Kalau Anda mengikuti penafsiran buta tentang "tidak boleh memilih pemimpin/sekutu non-Islam", maka:
- Jika Anda bekerja di perusahaan multinasional barat, Anda jelas harus keluar, karena CEO Anda kemungkinan besar non-Islam, begitu pula dengan pemiliknya (pemegang saham).
- Jika Anda bekerja di perusahaan lokal, Anda harus menelusuri apakah bos Anda, bosnya bos Anda, bosnya bosnya bos Anda, sampai CEO-nya Islam atau bukan. Kalau ada yg salah satunya non-Islam Anda harus keluar. Jangan lupa pula lacak agama semua pemiliknya sebagai atasan tertinggi, dalam hal ini tentu pemegang saham. Bila ada pemegang saham yang non-Islam, Anda harus keluar.
- Jika Anda berusaha, Anda tidak boleh bekerja sama dengan non-Islam (bila dipahami sepotong, "awliya" bisa berarti sekutu).
- Jika Anda jadi PNS pun Anda harus keluar, kenapa? Karena bila ditrack sampai atas, pemimpin PNS adalah presiden dan presiden dipilih oleh rakyat, yang berarti pemimpin tertinggi adalah rakyat. Anda tidak bisa menjadi PNS karena rakyat Indonesia ada yang Non-Islam.
Pemahaman sempit tanpa memahami konteks seperti ini justru berbahaya karena menimbulkan curiga, fitnah, dan prasangka buruk. Sudah seharusnya kita lebih bijak dengan tidak hanya melihat ayat yang dipotong-potong untuk kepentingan politik semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!