Sebagai insan baru dalam dunia pendidikan, sangat prihatin jika hal ini ternyata benar.
Namun, alangkah beruntungnya jika ternyata benar, karena artinya saya dapat berpartisipasi guna mempersempit kegiatan ini.
Hal ini telah saya baca sendiri ketika mengunjungi tempat yang saya sebut pranata pikir (baca: Perpustakaan).
Diskriminasi Pendidikan Semakin Lebar
       olh Try Hariyono
Tulisan ini diterbitkan dalam buku (Rindu Pancasila, 2010).
Mengawali tulisan dengan memberikan pertanyaan sederhana yakni, mengapa saat orde lama dan orde baru anggaran pendidikan tak sampai 20 persen dari APBN, tapi masayarakat bisa menikmati pendidikan murah?
Melalui pertanyaan yang ia anggap sederhana inilah tulisannya menjadi 6 lembar dalam buku berjudul Rindu Pancasila.
Pemerintah ia nilai secara sadar dan terencana menciptakan diskriminasi pendidikan, antara lain dengan mengucurkan dana Rp. 300jt per sekolah berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) pada tahun 2008 dan naik menjadi Rp. 500 jt per sekolah RSBI pada tahun 2009.
Penamaan RSBI sendiri sekarang tidak digunakan lagi, mungkinkah hanya berganti nama, silahkan bisa dikritisi sendiri. Kucuran dana ini alasannya, untuk meningkatkan mutu pendidikan agar siswa mampu bersaing secara global.
Rendahnya mutu Pendidikan Indonesia menjadi keprihatinan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan UNESCO. Dalam soal pencapaian target Education For All 2015 misalnya, posisi Indonesia berada jauh di bawah Malaysia. Perlu diketahui, sejak akhir tahun 1960-an, malaysia justru belajar mengelola pendidikan dari Indonesia.Â
Di sisi kesejahteraan, persoalan kesejahteraan guru tetap tak beranjak dari puluhan tahun lalu. Meski sudah ada program sertifikasi guru dengan konsekuensi pemberian tambahan tunjangan untuk guru, jumlahnya baru sekitar 350.000 orang.
Bagian terbesar guru, gajinya sangat minim, bahkan banyak yang honornya lebih rendah dari buruh pabrik. (Rindu Pancasila, 2010).
Jika di jenjang pendidikan dasar dan menengah diskriminasi terjadi dalam bentuk RSBI, di jenjang pendidikan tinggi, diskriminasi juga kini terjadi. Kuota kursi yang diperebutkan scr adil dlm seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN), misalnya, hanya 10-20 persen dari kapasitas yang ada.
Sebagian besar kursi justru dilelang dgn beragam nama yang sasarannya mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari calon mahasiswa. Membayar uang masuk yang jumlahnya tidak lazim.
Lagi-lagi pungutan dana ini dalihnya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Alasan tentang peningkatan mutu pendidikan yang sebenarnya hasil dari alasan yg dicari-cari karena mutu pendidikan cuma diukur tersedianya fasilitas pendingin ruangan, layar proyektor, dan berbagai fasilitas fisik lainnya. Bukan dr aspek pembentukan karakter siswa.
Kondisi inilah yg saat itu (2010) dicemaskan, karena dengan mahalnya biaya pendidikan, jiwa nasionalisme, kemanusiaan dan pengabdian lulusan muda akan luntur oleh kalkulasi kapitalistik.
Tulisan pak Try ini diterbitkan saat Indonesia berusia 65 tahun, kini sudah 73 tahun usia negeri ini.
Baiknya pendidikan memiliki perubahan kearah yang baik, benahi dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
Sederhananya, diskriminasi pendidikan yang lebar itu dipersempit, syukur jika dapat dihilangkan.
Mari berpartisipasi, semangat!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H