kita biasanya patuh dan disiplin. Di mana-mana. Lihat saja, mulai dari pembayaran sekolah, rekening listrik, air, angsuran bank, asuransi, cicilan barang-barang, kredit rumah, dll. rata-rata orang kita sangat disiplin membayarnya. Tepat waktu. Bandingkan dengan kasus Covid-19 ini. 

Memang, ketika kasus ini begitu mencuat, tiba-tiba saja banyak orang yang rajin cuci tangan dan menggunakan masker. Akan tetapi masih banyak yang melanggar. Artinya, masih begitu banyak masyarakat yang bersliweran, bahkan mereka yang positif Corona pun, berkeliaran, tidak khawatir. Artinya, mereka tidak patuh.


However, hal positif yang mengajarkan kita selama wabah Covid-19 ini adalah sesuatu yang belum pernah terjadi, muncul. Yakni budaya bersih-bersih yang massive, dari tingkatan pejabat tinggi hingga orang-orang desa di dataran tinggi. Semua rajin cuci tangan dan mengenakan masker. Masker dan cuci tangan kini bukan hanya dominasi orang kesehatan. 

Lebih hebat lagi, kini jumlah ahli kesehatan meningkat drastis. Semua berlomba-lomba jadi penasehat dan ahli kesehatan. Mulai dari Presiden, Mentri Kabinat, hingga staf kelurahan. Mereka semua berbicara tentang antisipasi serta penanggulangan Corona. Menteri Kesehatan sampai kalah pamornya.


Dari sanalah kita bisa mengevaluasi, ternyata tingkatan kesadaran masyarakat kita masih sampai di sini. Artinya, kesadaran muncul ketika ada tekanan, stress. Tingkat kesadaran kita belum lahir dari dalam diri. Kesadaran baru muncul sesudah ada faktor eksternal kuat yang membuat kita berbuat sesuatu, mematuhi hukum atau peraturan, lantaran terpaksa atau dipaksa.


Saya jadi membayangkan, andai saja di setiap Sajadah yang dibentangkan di masjid-masjid, diletakkan uang sebesar Rp 100 ribu pada setiap Salat Subuh, pasti antri orang yang menjalankan Salat Subuh penuh. Inilah perumpamaan lain terkait hadiah atau imbalan. Masyarakat kita inginnya instant reward. 

Pahala Salat Sunnah dua rakaat menjelang subuh yang dijanjikan Allah SWT yang nilainya melebihi seisi dunia ini, tidak membuat kita sadar. Mengapa? Karena pahalanya tidak terlihat instant atau secara langsung. Soal pahala, penghargaan, hadiah, imbalan dan sejenisnya, masyarakat kita inginnya cash, kontan. Betapapun berhadiah, jika masih harus menunggu, umumnya tidak menarik bagi sebagian besar orang kita, kecuali mereka yang istiqamah (konsisten).


Kita memang pernah mengalami sejarah kelam dengan dijajah Belanda selama 350 tahun. Selama itu pula kita 'terlena', mental dan moral kita terpuruk, sehingga kita takut untuk berpendapat, mengeluarkan ide, serta bersifat terbuka. Kita sudah terbiasa hidup dengan tekanan. Ironisnya, tekanan ini yang malah membuat kita 'nyaman'. Kita kerap kali pasrah dengan keadaan yang ada. tidak mau berjuang. Justru sering menyalahkan orang lain.

Barangkali inilah senjata ampuh yang dimanfaatkan oleh penjajah untuk menerapkan politik Devide et Impera (memecah belah dan menguasai). Memang kita akui pemberontakan bangsa kita terhadap penjajah ada di mana-mana, dari Aceh, Minangkabau, Yogyakarta, Kalimantan, Sulawesi, Bali, hingga Ambon. 

Tetapi dirasa kurang 'efektif'. Karena kenyataannya penjajahan berlangsng terus. Padahal, jumlah orang Belanda si penjajah, jauh lebih kecil dibanding orang kita. True, mereka menang soal senjata, tetapi kita sebenarnya juga menang soal penguasaan medan, jumlah pasukan, strategi dan lain-lain yang secara lokal Belanda tidak menguasai. Akan tetapi itulah, memang ada sesuatu yang perlu diotak-atik dengan mental kita.


Britania Raya (United Kingdom) dalam sejarahnya pernah dijajah oleh Romawi selama 367 tahun (sejak tahun 43 hingga 410). Berarti bangsa Inggris dijajah 17 tahun lebih lama dibanding kita di bawah Belanda. Mestinya, kondisi Inggris lebih buruk daripada bangsa kita. Namun orang Inggris bukan orang kita. Bangsa Inggris menguasai laut. Mereka menjajah banyak negara di dunia. Inggris bangkit dan memulai revolusi industri besar-besaran sejak tahun 1750-1850, dan membuat perubahan di dunia di bidang sosial, ekonomi, budaya di dunia.  

Mereka memproduksi, mengatur, mendistribusi hingga menguasai dunia. Bangsa Inggris dalam menjajah memberlakukan denda. Bukan ancaman kematian, meski menangkap orang-orang penting yang dianggap mengancam kedaulatan Inggris. Hebatnya, Inggris sang penjajah ini malah banyak 'dicintai' oleh negara-negara bekas jajahannya. 

Dari India, Timur Tengah, Afrika, Malaysia, Singapore, Brunei, Australia, semua menggunakan Bahasa Inggris dan menerapkannya dalam sistem pendidikan yang memuat mereka maju, dalam wadah Negara-negara Persekemakmuran.  Dari Belanda, kita dapat apa? Ilmu Hukum, Bahasa?


Andai boleh milih, saya 'lebih suka' dijajah Inggris daripada Belanda. Belanda tidak mendidik. Belanda hanya mengeruk harta benda dan kekayaan alam serta peninggalan sejarah di Indonesia. Peninggalan Belanda yang paling berharga hanya gedung-gedung tua sekelas Kantor Pos dan rel kereta api beserta kereta tuanya. 

Belanda tidak membuat rakyat Indonesia mengerti makna disiplin karena dulu kita biasa diancam. Belanda tidak membuat rakyat kita takut mati, karena tidak disiplin. Belanda haya meninggalkan mental kita, supaya takut didenda. Lihatlah sejarah bagaimana governor zaman Belanda yang mengancam rakyat kita dengan denda besar-besaran bila tidak atau telat bayar pajak.

 
Mungkin butuh penelitian lebih dalam tentang ini. Meski demikian, sebagai generasi muda, saya bisa merasakan 'sisa-sisa peninggalan' ini. Saya memaafkan kesalahan Belanda, namun tidak lupa kesalahan mereka terhadap bangsa ini. Anda pembaca boleh punya argument yang berbeda. Jika diurut-urut barangkali benar juga. Yang membuat kita maju, mungkin perlu memberlakukan aturan dengan banyak denda. Kita tidak perlu buat yang macam-macam. Seperti iklan rokok, yang "menyebabkan kematian' pun, nyatanya tidak digubris.

Malang, 10 Mei 2020
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun