Masih kuingat jelas sore itu ketika teman bertanya dalam senyum candanya. Sedang aku menjawab dengan santai namun itu jawaban yang sesungguhnya.
“Mas, lima bulan sudah pengabdianmu di desa, tinggal menghitung hari mas akan lepas dari tugas. Apa rencana mas selanjutnya?”
“Hmmm, untuk rencana aku pasti punya. Akan tetapi untuk menjalankannya aku harus bersabar. Sebab masih ada hari esok yang harus kujalani,” jawabku.
Lalu dia menolehku padahal sebelumnya dia bertanya sambil bermain dengan telepon genggamnya. Dia seakan tidak percaya dan tidak puas dengan jawabanku. Dia berkata bahwa ketika aku menjalankan rencanaku setelah semuanya usai, maka pastilah akan ada waktu yang terbuang sia-sia. Dan dia menyarankan agar aku segera mencari pengganti kegiatanku sebelum semuanya berakhir.
Bukan aku tidak mau. Dia juga tidak kuanggap salah. Manusiawi ketika kita takut tidak melakukan apa-apa terutama tidak mendapatkan apa-apa. Sedang aku berpikir sangatlah tidak baik bagiku melakukan rencana dalam rencana. Rencana awalku ialah menghabiskan semua rangkaian kegiatan pengabdian ini. Berawal dari pra pengabdian, saat pengabdian di penempatan, juga pasca pengabdian.
Lagipula bagaimana mungkin aku akan fokus ketika aku menjalankan rencana baru sedang statusku masih berbau harapan untuk tetap menjadi bagian dari pengabdian ini. Terkecuali aku memang sudah tidak ingin berkecimpung di dunia seperti ini. Bahkan saking bulatnya tekadku, rencana keduaku pun ialah kembali ke daerahku dan belajar memulai mengembangkan desaku. Dan kalau digali lebih dalam, aku mengabdi di tanah bukan kelahiranku ialah untuk belajar dan mengembangkan potensi diriku, menimba ilmu sebanyak-banyaknya sebelum aku kembali dan memberikan diri untuk desaku.
Bagiku tujuan hidupku ialah kembali ke tanah kebesaranku dan belajar mengembangkannya bersama warga sedesa, karena kusadari aku dipanggil untuk itu. Kalau aku menoleh ke belakang, manalah mungkin aku yang bukan siapa-siapa apalagi bukan keturunan siapa-siapa bisa menuntut ilmu di kota yang terkenal yang sering disebut dengan kotanya para bidadari, sebut saja Bandung.
Tidak ada niat S2?
Hmmm, itu pertanyaan yang sulit bagiku. Sangatlah terlalu dini kukatakan kalau aku tidak memiliki niat untuk melanjutkan pendidikan. Sebab aku resign atau tidak melanjutkan kontrakku yang kedua di salah satu perusahaan multi nasional di Kepulauan Riau, Bintan, yakni karena aku ingin melanjutkan S2. Namun, karena satu dan dua hal aku berhenti untuk mencari kesempatan itu.
Mengapa? Singkatnya aku ingin menimba ilmu ke jenjang master ialah ingin mengembangkan diriku terutama dalam hal kemampuan dan pola pikir untuk bisa andil untuk mengembangkan desaku. Jadi kalau saja kala itu aku S2 dan kelak di wisuda, itu semua sebagai bekalku untuk desaku.
Sementara dilain hal aku mendapatkan kesempatan untuk belajar dengan metoda “Learning by doing”. Belum lagi aku menjalaninya bahkan masih dalam tahap pelatihan, kepalaku sudah dipenuhi niat untuk menjadikan S2 sebagai pilihan berikutnya. Bahkan sebulan setelah penempatan di salah satu desa di Kalimantan Utara, aku sedikit memengaruhi rekan se kabupaten untuk turut berpikir bahwa kita yang diberi kesempatan untuk mencicipi sakit-manisnya kuliah itu tidak jauh dari panggilan hidup yakni kembali ke desa dimana kita dibesarkan dan mengabdi di sana.