"Tapi kan lama, untuk mendapatkan pohon sebesar itu...." Kerongkonganku tercekat. Raungan puteriku tak mau berhenti. Air mata terus saja mengalir, di pipiku.
Pohon-pohon itu tumbuh bersama anak-anakku dan kami semua para relawan konservasi di gunung Lemongan. Waktu, tenaga, dan biaya-biaya...sudah tak terhitung lagi. Dan semuanya swadaya, murni, dan independen.
Tahun-tahun yang sangat panjang dan kerap sedemikian menguras energi. Tapi kami tidak berhenti, apalagi menyerah. Hanya ingin Tuhan saja yang menilai amal jariyah ini. Puteriku--sepuluh tahun--masih tersedu, aku memeluknya, tak mampu lagi menghibur dengan kata-kata menguatkan.
Seorang kawan dari Bandung yang sengaja mengunjungi kami untuk berlibur, menepuk-nepuk bahuku. "Sabar ya, Mbak." dukungnya sambil menyeka air mata.
Belasan buruh tebang sudah tidak tampak lagi di lahan konservasi, butuh waktu bagi suamiku untuk meminta mereka pergi. Orang-orang kelas sandal jepit itu hanya mencari makan, hal ini sangat kami pahami.
Yang keparat adalah pihak yang merasa berkuasa. Mereka tidak terlihat dimanapun...seperti biasa. Puteriku masih terisak, anak sepuluh tahun itu sedemikian berduka. Ia bahkan menolak minum saat kusodorkan sebotol air yang kami bawa dari rumah.
Kami kepanasan duduk di atas sepotong kayu sisa-sisa gergajian, di tengah area yang dulunya teduh. Aku menatap sekeliling yang kerontang, dengan udara berdebu. Sama sekali berbeda dengan waktu-waktu sebelum penebangan oleh Perhutani dilakukan secara membabi buta.
Aku ingat sejak pertengahan puasa Ramadhan 2013, suamiku sudah berusaha mendatangi pihak-pihak yang terlibat dalam penebangan pohon di petak 19 C--di mana dahulu terdapat kesepakatan untuk bersama-sama melindungi wilayah tersebut--supaya tidak melanjutkan penebangan.
Faktanya, mereka semakin merangsek ke lahan konservasi hingga peristiwa puncak--ambang batas kesabaran para relawan konservasi--pada tanggal 2 Oktober 2013 lalu.
Sepanjang siang itu kami melakukan segala upaya, seperti menghubungi awak media dan mengontak seluruh relawan supaya berkumpul di posko. Malam itu kami menginap di gunung. Menjaga pohon-pohon kami, bersiaga penuh atas segala kemungkinan.
Dua tahun kemudian