Saya tergolong orang yang sangat selektif. Betapa tidak. Nyaris saya tidak pernah tertarik dengan iklan jual beli baik di dunia nyata maupun alam maya. Entahlah. Apakah karena saya masih belum memiliki status sebagai pegawai tidak tetap, daya beli rendah, atau memang saya bukan tipe konsumtif? Wallah a'lam.....
Tapi jangan berprasangka negatif dulu! Saya generasi mileneal. Artinya, saya boleh kehilangan barang, SIM pun tidak mengapa, asal jangan Gadget ini yang lepas. Kalau soal SIM tidak ada, saya bisa gunakan Grab atau Gojek kan? Tapi gadget saya? Ada ratusan aplikasi, dokumen, alamat, nomer telepon, dan lain-lain informasi yang sangat berharga tersimpan di dalamnya. Bahkan, dengan gadget tersebut saya bisa menjadi lebih baik dalam artian pribadi ataupun kompetensi profesi.
Dari gadget saya belajar banyak tentang undang-undang, regulasi, info terkini, buku, jurnal, dan lain-lain sarana untuk pengembangan profesi. Untuk memperpanjang lisensi profesi harus online. Bayar pajak juga online. Beli pulsa, beli tiket, kirim kabar, transfer uang, menghubungi teman, ngontak pegawai bank, beli kebutuhan hidup, semuanya dilakukan lewat gadget yang ada dalam genggaman.
Makanya, kadang saya risih dengan berbagai iklan yang wira-wiri ketika saya membuka suatu web page di Kompasiana, atau browsing You Tube, bersliweran aneka iklan yang menurut saya sangat mengganggu.
Mulanya saya belum ngeh. Lama-lama saya paham, bahwa iklan ini adalah pihak sponsor yang harus bayar mahal untur untuk mendukung exist nya suatu program atau agenda yang ditayangkan di dunia maya, baik yang secara individual maupun institusional.
Akan halnya iklan terbaik selama Bulan Suci Ramadan ini, bagi saya semua iklan hanya bersifat menarik minat orang untuk membeli suatu produk. Memang, ada beberapa macam iklan yang saya tahu. Dari Pemerintah misalnya sifatnya informatif.Â
Secara garis besar saya mengenal dua kelompok besar iklan: yang bayar dan yang gratisan. Contoh iklan gratis paling umum adalah iklan sosial, pendidikan, ekonomi, politik, budaya dan religi. Iklan-iklan seperti itu biasanya free of charge, khususnya yang sumbernya dari Pemerintah. Di luar itu, iklan yang berbayar. Atau mengharuskan kita untuk bayar. Baik berupa barang maupun jasa.
Selama Ramadan ini saya tidak 'tertarik' membeli apa-apa, kecuali bahan makanan untuk kebutuhan sehari-hari. Bukan kebutuhan sekunder atau ekstra. Karena isi iklan biasanya selain mahal, manfaatnya kurang maksimal atau ada yang murah dengan kualitas menyesatkan. Tetapi kadang saya merasa 'dipaksa' untuk melihat iklan.Â
Iklan apa yang saya lihat? Ada dua macam iklan yang membuat saya untuk berhenti sesaat, melihat lebih detail. Iklan ini adalah iklan yang membuat saya lebih baik, dalam artian sikap, ilmu pengetahuan dan keterampilan. Andai itu makanan, bagi saya bergizi tinggi.
Makanya, ketika membuka Kompasiana beberapa hari sebelum Ramadan tiba, sorotan mata saya tertuju pada dua iklan yang membuat mood saya flying high. Dalam artian menggelitik semangat, ilmu pegetahuan serta keterampilan. Yaitu Tebar Hikmah Ramadan (THR) dan Blog Competition. Mungkin sementara itu dulu yang saya tahu dan bisa gabung.Â
Saya mau jujur, kalau soal hadiah, saya tidak terlalu berharap mendapatkannya. Itu tidak berarti saya orang yang pesimis. Saya sangat optimis bisa ikut gabung dengan berbagai kompetisi, tetapi bukan untuk menang dan jadi juara. Dengan mengikuti kompetisi, ada semacam energi ekstra yang saya keluarkan yang memberikan manfaat bagi jiwa dan raga.
Kalaupun saya 'tidak memenangkan' kompetisi, bukan berarti saya kalah. Bukan pula membuat saya kecewa lantaran tidak menerima hadiah. Saya tahu dan sadar betul, di dalam Kompasiana, ada ribuan penulis handal dan kondang yang antri di barisan terdepan yang bakal memenangkan kompetisi ini. 'Apa arti seorang Ridha Afzal?' Sebaliknya, nilai motivasi inilah yang menjadi tujuan yang tidak bisa saya beli dengan Rupiah.
Iklan cerdas Kompasiana berupa kompetisi menulis adalah dalam rangka mencerdaskan bangsa, generasi muda seperti kami khususnya, agar menjadi lebih baik. Lewat tulisan, banyak yang bisa saya raih. Dengan menulis saya merasa menjadi pribadi yang produktif, disiplin, terstruktur, menyukai buku, mendapatkan banyak teman, menambah wawasan, melatih penggunaan perbendaraan kata, menyusun kalimat yang beretika, dan puluhan keuntungan lainnya. Intinya, dengan menulis, membuat saya menjadi insan yang berguna. Â
Saya tidak perlu diiming-iming untuk mendapatkan hadiah saat menulis. Karena bukan itu tujuan utamanya. Kalaupun saya menang dalam kompetisi yang ditayangkan oleh iklan nanti, saya anggap sebagai bonus.Â
Sebaliknya, tidak jadi pemenang, saya tetap diuntungkan. Hadiahnya berupa keuntungan yang ternyata harus saya 'beli' pada Kompasiana. Saya membelinya dengan kedisiplinan, mencari dan menuangkan ide setiap hari, mengeluarkan tenaga, waktu dan sedikit pulsa. Dan itu semua, nilainya lebih dari hadiah yang ditawarkan Kompasiana.
Akhirnya, terima kasih Kompasiana yang telah mengajarkan kepada kami untuk menjadi generasi cerdas. Generasi yang tidak suka membuang waktu percuma untuk hal-hal yang tidak bermafaat. Apalagi di Bulan Suci Ramadan ini.Â
Lewat Kompasiana, sepuluh hari sudah, hidup saya selalu fokus, sekali lagi bukan untuk mengejar besarnya hadiah. Namun menguji nyali saya, apakah kedisiplinan yang saya renda kali ini, hanya sekedar memburu Rupiah atau saya benar-benar ikhlas melakukannya.
Malang, 6 Mei 2020.
Ridha Afzal
WA: 0823-6815-5600
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H