Ilustrasi: A diculik oleh B dan dibawa ke sebuah rumah kosong. A disekap dan tidak diberi makan dan minum. Setiap hari A hanya dianiaya B. Pada hari keempat, setelah B memukul di bagian kepala A. A kemudian tersungkur dan mati. Nah jika ingin mengacu pada teori individualisir , maka penyebab kematian B adalah bukan akibat penganiayaan , tetapi akibat tak diberi makan dan minum selama empat hari.
Nah kemudian kalau Prof. Eddy menganggap ini adalah teori paling tepat untuk pasal 340 KUHP, akan saya coba hubungkan dengan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin. Kasus pembunuhan menggunakan sianida. Untuk dapat membunuh maka sianida harus dibeli lebih dulu. Ada penjual yang menjual sianida, ada pelayan yang melayani pembelian itu.
Tentu berdasarkan teori individualisir hanya orang yang menuangkan sianida yang mengakibatkan matinya orang lain yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana, tetapi tidak bagi pemilik dan pelayan di tempat membeli sianida, padahal pemilik dan pelayan inilah yang juga bagian dari penyebab kematian korban karena akibat sianida yang dijual tanpa kehati-hatian yeng berujung matinya orang lain, bukankah ini tak adil kalau penjual dan pelayan tak dimintai pertanggungjawaban? Jelas tidak adil. Sehingga teori mana yang paling tepat, Individualisir sebagaimana yang disampaikan Prof. Eddy atau justru Conditio Sine Qua Non?
Kemudian Prof. Eddy juga menyebut bahwa pasal 340 KUHP sama sekali tidak memerlukan motif adalah pernyataan yang keliru. Setiap perbuatan pidana pasti ada motifnya dan motif ada hubungan dengan sebab-akibat (pahami penjelasan di atas). Perlu dipahami dalam hukum tak hanya ada penafsiran semata, tetapi juga butuh yang namanya logika hukum. Hukum membutuhkan logika sebagaimana hukum juga membutuhkan bidang lain sebagai pendukung dari hukum pidana. Seperti ilmu kedokteran forensik dalam mengungkap kematian melalui otopsi.
Memang benar pasal 340 KUHP tidak menjelaskan secara eksplisit tetapi hanya sebatas implisit. Sehingga sangat keliru kalau menganggap pasal tersebut tak memerlukan motif sama sekali. Dan yang dimaksud Prof. Eddy jelas soal tak ada motif karena hanya mengacu sebatas penafsiran historis terbentuknya pasal 340 KUHP.
Padahal jika berdasarkan penafsiran lainnya seperti penafsiran gramatikal secara eksplisit bisa ditafsirkan bahwa pasal 340 KUHP memuat makna yang dalam yakni membutuhkan logika hukum. Soal pembuat UU tak mencantumkan motif, kurang kuat argumen itu dan masih bisa disanggah. Dan Jika tetap menganggap pernyataan Prof. Eddy benar, saya mau bertanya: Mungkinkah anda tiba-tiba membunuh teman anda tanpa motif yang jelas???
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H