Mohon tunggu...
....
.... Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Analis Politik-Hukum Kompasiana |

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Soal Pembunuhan Berencana, Inilah Kekeliruan Prof. Eddy O.S Hiariej

29 Agustus 2016   20:58 Diperbarui: 10 September 2016   15:30 4724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahli Hukum Pidana UGM, Prof. Eddy O.S Hiariej (dok: Kompas TV)

Kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin masih menjadi misteri. Dalam pembahasan kali ini saya tak akan menyinggung soal kasus Mirna yang sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pada kesempatan ini saya hanya fokus soal pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana) yang oleh Guru Besar Universitas Gajah Mada Prof. Eddy O.S Hiearej tak memerlukan motif. Benarkan demikian? Prof. Eddy O.S Hiareaj juga menyebut teori individualisir lebih cocok dengan kasus pembunuhan berencana., benarkah?

Pasal 340 KUHP di atur dalam Bab XIX yang mengatur tentang Kejahatan Terhadap Nyawa. Yang di maksud dengan kejahatan terhadap nyawa adalah merampas nyawa orang lain (membunuh) seperti misalnya dengan cara: mencekik, menyentrum, meracuni, menembak, menusuk, mengorok, memutilasi. Nah, Pasal 340 KUHP adalah merampas nyawa orang lain dengan rencana lebih dulu dan pasal 340 KUHP adalah delik materill yang hanya berfokus pada akibat yang disebabkan oleh pelaku yang kemudian disebut sebagai sebab-akibat. Jika ada sebab-akibat (kausalitas), perlukah motif?

Sebelum menjawab saol motif, saya akan membahas terlebih dulu soal teori kausalitas dalam hukum pidana. Ada beberapa teori kausalitas. Pertama. Contidio Sine Qua Non –Semua sebab adalah syarat untuk timbulnya suatu akibat.Nah, pertanyaannya adalah apa maksud saya menyinggung teori ini dalam penerapan pasal 340 KUHP? Saya memandang bahwa teori yang dicetuskan oleh Von Buri ini masih relevan dengan penerapan pasal 340 KUHP. Kenapa relevan? Karena suatu pembunuhan yang dilakukan dengan perencanaan tentu perencanaan itu sudah disiapkan sedemikian matang hingga sampai pada tahap pelaksaaan perbuatan (merampas nyawa orang lain) dan pertanggungjawaban pidana untuk terlaksananya perbuatan itu begitu luas.

Ilustrasi: A mengolok leher B sampai putus dengan sebuah golok. Pengorokan A terhadap B terjadi karena dendam kesumat A terhadap B. Golok yang digunakan untuk mengorok leher B didapat dari C, teman akrabnya A. Golok milik C langsung dipesan dari D , pengrajin golok. Maka pertanggungjawaban pidananya ada pada A, C, D.

Ilustrasi di atas dibuat berdasarkan teori Conditio Sine Qua Non yang menurut saya lebih menghadirkan keadilan dalam masyarakat dan ada empat alasan yang berdasarkan ilustrasi di atas: Pertama. Karena perbuatan A mengorok leher B sampai putus adalah perbuatan merampas nyawa yang menimbulkan akibat berupa kematian.

Kedua. Kematian B dengan leher terputus ini tidak akan terjadi jika C tidak sembarangan memberikan golok kepada A yang meminta golok tersebut. Ketiga. Tentu tindakan memberikan golok kepada A adalah tindakan yang kurang kehati-hatian C terhadap A yang meminjam goloknya tersebut. Keempat. Kurang kehati-hatian juga dilakukan oleh pengrajin golok yang menjual goloknya, yang mana karena kurang kehati-hatian dalam menjual golok, golok jadi alat untuk menghabisi nyawa orang lain. Dan inilah satu-satunya teori paling tepat terkait pasal 340 KUHP.

Selain teori Conditio Sine Qua Non, ada pula teori Generalisir yang mencari satu saja dari sekian banyak sebab yaitu manakah perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang.

Ilustrasi: A membeli arsenik di toko milik B. A melakukan pembayaran arsenik kepada C, kasir. D, pelayan menyerahkan arsenik yang sudah dibungkus kantong kepada A yang membeli arsenik. Arsenik ditaburkan ke dalam es teh milik E. E mati akibat meminum es teh tersebut. Nah menurut teori Generalisir, hanya A yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena memasukan arsenik. Tentu ini tidak adil bukan? Memang benar A yang mengakibatkan kematian si E, tetapi E tidak akan mati jika B tidak menjual arsenik di tokonya. Keberadaan arsenik di toko B adalah bagian dari penyebab matinya B meskipun B tidak meracun E melalui es teh milik E. C dan D juga adalah bagian dari sebab kematian yang terjadi pada E meskipun C dan D tak terlibat pembunuhan menggunakan racun arsenik tersebut. Ini adalah berdasarkan teori Generalisir, tidak adil bukan?

Dalam persidangan Kamis 25 Agustus 2016, Prof. Eddy mengatakan yang cocok dengan pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP) adalah teori individualisir, benarkah tepat?

Teori individualisir lebih menekankan dari berbagai macam syarat (sebab), dicari syarat (sebab) manakah yang paling utama untuk menentukan akibat. Perbuatan mana yang memberikan pengaruh paling besar terhadap timbulnya akibat.

Ilustrasi: A diculik oleh B dan dibawa ke sebuah rumah kosong. A disekap dan tidak diberi makan dan minum. Setiap hari A hanya dianiaya B. Pada hari keempat, setelah B memukul di bagian kepala A. A kemudian tersungkur dan mati. Nah jika ingin mengacu pada teori individualisir , maka penyebab kematian B adalah bukan akibat penganiayaan , tetapi akibat tak diberi makan dan minum selama empat hari.

Nah kemudian kalau Prof. Eddy menganggap ini adalah teori paling tepat untuk pasal 340 KUHP, akan saya coba hubungkan dengan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin. Kasus pembunuhan menggunakan sianida. Untuk dapat membunuh maka sianida harus dibeli lebih dulu. Ada penjual yang menjual sianida, ada pelayan yang melayani pembelian itu.

Tentu berdasarkan teori individualisir hanya orang yang menuangkan sianida yang mengakibatkan matinya orang lain yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana, tetapi tidak bagi pemilik dan pelayan di tempat membeli sianida, padahal pemilik dan pelayan inilah yang juga bagian dari penyebab kematian korban karena akibat sianida yang dijual tanpa kehati-hatian yeng berujung matinya orang lain, bukankah ini tak adil kalau penjual dan pelayan tak dimintai pertanggungjawaban? Jelas tidak adil. Sehingga teori mana yang paling tepat, Individualisir sebagaimana yang disampaikan Prof. Eddy atau justru Conditio Sine Qua Non?

Kemudian Prof. Eddy juga menyebut bahwa pasal 340 KUHP sama sekali tidak memerlukan motif adalah pernyataan yang keliru. Setiap perbuatan pidana pasti ada motifnya dan motif ada hubungan dengan sebab-akibat (pahami penjelasan di atas). Perlu dipahami dalam hukum tak hanya ada penafsiran semata, tetapi juga butuh yang namanya logika hukum. Hukum membutuhkan logika sebagaimana hukum juga membutuhkan bidang lain sebagai pendukung dari hukum pidana. Seperti ilmu kedokteran forensik dalam mengungkap kematian melalui otopsi.

Memang benar pasal 340 KUHP tidak menjelaskan secara eksplisit tetapi hanya sebatas implisit. Sehingga sangat keliru kalau menganggap pasal tersebut tak memerlukan motif sama sekali. Dan yang dimaksud Prof. Eddy jelas soal tak ada motif karena hanya mengacu sebatas penafsiran historis terbentuknya pasal 340 KUHP.

Padahal jika berdasarkan penafsiran lainnya seperti penafsiran gramatikal secara eksplisit bisa ditafsirkan bahwa pasal 340 KUHP memuat makna yang dalam yakni membutuhkan logika hukum. Soal pembuat UU tak mencantumkan motif, kurang kuat argumen itu dan masih bisa disanggah. Dan Jika tetap menganggap pernyataan Prof. Eddy benar, saya mau bertanya: Mungkinkah anda tiba-tiba membunuh teman anda tanpa motif yang jelas???

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun