Di sisi kesejahteraan, persoalan kesejahteraan guru tetap tak beranjak dari puluhan tahun lalu. Meski sudah ada program sertifikasi guru dengan konsekuensi pemberian tambahan tunjangan untuk guru, jumlahnya baru sekitar 350.000 orang.
Bagian terbesar guru, gajinya sangat minim, bahkan banyak yang honornya lebih rendah dari buruh pabrik. (Rindu Pancasila, 2010).
Jika di jenjang pendidikan dasar dan menengah diskriminasi terjadi dalam bentuk RSBI, di jenjang pendidikan tinggi, diskriminasi juga kini terjadi. Kuota kursi yang diperebutkan scr adil dlm seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN), misalnya, hanya 10-20 persen dari kapasitas yang ada.
Sebagian besar kursi justru dilelang dgn beragam nama yang sasarannya mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari calon mahasiswa. Membayar uang masuk yang jumlahnya tidak lazim.
Lagi-lagi pungutan dana ini dalihnya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Alasan tentang peningkatan mutu pendidikan yang sebenarnya hasil dari alasan yg dicari-cari karena mutu pendidikan cuma diukur tersedianya fasilitas pendingin ruangan, layar proyektor, dan berbagai fasilitas fisik lainnya. Bukan dr aspek pembentukan karakter siswa.
Kondisi inilah yg saat itu (2010) dicemaskan, karena dengan mahalnya biaya pendidikan, jiwa nasionalisme, kemanusiaan dan pengabdian lulusan muda akan luntur oleh kalkulasi kapitalistik.
Tulisan pak Try ini diterbitkan saat Indonesia berusia 65 tahun, kini sudah 73 tahun usia negeri ini.
Baiknya pendidikan memiliki perubahan kearah yang baik, benahi dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
Sederhananya, diskriminasi pendidikan yang lebar itu dipersempit, syukur jika dapat dihilangkan.
Mari berpartisipasi, semangat!!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI