Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Curhat: I Just Called to Say "I Love You"

5 Mei 2020   01:00 Diperbarui: 5 Mei 2020   01:07 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Begitu kasus Corona menyeruak, ada hal mengganggu yang belum bisa saya jawab. "Bisakah saya nanti pulang kampong menjelang Lebaran?" Setahun lebih sudah di perantauan, mungkin saya termasuk orang yang lebay. Masih 'mbok-mbok'en' orang Jawa bilang. 

Cengeng. Bukan. Bukan itu sebenarnya maksud saya. Ada tradisi masyarakat Aceh yang sangat kental melekat dalam keluarga kami. Yakni berkumpul kala Idul Fitri tiba. 

Lagi pula ini kali kedua Lebaran saya tidak bersama mereka. Maklumlah sebagai anak pertama, ada rasa tanggungjawab yang juga menempel dalam batin ini, yang tidak mampu saya curhat kan.  

Selesai wisuda tiga tahun silam, tidak ada kebahagiaan sejati kecuali segera mendapatkan pekerjaan. Barangkali itu menjadi impian semua wisudawan. 

Saya jalani pendidikan Keperawatan selama 5 tahun di Banda Aceh. Biayanya cukup mahal bagi kami juga sebagian besar teman-teman, yang berasal dari kalangan menengah mayoritas. 

'Untung' dulu saya tidak diterima di Kedokteran. Coba saja masuk Fakultas Kedokteran, bisa 'keteteran' kuliah hanya karena beratnya membayar biaya semesteran. Saya terima ini dengan lapang dada, sebagai garis hidup. Garis hidup selalu ada hikmahnya.

Saya ikuti perkembangan kasus Corona dari hari ke hari, naik turunnya jumlah kasus yang meninggal, yang diduga atau yang dirawat. Sebagai seorang Perawat, tentu paham dengan persoalan ini. 

Selain itu, saya juga ikuti perkembangan travel, ongkos tiket, hingga kebijakan Pemerintah baik pusat maupun daerah berkenaan dengan karantina dan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). 

"Untuk apa saya pulang jika harus dikarantina 14 hari?" Demikian pertanyaan yang selalu menghantui. Dari hari ke hari. Travel bag yang saya letakkan disudut kamar, andai saja mampu bicara, mungkin pula akan protes,: "Bang...kapan kita akan pulang?"

Sebenarnya Mamak juga sudah menyuruh pulang. Saya mengerti perasaan seorang ibu. Saya juga mengerti, pasti beliau akan bersusah payah untuk mencari dana buat bayar ongkos pulang. 

Cinta ibu terhadap anak memang tidak kenal batas. Sebaliknya, kita ini, anak-anaknya kadang terlalu banyak batasannya. Mulai dari dana terbatas, waktu terbatas, hingga situasi kondisinya yang terbatas.

Di Bulan Suci Ramadan ini, tiap usai Salat, saya selalu berdoa bagi kesehatan, keselamatan, kesejahteraan serta keimanan kedua orangtua saya, juga adik-adik di rumah, serta seluruh keluarga dan banga Indonesia, agar kita segera terbebas dari kesulitan besar yakni Covid-19. 

Sebagaimana yang pernah kami alami saat Tsunami, walau waktu itu saya masih terlalu kecil untuk memahami apa arti kesulitan hidup. Tapi saya tidak lupa, Tsunami tidak akan pernah bisa hilang dari memori ini sebagai KBSB (Kesulitan Berskala Sangat Besar). 

Bayangkan, lebih dari 200.000 nyawa melayang, hanya dalam hitungan jam. Sebagai warga Aceh khususnya, dan umat beragama secara umum, tidak ada solusi yang paling bijak, kecuali mengembalikan semuanya kepada Allah Yang Maha Kuasa. Tidak terkecuali kesulitan yang sedang saya hadapi saat ini.

Sebenarnya, kesulitan jangka pendek yang paling mendasar adalah saya masih dalam proses mencari kerja yang mapan. Saya belum mendapatkan pekerjaan sebagaimana yang saya impikan. 

Sepertinya ini ujian terbesar yang dihadapi perawat yunior seperti saya. Kalau hanya sekedar kerja, mungkin saya bisa mendapatkannya. Saya bisa kerja apa saja kalau hanya asal kerja. 

Karena saya menyadari saya ini tipe seorang yang suka bekerja. Hanya saja, untuk bekerja sebagai seorang professional, membutuhkan strategi, seperti pelatihan, asah otak, keterampilan dan sikap, guna mempertajam kompetensi. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, supaya bisa dijadikan sebagai bargaining power. Yakni kekuatan  menawar dalam mencari kerja.

Saya tahu bahwa orangtua kami, yang berprofesi sebagai guru, tidak selamanya dalam kondisi 'punya'. Saya saja terkadang masih meminta bantuan mereka untuk bayar pelatihan yang tidak sedikit jumlahnya. 

Belum lagi tiga adik saya yang masih kuliah dua orang dan yang di SMA paling bungsu. Mereka ini sudah pasti membutuhkan biaya hidup yang tidak sedikit. Tidak hanya untuk bayar kuliah, tetapi juga biaya makan, pondokan, transportasi serta kebutuhan pribadi lainnya.

Terkadang, dalam kesendirian di tanah orang, pikiran saya melayang, "Kapan ya saya mampu membalas jasa dan budi baik kedua orangtua?" Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu saya kemukakan, lantaran saya sudah tahu jawabannya. 

Bahwa seumur hidup pun, saya tidak bakal mampu membalas jasa dan budi baik kedua orangtua kepada anak-anaknya. "Minimal, saya harus berusaha untuk membantu meringankan beban berat mereka." Sementara pernyataan ini pun, belum saya dapatkan jawabannya.

Kata Ustadz Abdul Somad, 'semua ada masanya'.  Barangkali ini jawaban sementaranya. Yang harus saya yakini sebagai sebuah takdir yang tidak bisa kita tolak. Bahwa semua akan ada akhirnya. Tidak terkecuali wabah Covid-19 ini.

Sejatinya saya malu untuk meminta maaf kepada Mamak atas ketidakmampuan diri ini untuk bisa segera membantu meringankan beban mereka. Saya tahu besar kemungkinan mereka butuh. Apalagi saya dengar tunjangan THR tidak ada tahun ini. Mulianya, tidak mereka sampaikan curhatnya kepada kami anak-anaknya, perihal kesulitan hidupnya. Semua ini dilandasi atas cinta dan kasih sayangnya kepada kami. Sebaliknya, kami anak-anaknya yang sering bilang 'I love you Mom', sebatas di bibir saja.

Kenyataannya memang demikian. Curhat terbesar tahun ini adalah: saya belum punya pekerjaan mapan. Belum punya penghasilan yang layak. Belum sanggup membantu orangtua. Dan, belum pula mampu berkunjung silaturahim, bersimpuh mencium kedua belah tanganmu. Maafkan anakmu Mom.
I just called, to say 'I love you Mom.....'

Malang, 5 Mei 2020
Ridha Afzal
WA: 0823-6815-5600

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun