Mohon tunggu...
Rico Anwar
Rico Anwar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Aksi Bela Islam, Skenario Pemberangusan Aktivis dan Pencopotan Ketua DPR

24 November 2016   16:50 Diperbarui: 24 November 2016   17:03 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum genap setahun Ade Komarudin menjabat sebagai Ketua DPR RI, Partai Golkar memutuskan dalam rapat pleno DPP pada Selasa (22/11/2016) memutuskan untuk memberhentikannya dari jabatan tersebut. Rapat yang dipimpin oleh Ketua Harian Partai Golkar Nurdin Halid itu juga memutuskan untuk mengembalikan Setya Novanto menjadi Ketua DPR.

Keputusan tersebut berbekal pada putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang memulihkan nama baik Novanto setelah tersangkut kasus 'papa minta saham' tahun lalu.

Bak petir di siang bolong, publik dikagetkan dengan keputusan Partai Golkar tersebut. Jika ditelusuri besama bahwa Golkar sebenarnya tidak punya alasan yang kuat secara etika politik dan logisnya untuk mencopt Akom dari posisi Ketua DPR, walaupun dalam UU MD3 Partai mempunyai wewenang untuk memberhentikan dan mengajukan kadernya di alat kelengkapan dewan. Pasalnya, Akom tidak pernah berbuat kesalahan apapun yang merugikan DPR RI bahkan Partai Golkar sendiri. Main copot dan ganti seperti DPR hanya milik Golkar.

Saya yakin, langkah Golkar ini akan mendapatkan reaksi keras dan penolakan dari berbagai pihak, baik dari internal Golkar maupun di luar Golkar sendiri, terutama Rakyat Indonesia yang dalam memorinya masih tersimpan rapi kejahatan yang dilakukan oleh Setya Novanto salah satunya pada kasus ‘Papa Minta Saham’. Biarlah ini mengalir dan bergulir, dan orang yang waras pasti tidak bisa menerima kalau si Pencatut Nama Presiden itu duduk lagi di kursi Ketua DPR.

Pada tulisan ini, saya ingin melihat dari sisi lainnya, terlepas dari konstalasi dan dinamika politik di internal Golkar maupun di DPR. Yang saya maksud di sini adalah, apakah ada kaitannya dengan skandal Penistaan Agama yang dilakukan oleh Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki T Purnama alias Ahok, sehingga menimbulkan reaksi keras Umat Islam dalam bentuk Aksi Bela Islam?

Kita ketahui bersama bahwa Pasca Ahok gencar diprotes melalui aksi dan dilaporkan ke polisi karena ucapannya yang menghina Agama Islam itu, Presiden Joko Widodo tiba-tiba mengeluarkan pernyataan setelah aksi Bela Islam (4/11) bahwa ada aktor politik yang menunggangi aksi tersebut. Bukan hanya itu, Jokowi bahkan melakukan safari, mengunjungi perangkat Negara seperti TNI dan Polri, mengunjungi Kantor Ormas Islam, dan mengundang para Ulama dan tokoh Islam ke Istana, seakan membahasakan bahwa Negara Indonesia sedang dalam ancaman besar perpecahan dan ada upaya untuk memakzulkan dirinya dari posisi Presiden RI dan menyiratkan bahwa Presiden Jokowi seakan melindungi Ahok dari jeratan hukum.

Yang terbaru lagi, pada rencana Aksi Bela Islam yang dilakukan ketiga kalinya pada 2 Desember mendatang, Polri Tito Karnavian menyebut ada upaya Makar pada Pemerintahan Joko Widodo, dan masih banyak sandiwara dan drama lainnya yang tak bisa disebutkan di sini.

Ada apa sebenarnya antara Ahok dengan Jokowi? Mungkin pertanyaan itu tidak perlu dijawab di sini, karena saya yakin kita semua tau hal itu dari fenomena dan drama yang dipertontonkan pada kita.

Pada Aksi Bela Islam yang dilakukan umat Islam pada (4/11/2016) sebenarnya hanya menuntut keadilan hukum terhadap Ahok yang saat ini terbukti bersalah dengan dijadikannya tersangka oleh polisi, itu pun karena tuntutan gelombang massa yang sangat besar. Namun, seakan pemerintah dalam hal ini Polri berkilah dan melakukan segala upaya untuk mengalihkan kasus tersebut.

Menurut kesimpulan saya, di belakang Ahok ini ada kekuatan besar, sehingga dia diperlakukan begitu penting dan istimewa di Negeri ini, bahkan hukum juga tidak mampu menaklukannya. Saya juga yakin, bahwa ini berkaitan juga dengan Presiden Jokowi.

Pasca Ahok ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama dan Ahok menjadi tersangka terspesial dalam sejarah hukum Indonesia karena baru kali ini tidak ditahan bahkan bebas saja berkeliaran di luar sana dan melakukan aktivitas politik sebagai Cagub DKI.

Oleh sebab itu, pada 17 November 2016 GNPF MUI menemui Pimpinan DPR RI dan  secara lengkap diterima oleh  Ketua DPR RI Ade Komarudin dan empat wakil Ketua DPR RI yang disaksikan  oleh Sekjen DPR RI beserta para stafnya.

GNPF MUI melaporkan kepada Pimpinan DPR RI tentang kronologis “Pembantaian Umat Islam” di depan Istana Negara saat digelar aksi bela Islam 411 dan meminta DPR RI agar melaksanakan fungsi pengawasannya terhadap Presiden RI Joko Widodo, serta menggunakan hak konstitusinya untuk bertanya kepada Presiden, mengapa Ahok tidak ditahan.

Ketua DPR Ade Komarudin bersama para Wakil Ketua DPR RI menyambut sangat antusias dan berjanji untuk mentranskrip semua masukan GNPF MUI untuk disosialisasikan ke semua anggota DPR RI dan siap mengawal laporan tersebut hingga tuntas.

Tiba-tiba pada pada tanggal 22 November 2016 DPP Partai Golkar mengumumkan pencopotan Ade Komarudin dan menggantinya dengan Setya Novanto yang pernah jadi Ketua DPR RI lalu mengundurkan diri karena kasus “Papa Minta Saham”.

Seakan-akan, siapa saja yang terkesan membela GNPF MUI itu adalah ancaman dan harus disingkirkan

Kita ketahui bersama bahwa Golkar di bawah kepemimpinan Setya Novanto merupakan pendukung dan pengusung Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, dan partai pendukung Jokowi. Dengan indikasi itu, hubungan Golkar dengan rezim Jokwi saat ini sangat mesra, belum lagi dengan kemesraan antara Jokowi dengan Setya Novanto akhir-akhir ini.

Dalam kasus pencopotan Ade Komarudin dari Ketua DPR ini, Jokowi memiliki kepentingan mengamankan diri dan kelompoknya dan bisa memegang kendali penuh atas konstalasi politik dan hukum di Indonesia ini. Jelas dia berkepentingan bahwa harus orang yang lebih dekat dan bisa di ‘stir’ olehnya dalam segala hal yang memimpin DPR. Walaupun dengan tidak mempertimbangkan etika dan moral dan memutuskan urat malu, DPR harus dipimpin lagi oleh Setya Novanto yang dahulu pernah mengundurkan diri dari posisi tersebut karena kasus ‘Papa Minta Saham’.

Dalam pikiran Jokowi, umat Islam dan kekuatan Islam lainnya adalah ancaman terbesar bagi dirinya apalagi dalam situasi seperti saat ini. Untuk itu, pada Aksi Bela Islam 411 Jokowi sibuk mencari kambing hitam dan aktor politik. HMI adalah salah satu organ Islam yang dijadikan kambing hitam pada saat itu, karena dia sadar bahwa HMI memiliki kekuatan dan peran besar di Neger ini. Kita juga perlu ingat, bahwa banyak alumni dan tokoh HMI yang disingkirkan oleh Jokowi dari panggung nasional, baik sebagai anggota kabinet maupun pimpinan lembaga Negara.

Akom adalah salah satu tokoh Islam dari HMI yang masuk dalam kelompok yang harus disingkirkan oleh Jokowi dengan berbagai cara.

Saksikan saja, betapa arogan dan percaya dirinya Golkar mencopot Akom dari posisi Ketua DPR RI. Bohong, jika pencopotan itu tidak ada kaitannya dengan kepentingan Jokowi dalam mengamankan Rezimnya.

Kita tunggu saja sandiwara, drama dan kejutan baru apa lagi yang akan kita saksikan setelah itu semua? Namun, saya tetap optimis bahwa kebenaran di atas segalanya, kebenaran akan menghancurkan kebathilan dengan sandiwara dan segala dramanya. Semoga NKRI tercinta ini selalu diberikan perlindungan oleh Tuhan Yang Maha Esa dari orang-orang jahat yang sebenarnya penjahat yang ingin memecah belah kesatuan Bangsa dan NKRI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun