[caption caption="Ketua Komisi D DPRD DKI, M. Sanusi (Dok:Tribunnews.com)"][/caption]Reklamasi Teluk Jakarta yang diwacanakan bisa membuat Ibu Kota lebih tertata lagi dan lebih mengemaskan karena melihat kecantikan Ibu Kota karena reklamasi kini berujung pada operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam operasi tangkap tangan, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap M. Sanusi yang juga Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta sekaligus Politisi Gerindra.
Dalam operasi tangkap tangan itu disita uang senilai Rp 1,14 miliar. Uang sebesar Rp. 1,14 miliar tersebut adalah penyerahan tahap kedua yang diserahkan Presiden Direktur PT. Agung Podomoro, Ariesman Widjaja. Itu artinya ada total uang senilai Rp. 2,14 yang telah diserahkan kepada M. Sanusi dari Presiden Direktur PT. Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja. M. Sanusi dan Ariesman Widjaja sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
M. Sanusi yang tertangkap tangan karena menerima suap agar memuluskan proses pembahasan Raperda tentang tata ruang dan zonasi, dimana di dalam Raperda tersebut sudah dicantumkan kewajiban pengembang sebesar 5% dari 15% yang sebelumnya dibebankan kepada pengembang. Dalam hal ini yang perlu ditelisik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi adalah bagaimana bisa lolos mengenai kesepakatan kewajiban pengembang sebesar 5% tersebut.
Tentu sebagai pengusaha, Ariesman Widjaja pasti akan berhitung untuk mendapatkan porsi yang tepat agar keuntungan menjadi pengembang dari Teluk Jakarta itu bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Tetapi perlu pula dicermati bahwa yang pertama kali mengusulkan kewajiban pengembang yang awalnya sebesar 15% menjadi 5% adalah Wakil Ketau DPRD DKI Jakarta, M. Taufik, dan Ariesman Widjaja tidak pernah memohon-mohon agar besaran kewajiban pengembang diturunkan menjadi 5%.
Tentu Komisi Pemberantasan Korupsi tidak boleh melupakan inisiator yang mencetuskan turun dari 15% menjadi hanya sebesar 5% saja. Memang penurunan hingga 10% tersebut akan memberikan keuntungan yang besar bagi pengembang dalam hal ini PT. Agung Podomoro Land, tetapi satu hal yang tidak boleh untuk dilupakan adalah bagaimana inisiatif M. Taufik yang sebelumnya mengusulkan kewajiban pengembang bisa diturunkan dari 15% menjadi hanya 5% saja.
Dalam porsi kewajiban pengembang Gubernur DKI Jakarta, Ahok secara tegas tidak akan pernah menurunkan besaran kewajiban pengembang karena dari 15% kewajiban pengembang itu akan bisa digunakan untuk pembangunan berbagai macam fasilitas di Ibu Kota. Itu artinya legilslatif tanpa sepengatuan eksekutif (Ahok) telah meloloskan 5% yang dibebankan kepada pengembang. Penetapan tersangka terhadap Presiden Direktur PT. Agung Podomoro Land adalah kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi tetapi satu hal yang patut untuk dipertanyakan kepada Komisi anti rasuah, yakni mengapa Geri dan Berlian yang merupakan pelantara PT. Agung Podomoro Land dibebaskan?
Jika Komisi Pemberantasan Korupsi berpandangan bahwa pembebasan tersebut dilakukan karena Gerry dan Berlian tidak mengetahui maksud dari pemberian uang tersebut adalah sangat janggal dan janggal. Bagaimana mungkin seseorang yang diperintahkan menyerahkan uang sedemikian besarnya hingga Rp. 1,14 miliar tidak mengetahui maksud, tidak pula bertanya apa tujuan dan maksud dari perintah penyerahan uang tersebut.Â
Gerry dan Berlian juga bukan orang bodoh yang tidak mengerti tujuan dari uang senilai Rp. 1,14 miliar tersebut. Makin tidak masuk akal jika Gery dan Berlian dilepaskan hanya karena mendengar pengakuan keduanya yang mengaku tidak tahu maksud dari uang tersebut dan tidak juga diberi uang sebelum penyerahan uang itu terjadi. Dimana logikanya? Apakah Gerry dan Berlian sepolos itukah sehingga Komisi Pemberantasan Korupsi langsung percaya dan melepaskannya begitu saja?
Jika ingin dibahas lebih jauh lagi dari aspek hukum maka jelas posisi dari Gerry dan Berlian adalah turut serta, karena menyerahkan uang senilai Rp. 1,14 miliar (Baca; pasal 55 KUHP). Menjadi turut serta karena Gerry dan Berlian sudah memuluskan proses penyerahan uang tersebut itu artinya tanpa ada tindakan turut serta dari Gerry dan Berlian maka penyerahan uang itu tidak akan terjadi pada malam itu juga.
Selain itu perlu pula dipahami dan dipelototi makna lebih luas dari turut serta adalah ketika atau pada saat Gerry dan Berlian sudah sepakat menerima perintah yang diperintahkan untuk menyerahkan uang sebesar Rp. 1,14 miliar maka dengan alasan hukum apapun seharusnya Gerry dan berlian tidak bisa dilepas begitu saja.
Apakah logis dan masuk diakal kalau PT. Agung Podomoro Land menemukan Gerry dan Berlian lalu kemudian langsung memerintahkannya untuk menyerahkan uang sebesar Rp. 1,14 miliar tersebut. Apakah Gerry dan Berlian juga tidak pernah melakukan komunikasi dengan PT. Agung Podomoro. Tidak masuk akal jika tak pernah berkomunikasi dengan PT. Agung Podomoro Land.
Jika itu alasan hukumnya, maka makin janggal dan tidak masuk akal lagi. Karena dengan Gerry dan Berlian yang telah berhasil menyerahkan uang sebesar Rp. 1,14 miliar tersebut , Gerry dan Berlian juga sebenanrnya juga sudah bisa disebut sebagai orang yang memberi bantuan ketika kejahatan (penyuapan) itu dilakukan dan itu bisa dipidana (Baca; Pasal: 56 KUHP). Jadi keputusan KPK melepasnya keduanya adalah mengundang tanda tanya besar.
Menjadi pertanyaan besarnya adalah mengapa KPK hanya menetapkan Bos PT. Agung Podomoro Lans sebagai tersangka, Mengapa melepaskan Gerry dan Berlian yang merupakan perantara dari PT. Agung Podomoro Land? Padahal sebelumnya KPK sempat mengatakan bahwa kasus suap-menyuap dalam rangka meloloskan Raperda ini adalah grand coruption. Menjadi pertanyaan besarnya mengapa Gerry dan Berlian dilepas dan tidak diperiksa dulu sebagai saksi. Karena jika KPK mengatakan grand corruption, Maka bisa dipastikan Gerry dan Berlian itu yang juga bisa diharapkan keterangannya untuk membuka permainan suap-menyuap ini.
Suap sebesar 2,14 miliar yang diserahkan secara bertahap bagi Ariesman Widjaja adalah terlalu kecil, terlalu gampang untuk membuatnya menghancurkan usaha dan perjuangannya hingga membuatnya menjadi salah satu pengusaha terkaya di negeri ini. Arieman Widjaja tentu tak akan bertindak bodoh dalam berbisnis karena pengalamannya sudah luar biasa. Sehingga pemberian uang yang dilakukannya kepada M. Sanusi juga adalah tidak akan pernah terjadi jika tidak ada usulan penurunan dari 15% hanya menjadi 5%.
Sebagai pengusaha besar, tentu Arieman Widjaja akan melakukan berbagai cara agar dimudahkan dalam pengerukan Teluk Jakarta. Tetapi yang menjadi pertanyaannya adalah jika sebelumnyan menurut KPK sudah ada penyerahan uang pada tahap pertama sebesar Rp. 1 miliar.
Itu bisa dipahami tujuannya adalah untuk membuat agar Raperda tentang tata ruang dan zonasi segera cepat dibahas dan disahkan menjadi Perda. Tapi mengapa hingga penyerahan uang sebesar Rp. 1 miliar tersebut, Komisi D DPRD DKI Jakarta tak kunjung membahas bahkan terkesan menuda-nunda pembahasan dua Raperda tersebut?
Tentu itulah pertanyaan besar yang harus dijawab oleh Komisi D. Tapi perlu ditarik mundur sedikit kebelakang bahwa yang menjadi inisiator dari terjadinya suap ini berpangkal dai usulan M. Taufik yang mengusulkan 15% diturunkan menjadi 5%. Tentu inilah awal mula terjadinya suap-menyuap. Tentu Bos PT. Agung Podomoro Land tidak akan bertingkah laku bodoh dengan menyuap Sanusi dengan Rp. 2,14 miliar, terlalu kecil baginya.
Tetapi usulan M.Taufik yang menyebut diturunkan dari 15% menjadi 5% adaklah awal dari proses terjadinya perdagangan terhadap dua Raperda tersebut. Tentu kasus ini tidak bisa ditumpukkan semuanya kepada Arieman Widjaja tidak bisa, karena yang harus dicari tahu adalah bagaimana bisa M. Taufik mengusulkan penurunan kewajiban pengembang dari 15% menjadi 5%.
Itu dulu yang harus dicari jawabannya oleh KPK. Tentu usulan M. Taufik tersebut membuat Arieman Widjaja dengan sangat terpaksa menyerahkan permintaan uang sebesar itu agar DPRD tidak menyulitkannya. Tetapi yang terjadi setelah penyerahan uang pada tahap pertama sebesar Rp. 1 miliar , yang terlihat DPRD DKI seolah kurang dengan pemberian pertama. Sehingga makin terlihat Ariesman Widjaja hanya korban dari perdagangan pasal-pasal dalam dua Raperda itu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H