[caption caption="Ketua DPR, Setya Novanto (Dok: Detik.com)"][/caption]
Ketua DPR, Setya Novanto akhirnya resmi mengundurkan diri. Bahkan tadi surat pengunduran diri tersebut disampaikan melalui Sekjen Golkar dan surat pengunduran diri tersebut sudah ada ditangan Mahkamah Kehormatan Dewan, dan akan diumukan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan dalam putusannya malam ini. Bahkan melalui koleganya, Nurul Arifin, Setya Novanto juga mencucapkan terima kasih kepada seluruh rakyat Indonesia yang selama ini sudah mendukungnya. Dan mundurnya Ketua DPR, Setya Novanto bisa diibaratkan sebuah surprise bagi seluruh rakyat Indonesia, Karena selama ini Setya Novanto dinilai sangat tidak peduli akan suara-suara masyarakat yang mendesaknya untuk mundur dari jabatannya, dan terhitung mulai Pukul: 00:00 wib atau Kamis, 17 Desember 2015, Setya Novanto sudah berhenti dari Ketua DPR. dan mundurnya Ketua DPR, Setya Novanto akan lebih memudahkan Kejaksaan Agung untuk melakukan penyelidikan yang lebih jauh dan mendalam terkait dugaan permufakatan dan percobaan korupsi yang diduga dilakukan oleh Setya Novanto dan Riza Chalid. dan perlu diketahui bahwa, Novanto hanya mudur dari Ketua DPR , dan tetap menjadi anggota DPR-RI.
Mundurnya Setya Novanto juga dapat membuat Kejaksaan Agung lebih leluasa untuk memanggilnya untuk diperiksa termasuk pula peningkatan dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan, karena alat bukti untuk menaikkan penyelidikan ke penyidikan sudah dirasa cukup, hal ini mengacu pada pasal 184 KUHAP, yakni minimal dua alat bukti, alat bukti dalam hal ini, yakni keterangan saksi, sudah banyak saksi yang dipanggil oleh Kejaksaan Agung untuk meminta keterangan dari Sekretaris pribadi Setya Novanto, yakni Dina dan Mike, tak hanya dua orang tersebut, Presiden Direktur PT.Freeport , Maroef Syamsoeddin juga sudah diperiksa termasuk pula Menteri ESDM, Sudirman Said juga sudah diperiksa, dan keterangan saksi sudah terpenuhi, Maka satu lagi alat bukti agar berkesesuaian dengan pasal 184 KUHAP, Â minimal dua alat bukti, Yakni petunjuk, dalam hal ini yang dapat dijadikan petunjuk untuk mengungkap kasus ''Papa Minta Saham'' adalah mengacu pada rekaman yang sudah dipegang oleh penyidik di Kejaksaan Agung.
Selain itu dengan mundurnya Setya Novanto kita desak dan dorong Kapolri Jen. Badrodin Hiati untuk memulai penyelidikan terkait adanya upaya makar yang sudah disepakati oleh Setya Novanto dan Riza Chalid sebagaimana yang terdengar dalam rekaman berdurasi 1 jam 20 menit tersebut. Makar terhadap pemerintahan yang berkuasa diatur dalam pasal 107 KUHP, yang mana semua unsur makar jika dianalisa sudah terpenuhi semuanya, Maka ini hanya tinggal menunggu langkah berani Polri dalam meindak tindak pidana yang jarang terjadi di Republik ini. Polri harus mulai melakukan penyelidikan terkait percobaan makar karena makar adalah delik umum, itu artinya polisi bisa bertindak tanpa harus menunggu perintah maupun pengaduan, dan delik umum dan delik aduan adalah dua hal yang berbeda. Delik umum adalah polisi bisa bertindak langsung, apalagi in menyangkut bangsa dan negara sedangkan delik aduan adalah bisa dilakukan tindakan secara hukum apabila pihak yang merasa dirugikan tersebut membuat pengaduan ke pihak polisian. Tah hanya soal upaya makar, Tetapi juga upaya dan permufakatn serta percobaan korupsi juga harus segera cepat-cepat dinaikkan ke tahap penydikan, karena semua unsur pasal 15 UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi sudah terpenuhi semua unsurnya.
Namun mundurnya Setya Novanto ini diyakini atas kondisi yang saat ini terjadi di Mahkmah Kehormatan Dewan, karena bisa dipastikan, Jika Setya Novanto tidak mengundurkan diri, Maka Novanto sudah dapat dipastikan dilengserkan melalui sanksi sedang yang tadinya akan dijatuhkan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan. Namun mundurnya Setya Novanto sudah terlambat, karena citranya ditengah masyarakat sudah terlanjur rusak dan sangat sulit untuk dapat dipulihkan kembali, Terlebih lagi tindakan Novanto yang mencatut nama Jokowi-JK serta meminta saham PLTA di Urumuka, Papua adalah tindakan yang sangat melawan hukum. Namun mundurnya Setya Novanto ini juga menjadi kemenangan telak yang didapat oleh Presiden Jokowi, karena dengan Novanto mudur maka ini akan semakin cepat bagi Jokowi untuk membersihkan negeri ini dari mafia minyak dan gas yang selama berpuluh tahun sudah bercokol dan merampok kekayaan alam Indonesia yang total kerugiannya amatlah sangat besar kalau dihitung-hitung, yakni lebih dari Rp.250 Triliun. Setya Novanto selama ini dikenal sebagai bagian dari mafia inyak dan gas, Karena pertemanannya dengan Riza Chalid sudah dapat disimpulkan bahwa Setya Novanto juga sudah terlalu banyak meinkmati dan mengeruk habis kekayaan alam terutama potensi energi Indonesia.
Tak hanya soal berhasil membuat Setya Novanto mengundurkan diri, Namun setelah mundurnya Novanto ini Presiden Jokowi dapat menekan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penyelidikan-penyeldikan untuk beberapa kasus yang pernah dihubung-hubungakan dengan Setya Novanto, antara lain, Salah satunya kasus e-KTP. Sebelumnya, M.Nazaruddin pernah menyatakan bahwa Novanto juga bermain dalam proyek KTP elektronik tersebut, Maka ini adalah kesempatan emas bagi Presiden Jokowi untuk mengungkap semua kasus yang selama ini kerap dikaitkan dengan Setya Novanto, terlebih lagi keterangan saksi dalam pasal 184 KUHAP ada pada point pertama dengan artian bahwa keterangan saksi bernilai tinggi dalam KUHAP. dan Nazaruddin juga layak kembali bersuara untuk kembali mengungkit kasus e-KTP yang diduga kuat bahwa Setya Novanto juga terlibat  atau bermain dalam proyek e-KTP tersebut
Namun dalam pandangan hukum tata negara, pengunduran diri seorang pimpinan lembaga negara haruslah melalui penerbitan keputusan presiden (kepres) terlebih dahulu, karena pemberhentian Novanto sebagai pimpinan lembaga negara dalam hal ini Ketua DPR,  juga akan memakan waktu, dan setelah Setya Novanto resmi mengundurkan diri, Maka secara otomatis perkara etik ''Papa Minta Saham'' resmi dihentikan seiring pengunduran diri tersebut. Namun mundurnya Ketua DPR, Setya Novanto akan membuat perubahan arah politik yang jauh di Senayan, Karena akan ada pertarungan besar bagi partai pemenang untuk merebut posisi Ketua DPR yakni dengan alternatif pertama, Merevisi UU No 17/2014 tentang MD3 yakni mengembalikan mekanisme pemilihan alat kelengakapan dewan, yakni jabatan Ketua DPR diduduki oleh partai pemenang pemilu sebagaimana yang pernah diatur dalam UU No 27/2009 tentang MD3 sebelum berlakunya UU No 17/2014 tentang MD3, yang mengubahnya menjadi berdasarkan sistem paket. Kedua, Melakukan kocok ulang, yakni setelah Setya Novanto mengundurkan diri, secara hukum, seharusnya empat pimpinan DPR lainnya, Fahri Hamzah, Fadli Zon, Agus Hermato dan Taufik Kurniawan juga secara otomatis harus mundur, karena ini adalah konsekuensi hukum dari sistem paket dalam UU No 17/2014 tentang MD3. Setelah empat pimpinan DPR tersebut mengudnurkan diri, Maka mekanisme kocok ulang bisa dilakukan dengan konsekuensi akan terjadi kegauhan politik yang lebih besar lagi. Ketiga, Golkar akan mengabaikan segara tauran atau mekanisme hukum dalam UU No 17/2014 tentang MD3 yakni terkait sistem paket dalam pemilihan alat kelengakapn dewan, yakni dengan tetap mendudukan kadernya sebagai Ketua DPR untuk menggantikan Setya Novanto yang sudah mengundurkan diri.
Bahkan diyakini PDIP tak lama lagi akan kembali bermanuver untuk sesegera mungkin untuk kembali merevisi UU No 17/2014 tentang MD3 yang mengatur sistem paket dalam pemilihan alat kelengkapan dewan yang dinilai sangat tidak demokratis karena sistem paket tak layak dalam negara demokrasi dan diyakini pula PDIP sangat berambisi untuk merebut kursi Ketua DPR, terutama untuk memberikan jabatan yang strategis tersebut untuk Putri Ketua Umum PDIP, Puan Maharan yang dipredisi akan mendapat kusri tersebut jika UU No 17/2014 tentang MD3 kembali direvisi setelah direvisi untuk kedua kalinya yakni dalam UU No 42/2014 tentang MD3. Namun pertentangan untuk merevisi UU MD3 diyakini akan sangat berat atau bahkan akan kembali membuat kegaduha politik yang luar basa karena Golkar sesungguhnya tak akan merelakan posisi yang menjadi harga diri Ical tersebut direbut PDIP. Bahkan saat ini, Golkar sudah menyiapkan Aziz Syamsuddin, Ade Komaruddin atau Fadel Muhammad yang dikabarkan akan menggantikan posisi yang ditinggalkan Setya Novanto tersebut. terakhir soal ada tidaknya revisi UU MD3 ini akan terlihat dalam beberapa hari kedepan, dan jika ada revisi bisa dipastikan akan ada persaingan yang hebat antara Golkar vs PDIP.Â
Namun terlepas dari mundurnya Setya Novanto, kita perlu mencermati pula keputusan Komisi III DPR-RI yang sudah memutuskan untuk menunda pemilihan pimpinan KPK, Karena sesungguhnya ini adalah bagian dari rangkaian panjang yang sudah disipakan oleh Ketua Komisi III, Aziz Syamsuddin yang sudah mewanti-wanti jika koleganya Setya Novanto mudur, dan disasar oleh KPK, Maka dengan sangat mudahnya KPK akan dipraperadilankan, akibat terbatasnya kewenangan yang dimiliki oleh tiga pelaksana tugas (plt) KPK saat ini, Ruki, Johan Budi dan Indriarto Seno Adji. Perlu diketahui bahwa, kewenangan yang dimiliki oleh plt sangatlah terbatas dan dalam kolektif kolegial seperti KPK, KPK kedepannya akan sangat rentan untuk dikalahkan di praperadilan, karena keputusan penetapa tersangka dianggap tidak sah akibat hanya tersisa tiga pimpinan KPK, yakni Jihan Budi, Ruki dan Indriarto Seno Adji, dan ini sesungguhnya kian mengancam eksistensi KPK karena sudah makin terlihat ada konspirasi untuk membuat KPK lahan perlahan terbunuh akibat keputusan Komisi III yang sudah memutuskan untuk menunda memilih pimpinan KPK. Perlu diketahui bahwa, saat ini pimpinan KPK tersisa tiga, yakni Ruki, Johan Budi dan Indriarto Seno Adji sedangkan dua pimpinan lainnya yakni Zulkarnaen dan Adnan Pandu Pradja sudah habis masa kepemimpinannya mulai hari ini, Rabu 16 Desember 2015.
Dan terhadap dorongan-dorongan ditengah masyarakat agar Presiden mengeluarkan dekrit untuk membubarkan DPR adalah bertentangan dengan konstitusi yang berlaku saat ini, karena saat dekrit presiden yang pernah dikeluarkan Soekarno disebabkan konstituante (sekarang DPR) bukanlah pilihan rakyat melainkan hanya bertugas untuk membentuk UUD menggantikan UUDS 1950, Maka dekrit presiden sudah tidak dapat lagi dikeluarkan oleh Presiden, karena sama sekali tidak ada dasar hukumnya untuk membubarkan DPR. Intinya adalah bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR, Karena anggota DPR saat ini sesuai dengan amanat konstitusi hasil amandemen terakhir tahun 2002 yakni dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Apalagi saat itu yang menjadi latarbelakang dikeluarkannya dekrit adalah disebabkan kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai penggnati dari UUDS 1950, sehingga Soekarno mendengarkan masukan masyarakat untuk mengeluarkan dekrit dan membubarkan konstituante (Sekarang DPR) karena dianggap gagal dalam perumusan UUD yang diharapkan oleh Soekarno saat itu,dan terakhir,konstituante adalah lembaga yang sengaja dibentuk untuk menyusun dan membentuk UUD, Jadi beda dengan lembaga negara DPR yang ada saat ini. Begitulah soal dekrit yang pernah dikeluarkan oleh Soekarno yang penulis analisa dari aspek hukum tata negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H