Meskipun ia berhasil mendapatkan banyak penghargaan, Hian Tjen tidak pernah lupa masa-masa sulit yang ia lewati kala ia masih menapaki tangga paling bawah dalam perjalanan karirnya. Ia tidak akan pernah lupa bagaimana malunya membawa begitu banyak pakaian ke dalam metromini dan terjatuh didalamnya, ia tidak akan pernah lupa rasanya mengetuk pintu ke pintu untuk menawarkan rancangannya, ia juga tidak akan pernah lupa bagaimana lelahnya hanya memiliki seorang tukang jahit untuk banyaknya pesanan. Tapi inilah hidup bagi Hian Tjen, bahwa luka dan air mata selalu berhasil menjadi sebuah cerita yang paling indah. Bahwa setidaknya ia pernah merasakan sulitnya hidup, yang saat ini membuatnya mampu menghargai siapapun tanpa harus memandang bentuk dan rupa.
Maka sudah sepantasnya jika kini, ia memiliki rumah mode pribadi yang sudah ia dirikan sejak tahun 2008, yang bahkan sudah memiliki lebih dari 50 penjahit. Namun manusia, tidak akan pernah puas dalam mencapai apa yang ia cita-citakan, jauh di dalam hatinya, Hian Tjen masih menyimpan mimpi untuk menjadikan rumah modenya menjadi lebih besar lagi.
Lantas hidup, mengajarkan Hian Tjen untuk tidak menyerah meski hari-hari yang dijalani terasa begitu berat,”Yang selalu saya bayangkan adalah, jika dulu saya menyerah, maka saat ini saya tidak akan berada disini,” tutup Hian Tjen sambil tersenyum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H