Mohon tunggu...
Rico Hidayat
Rico Hidayat Mohon Tunggu... Editor - mahasiswa

menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Melawan Arus Gelombang Perjuangan Feminisme yang Tak Pernah Padam

6 November 2024   00:07 Diperbarui: 6 November 2024   14:55 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis Artikel : Uday Habib Wirayudha

Gelombang demi gelombang menghantam, namun perahu perjuangan tak pernah terbalik. Itulah gambaran yang tepat untuk menggambarkan perjalanan panjang gerakan feminisme yang telah berlangsung selama berabad-abad. Di tengah derasnya arus patriarki yang mengakar kuat dalam struktur sosial masyarakat, suara-suara perempuan terus bergema, menuntut kesetaraan dan keadilan yang fundamental. Dari suffragette yang berjuang untuk hak pilih di awal abad ke-20, hingga aktivis kontemporer yang menyuarakan isu-isu seperti kekerasan berbasis gender dan kesenjangan upah, api perjuangan feminisme tak pernah padam.

Sejarah telah mencatat bagaimana perempuan harus berjuang keras melawan sistem yang telah lama mengekang hak-hak mereka. Dimulai dari Mary Wollstonecraft yang menulis "A Vindication of the Rights of Woman" pada tahun 1792, hingga Simone de Beauvoir dengan karya monumentalnya "The Second Sex" pada 1949, para pemikir feminis telah meletakkan fondasi kuat bagi gerakan pembebasan perempuan. Mereka tidak hanya menantang norma-norma sosial yang membatasi peran perempuan, tetapi juga membongkar struktur kekuasaan yang melanggengkan ketidaksetaraan gender.

Meski kerap mendapat resistensi dan stigma negatif, gerakan feminisme terus berevolusi dan beradaptasi dengan konteks zamannya. Di era digital ini, perjuangan untuk kesetaraan gender menemukan medium baru melalui media sosial dan ruang-ruang virtual, memungkinkan solidaritas lintas batas negara dan budaya. Gerakan #MeToo yang viral secara global telah membuktikan bagaimana teknologi dapat menjadi katalis yang powerful dalam mengungkap dan melawan berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan.

Namun di balik kemajuan yang telah dicapai, realitas menunjukkan bahwa jalan menuju kesetaraan gender masih panjang dan berliku. Data-data statistik global masih menunjukkan kesenjangan yang mengkhawatirkan: perempuan masih mendapatkan upah lebih rendah untuk pekerjaan yang sama, representasi perempuan di posisi kepemimpinan masih minim, dan angka kekerasan berbasis gender tetap tinggi di berbagai belahan dunia. Di negara-negara berkembang, situasi bahkan lebih kompleks ketika isu gender bersinggungan dengan kemiskinan, akses pendidikan, dan praktik-praktik budaya yang diskriminatif.

Evolusi Gerakan Feminisme: Dari Gelombang ke Gelombang

Gerakan feminisme telah mengalami evolusi yang signifikan melalui berbagai gelombang perjuangan. Gelombang pertama feminisme di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 berfokus pada perjuangan hak-hak dasar perempuan, terutama hak pilih dan hak kepemilikan properti. Para pionir seperti Susan B. Anthony dan Elizabeth Cady Stanton memimpin gerakan suffragette yang akhirnya berhasil memenangkan hak pilih bagi perempuan di berbagai negara.

Gelombang kedua feminisme yang muncul pada tahun 1960-an dan 1970-an membawa agenda yang lebih luas. Tokoh-tokoh seperti Betty Friedan dan Gloria Steinem menyoroti isu-isu seperti kesetaraan di tempat kerja, hak reproduksi, dan pembebasan seksual. Slogan "the personal is political" menjadi manifesto yang menggarisbawahi bagaimana pengalaman pribadi perempuan terhubung dengan struktur kekuasaan yang lebih besar.

Interseksionalitas: Memperluas Perspektif Perjuangan

Memasuki gelombang ketiga dan keempat, gerakan feminisme semakin menyadari pentingnya interseksionalitas -- pemahaman bahwa penindasan gender saling terkait dengan bentuk-bentuk diskriminasi lainnya seperti ras, kelas, dan orientasi seksual. Kimberl Crenshaw, yang mencetuskan istilah ini, membuka mata dunia tentang bagaimana perempuan kulit hitam, misalnya, menghadapi lapisan diskriminasi yang berbeda dari perempuan kulit putih kelas menengah.

Tantangan Kontemporer dan Bentuk-Bentuk Perlawanan Baru

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun