Guntur terlahir dalam relung malam kelam, tak usah kau bayangkan ia lahir terdokumentasi dengan baik bahkan selembar foto USG (Ulta-Sono-Grafi) pun tidak ada.
Tak ada kerlap-kerlip yang menyambutnya. Setiap hari sama saja, seperti senja seperti malam. Terkait nama, sejujurnya sikapnya tak seperti namanya.
Pakar bapak tua, seperti namanya ia yang disegani oleh semesta alam bahkan mungkin Pencipta Alam karena kepintarannya, kepintaran untuk membuat anak-anak didiknya tetap dan semakin kecil, juga terasingkan diantara anak seusia mereka di desa tetangga.
Aku sendiri hanyalah pengelana yang mengembara. Aku menginjakkan kaki di kampung itu bukan karena keinginanku, tetapi karena tersesat oleh bayang-bayang yang tidak ada ujungnya, gelap.
"Negeri yang kaya nan indah, tak pernah kakiku menginjak pada tanah subur seperti ini sebelumnya, bahkan dalam mimpi pun tidak," pikirku sembari menelan ludah yang begitu berat.
"Berjuta rakyat menanti tanganmu, mereka lapar dan bau keringat, kusampaikan salam-salam perjuangan, kami semua cinta Indonesia," gumamku sembari jalan pelan memandangi kiri dan kanan.
Tak sadar, di depanku sudah ada beberapa anak menegurku dan bertanya siapakah aku dan hendak kemana aku akan pergi. Keheningan yang kurasakan tetiba berubah dengan keramaian. Aku di tengah, diantara mereka yang bernyanyi.Â
Aku tidak mengerti maksud nyanyian itu, tarian itu. Yang aku tahu raut wajah mereka begitu bahagia. Apakah setiap yang datang ke tempat ini disambut dengan tradisi yang seperti itu? Entahlah.
"Halo... Panggil saja kak Recard. Kakak dari Bandung, Kakak mau ke desa itu, kalian mau menemaniku?" jawabku sambil melayangkan tanganku untuk memberi salam dan mulutku mengarah ke wilayah pemukiman yang ramai di ujung Utara.
Tanpa menjawab, mereka menarik-narikku sembari menari bahagia. Tentu saja ke arah kemana yang kumaksud.
Kampung, dalam benakku, suatu lokasi yang identik dengan hutan semak belukar, tidak tertata, kotor, sampah dimana-mana, jarak antar rumah berjauhan.Â
Perlu berjalan puluhan menit menuju rumah lain dari rumah yang satu. Pesona seperti di buku gambar jamanku Sekolah Dasar (SD) dulu. Tidak berbeda, ternyata memang benar. Hanya saja ada satu hal yang membuatku ternganga.
Tidak seperti yang kuinjak sebelumnya, masih berbekas di jejak sepatuku merahnya tanah-tanah yang menjadi saksi bisu. Jejak sepatu jelas tergambarkan di aspal-aspal ukuran setapak penghubung antar rumah di pemukiman itu.
"Binatang buas apa yang menghembuskan kotorannya di jalan pemukiman ini sehingga bisa terbentuk menjadi aspal?" pikirku terkagum-kagum karena di desa ini jalanan pemukimannya sudah aspal meskipun jalan sepanjang kota menuju pemukiman ini masih tanah merah.
Jangan bayangkan bagaimana meraih desa ini di musim penghujan. Semua akses mati dan ditutup.
Bersambung... (Di balik robot penghibur #2)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H