Mohon tunggu...
Rico Simanjuntak
Rico Simanjuntak Mohon Tunggu... -

Penggerak Pangan Lokal Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Money

Menyoal Kekeliruan Pandangan FAO Terkait Pangan Indonesia

11 Oktober 2016   12:24 Diperbarui: 11 Oktober 2016   17:56 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini sektor pertanian secara mendadak dikejutkan oleh pernyataan Badan Pangan PBB (FAO) yang menyoal tentang kondisi pangan Indonesia dalam posisi kritis. FAO mengungkapkan sebanyak 7,9% atau sekitar 20 juta orang dari total 250 juta orang jumlah penduduk Indonesia, masih kekurangan pangan.

FAO berdalih, masalah tersebut tidak hanya berkutat pada kekurangan pangan, tetapi meluas pada masalah ketiadaan akses untuk pemenuhan makanan yang layak, sehingga berbuntut pada gizi buruk. FAO mengklaim benang kusut masalah tersebut diakibatkan oleh kemiskinan.

Namun, jika menelisik dengan membandingkan antara data FAO dan BPS, apa yang diungkapkan FAO di atas, kondisi pangan Indonesia saat ini tidaklah separah itu. Sebab, tidak jelas metode apa yang digunakan FAO dalam penentuan sampel dan sampai pada pengolahan datanya.

BPS sebagai satu-satunya lembaga resmi negara yang berhak dan valid menyajikan data, mengungkapkan data kondisi ketahanan pangan yang berbeda dengan FAO. Dalam konteks ini, BPS sangat lanyak dijadikan rujukan resmi.

Data BPS hasil Sensus Pertanian 2013 mengungkapkan Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) Tanaman Pangan memiliki nilai paling tinggi dibandingkan subsektor. Ini disebabkan karena berkaitan dengan ketersediaan pangan. Di sisi lain tidak ada perbedaan IKP yang signifikan antar jenis pendapatan rumah tangga. Artinya, pendapatan sebesar apapun bukan hal yang sulit bagi RTUP untuk mendapatkan bahan pangan.

Sementara terkait kemiskinan, dengan standar Bank Dunia rata-rata pendapatan USD 1,9 per hari, BPS merilis bahwa tingkat kemiskinan masyarakat Indonesia saat ini menurun jika dibandingkan di 2015. Pada periode April 2016 jumlah penduduk miskin sebesar 28,01 juta jiwa atau 10,86 persen dari total penduduk. Penduduk miskin ini menurun dibandingkan September 2015 sebesar 28,51 juta jiwa atau 11,16 persen dari total penduduk.  Penduduk miskin tahun 2016 menurun 2,05 persen dibandingkan 2015 dengan rincian di wilayah perkotaan dan perdesaan masing-masing sebesar 2,94 persen dan 1,53 persen. 

Akan tetapi, kecenderungan kemiskinan ini semakin menurun. Ini dibuktikan oleh data series sebelumnya yaitu penduduk miskin periode September 2015 mencapai 28,51 juta orang atau 11,13 persen, menurun 80 ribu orang jika dibandingkan Maret 2015 sebanyak 28,59 juta orang. Penduduk miskin di perkotaan September 2015 tercatat 10,62 juta orang atau turun sebanyak 30 ribu dibandingkan dengan Maret 2015. Sedangkan di perdesaan, jumlah penduduk miskin turun 50 ribu dari 17,94 juta orang menjadi 17,89 juta orang.

Apabila mengaitkan antara data IKP dengan kemiskinan, dapat disimpulkan bahwa besarnya jumlah penduduk rawan pangan 20 juta orang yang disebutkan FAO, dapat dikatakan berlebihan. Kesimpulan ini sangatlah kuat karena mengacu pada hasil sensus pertanian 2013 terkait IKP. Di mana, dengan pendapatan sebesar apapun bukan hal yang sulit bagi RTUP untuk mendapatkan bahan pangan.

Ini menandakkan, jika menggunakan data jumlah penduduk miskin tahun 2016 mencapai 28,01 juta jiwa, belum tentu yang mengalami kekurangan pangan sebanyak 20 juta jiwa. Apalagi perbaikan pertumbuhan ekonomi pada kuartal-II 2016, dipengaruhi dari kontribusi sektor pertanian yang melampaui prediksi. Kontribusi sektor pertanian sangat besar yakni 14,14% dari total pertumbuhan ekonomi nasional (BPS, 2016).

Merujuk data BPS tersebut, dapat disimpulkan FAO keliru dalam mengungkapkan kondisi pangan Indonesia. FAO gagal memahami definisi lapar dan kelaparan yang sebenarnya, tidak bisa membedakan dua hal ini. FAO pun gagal dalam menganalisis pertanian Indonesia secara sosial budaya atau kultur. Kegagalan paham ini sangat berbahaya karena dapat merusak citra pertanian pertanian di mata dunia. Sebab, dengan satu pernyataan saja yang keliru disampaikan oleh organisasi dunia, dapat merusak sendi-sendi pangan dan perekonomian negara bahkan mengarah pada ancaman pertahanan nasional.

Oleh sebab itu, FAO sebagai lembaga dunia yang mengurus pangan, sebaiknya objektif melihat pangan suatu negara. Jangan sampai terkesan ada maksud lain dibalik itu, mau jadi pahlawan seolah-olah membela petani miskin tapi mau menguasai lahan pertanian Indonesia. Tak heran, lahan dan pertanian Indonesia dari hulu hingga hilir dikuasai oleh kepentingan asing yang sudah berhubungan mesra dengan para elit negara dan politikus.

Oleh karen itu, untuk mempertahankan prestasi pangan saat ini, pemerintah harus melibatkan elemen pemuda yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa (lingkungan, agama dan sosial-budaya). Sebab, pertanian tidak bisa dipisahkan dengan unsur budaya. Pertanian bisa ada dan bertahan lama sampai saat ini di tengah gerusan globalisasi karena masih melekatnya nilai-nilai luhur pada masyarakat.

Selain itu, Josep E. Stiglitz saat memberikan kuliah umum di Jakarta (14/12/2005) mengatakan Indonesia agar fokus pada kepentingan jutaan warga, dengan fokus pada sektor pertanian. Pasalnya, mayoritas penduduk masih tinggal di pedesaan dan mayoritas adalah petani. Indonesia juga sangat kaya sumberdaya alam, oleh karena itu, memperhatikan pengembangan pertanian adalah tugas yang mau tidak mau harus dilakukan karena Indonesia tidak bisa mengabaikan keberadaan penduduk seperti itu.

Untuk mengejawantahkan pernyataan ekonom kaliber internasioanal tersebut, mau tidak mau konsep pembangunan pertanian harus mengacu pada kearifan lokal masyarakat setempat dan mengembangkan komoditas sesuai dengan keunggulan daerah masing-masing. Menjunjung tinggi nila-nilia luhur bangsa yang melekat pada masyarakat petani menjadi kunci pertanian sebagai wadah untuk membebaskan petani dan negara dari kemiskinan. Elemen pemuda yang paham inilah yang menjadi ujung tombak perubahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun