Mohon tunggu...
Rida Agnisa
Rida Agnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswi prodi Ilmu Hukum yang hobi nonton F1.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Restorative Justice dalam Pidana Anak

7 Juli 2024   11:13 Diperbarui: 7 Juli 2024   11:36 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan anak adalah generasi kedua atau keturunan pertama atau manusia yang masih kecil, KBBI mendefinisikan anak sebagai suatu keturunan dalam konteks keluarga dan sebagai suatu individu yang sedang dalam masa perkembangan. Sedangkan menurut konstitusi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat (1), pengertian anak adalah suatu amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan atau berusia 0 (nol) tahun.

Kenyataan umum di masyarakat yang memandang anak sebagai makhluk tidak berdosa tidak menutup kemungkinan anak melakukan tindakan kejahatan dan pelanggaran hukum yang serius, sudah banyak media yang meliput kasus kejahatan dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak-anak. 

Kejahatan anak adalah perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma  berlaku yang disahkan oleh hukum tertulis yang dilakukan oleh individu berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun. Menurut data dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), per 2020-2022 tercatat sebanyak 2.302 kasus kejahatan yang dilakukan anak, kasus tersebut terdiri dari : Pencurian sebanyak 838 kasus, Narkoba sebanyak 341 kasus, Penganiayaan sebanyak 232 kasus, Senjata tajam sebanyak 153 kasus, Pencabulan/pelecehan sebanyak 173 kasus, Pembunuhan sebanyak 48 kasus, Pemerkosaan sebanyak 26 kasus, Lain-lain sebanyak 491 kasus .

Banyak faktor yang melandasi anak-anak melakukan kejahatan dan kriminalitas, namun secara garis besar faktor-faktor tersebut digolongkan menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Chusniyah, 2014). Faktor internal yang mempengaruhi anak melakukan tindakan kejahatan dan kriminialitas meliputi kepribadian, konsep diri yang rendah, ketidakmampuan dalam penyesuaian sosial, dan kemampuan penyelesaian masalah yang rendah. 

Sedangkan faktor eksternal yang memengaruhi adalah adanya pola asuh orang tua yang buruk (orang tua yang menerapkan pola asuh authoritarian, permissive, dan uninvolved), pengaruh dari lingkungan teman sebaya, adanya tekanan sosial, kemiskinan struktural, rendahnya pendidikan, dan pengaruh role model yang tampil dari media-media elektronik yang digunakan anak.  

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, dalam upaya penegakan hak asasi manusia negara ini membentuk konstitusi atau peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang mengatur cara-cara pemerintahan diselenggarakan dalam menghadapi segala sesuatunya. 

Dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini misalnya, dinyatakan bahwa  pidana adalah penderitaan yang sengaja diberikan oleh negara kepada seseorang. Pidana diberikan sebagai reaksi atas perbuatan seseorang yang melanggar hukum pidana dan sanksi yang diberikan oleh negara diatur secara rinci (Hiariej, 2016). Sebagaimana disebutkan Vos yang dikutip oleh Hiariej, tujuan pidana secara garis besar terbagi dalam tiga aliran yaitu :

  • Teori Absolut
  • Menurut teori ini, pembalasan adalah legitimasi pemidanaan. Negara memiliki hak yang mutlak untuk menjatuhkan pidana kepada penjahat dikarenakan penjahat tersebut telah menciderai hak-hak dan kepentingan hukum yang telah dilindungi. Teori ini menganut konsep just deserts dimana penjahat dianggap layak untuk dihukum sebagai akibat atas perilaku tercela yang diperbuat.
  • Teori Relatif
  • Kebalikan dari teori absolut, teori relatif ini memiliki dasar pidana untuk penegakan ketertiban di masyarakat dengan tujuannya yaitu untuk mencegah kejahatan.
  • Teori Gabungan.
  • Menurut teori ini, antara unsur penderitaan dan kemanfaatan harus berimbang. Penderitaan memang mutlak ditanggung pelaku kejahatan, namun pemberian penderitaan tersebut harus mempertimbangkan kemanfaatan sosial. Penderitaan yang diterima pelaku kejahatan berat-ringannya harus berada dalam batas kelayakan.

Namun terlepas dari semua itu, sebagai roda penggerak kemajuan bangsa Indonesia, kedudukan anak di hadapan hukum memiliki posisi khusus. Tujuan pidana menurut teori absolut tidak cocok diterapkan dalam menghadapi tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh anak. Hukuman pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak tidak bisa dihukum dengan hukuman yang sama dan sejenis dengan yang diterapkan kepada orang dewasa yang melakukan tindak pidana serupa. 

Hal ini disebabkan karena anak memiliki hak-hak khusus yang menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat (12) menyatakan bahwa hak-hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Kemudian dalam pasal 2 disebutkan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak harus berasaskan pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Konvensi Hak-Hak anak yang meliputi :

  • Non diskriminasi;
  • Kepentingan yang terbaik bagi anak;
  • Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
  • Penghargaan terhadap pendapat anak.

Kedudukan Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) mengharuskan Indonesia menjadi negara yang memiliki fokus khusus dalam memberikan perlindungan kepada anak-anak yang sedang berhadapan dengan hukum.

 Oleh karena teori pidana dan pemidanaan yang bertolak belakang dengan asas pelaksanaan sistem peradilan pidana anak, maka dibentuklah suatu sistem penyelesaian pidana anak yang pelaksanaannya tidak bertabrakan dengan asas perlindungan anak. Undang-Undang Sistem Peradilan Anak hadir sebagai perisai pelindung hak-hak anak dari adanya perampasan kemerdekaan hak-hak mereka. Penerapan restorative justice diutamakan dalam pidana anak, hal ini sesuai dengan penyataan pasal 5 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak nomor 11 Tahun 2011 dimana peradilan ini meliputi :

  • Penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
  • Persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan
  • Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.

Menurut UU SPPA pasal 8 penerapan restorative justice dilakukan dengan pendekatan diversi. Diversi adalah upaya penggantian sistem penyelesaian perkara anak menggunakan mediasi, dialog, atau musyawarah melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional. 

Upaya ini mempersingkat penyelesaian perkara anak yang tadinya sangat kaku dan panjang. Kemudian pendekatan ini memberikan jalan penyelesaian dalam pidana anak, mengingat pemberian hukuman mati dan penjara seumur hidup hanya boleh dilakukan sebagai ultimum remedium dalam penegakan hukum pidana anak. Menurut pasal 6 diversi memiliki tujuan untuk :

  • Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
  • Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
  • Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
  • Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
  • Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Diversi dalam penerapannya memiliki syarat, yaitu ancaman pidana di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan: kategori tindak pidana, umur Anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas, dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. 

Hasil hasil kesepakatan diversi dibahas dalam pasal 11, berupa perdamaian dengan atau tanpa kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan, atau pelayanan masyarakat.

 Seorang anak yang berusia antara 12-18 tahun sedang mengalami perkembangan sosial dan emosional, ketika mereka melakukan kesalahan dan kemudian negara melakukan pengabaian dengan tidak memberikan perhatian khusus maka anak tidak akan mampu memperbaiki hubungan dengan lingkungan sekitar. Pengabaian ini akan melekatkan stigma negatif pada diri anak yang akhirnya melekat seterusnya sepanjang hidup mereka kedepannya. 

Penerapan restorarive justice dengan pendekatan diversi dalam pidana anak membuka pintu kesempatan kepada anak untuk turut serta berperan aktif dalam penyelesaian masalah dimana hal ini meningkatkan rasa tanggung jawab anak ketika berbuat sesuatu hal. Prinsip-prinsip perlindungan hak anak yang diakui secara internasional, seperti yang diatur dalam Konvensi Hak Anak, termasuk hak untuk diperlakukan secara manusiawi, hak untuk mendapatkan perlindungan khusus, dan hak untuk berpartisipasi dalam proses yang mempengaruhi mereka. 

Restorative justice sejalan dengan prinsip-prinsip ini. Berkat UU SPPA, penegak hukum wajib secara konsisten mencari solusi terbaik untuk kepentingan anak dan melindungi anak dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak secara keseluruhan, tanpa mengurangi kebebasan dan kreativitas anak sebagai generasi penerus bangsa.

Referensi 

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Ikhsanudin, A. (2023). Kejahatan Anak Meningkat, Kemen PPPA Soroti Pola Asuh Orang Tua. Diakses pada Juni 2024 dari : https://news.detik.com/berita/d-6629873/kejahatan-anak-meningkat-kemen-pppa-soroti-pola-asuh-orang-tua

Chusniyah, T. (2014). Penyebab Kenakalan dan Kriminalitas Anak. Malang : FpPsi-UM press. Diakses pada Juni 2024 dari : https://fpsi.um.ac.id/penyebab-kenakalan-dan-kriminalitas-anak/

Hiariej, E. (2016). Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka.

Pasal 37 Konvensi Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) Tahun 1989.

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2011.

Mahmud, M. (2019). Penerapan Sanksi Pidana Anak Menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. DOI https://doi.org/10.31960/ijocl.v1i2.381

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun