When gaya hidup lo ga sesuai sama kerjaan lo" di TikTok dan Instagram. Tren ini, yang didominasi oleh generasi muda, menyoroti perbedaan mencolok antara gaya hidup yang ditampilkan di media sosial dan kondisi finansial yang sebenarnya. Meskipun kontennya sering bersifat humoris, tren ini membawa pesan mendalam terkait konsumsi dan tekanan sosial yang dihadapi oleh banyak individu.
Dalam era digital saat ini, media sosial memainkan peran penting dalam membentuk perilaku dan gaya hidup kita. Salah satu tren terbaru yang menarik perhatian adalah fenomena "Tren TikTok dan Gaya Hidup Konsumeris
Fenomena "When gaya hidup lo ga sesuai sama kerjaan lo" menekankan bagaimana individu sering kali menampilkan gaya hidup mewah atau ideal di media sosial, meskipun kenyataannya tidak selalu mencerminkan kondisi finansial mereka. Sebagai contoh, seseorang mungkin memamerkan foto perjalanan ke destinasi eksotis atau berpose dengan barang-barang mewah. Ini menggambarkan bahwa penampilan di media sosial tidak selalu mencerminkan situasi keuangan yang sesungguhnya.
Fenomena ini mencerminkan kecenderungan masyarakat untuk mengadopsi gaya hidup konsumtif, meskipun penghasilannya tidak selalu mencukupi untuk itu. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting tentang apakah kita terlalu banyak membelanjakan uang untuk mempertahankan penampilan di media sosial, atau apakah ini hanya sebuah gambaran dari gaya hidup yang tidak seimbang.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa banyak orang, terutama generasi muda, merasa tertekan secara sosial untuk menampilkan gaya hidup yang lebih mewah dari kenyataannya. Hal ini sering kali dipicu oleh pengaruh media sosial. Laporan dari HubSpot menunjukkan bahwa 71% dari Gen-Z menemukan produk baru melalui platform sosial seperti Instagram dan TikTok, yang menyoroti peran penting media sosial dalam memengaruhi gaya hidup dan pola konsumsi
Indonesia sebagai Pasar Konsumeris
Indonesia telah menegaskan posisinya sebagai negara konsumeris, dengan tingkat impor yang jauh lebih tinggi daripada ekspor. Pada tahun 2023, Indonesia mengimpor barang senilai $200 miliar, sementara ekspor hanya mencapai $150 miliar. Ketergantungan pada barang impor ini mencerminkan pola konsumsi yang tinggi, terutama di kalangan generasi muda. Tren ini menarik perusahaan global untuk menargetkan pasar Indonesia melalui iklan yang disebarkan di media sosial.
Dampak Negatif dari Konsumerisme
Namun, konsumsi yang berlebihan ini juga memiliki dampak negatif. Survei mengungkapkan bahwa sekitar 35% orang dewasa mengalami stres finansial akibat gaya hidup konsumtif yang dipicu oleh media sosial. Tekanan ini berdampak pada kesehatan mental dan menyebabkan kecemasan. Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menunjukkan peningkatan kasus gagal bayar pinjaman online sebesar 20% pada tahun 2023. Ini menyoroti konsekuensi finansial yang serius akibat gaya hidup konsumtif yang tidak terkelola dengan baik.
Masa Depan Konsumerisme
Diperkirakan bahwa konsumerisme akan terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan perilaku konsumen. Belanja online dan promosi produk melalui media sosial akan semakin mendominasi. Masyarakat dan pemerintah harus menanggapi perubahan ini dengan kebijakan yang tepat dan edukasi yang relevan untuk mengelola dampak dari tren konsumerisme yang terus berkembang.
Pertanyaan yang perlu dipertimbangkan adalah apakah tren ini dapat berlangsung tanpa menyebabkan risiko seperti kesulitan finansial, kemiskinan, atau hutang yang berlebihan? Generasi muda, terutama yang berusia 19-30 tahun, tampaknya mendominasi tren konsumerisme ini. Meski mereka bebas memilih untuk mempertahankan gaya hidup seperti ini, apakah itu berkelanjutan dalam jangka panjang? Atau, apakah generasi ini akan terus berlomba menampilkan konten-konten mewah di media sosial hingga masa depan?
Apakah Generasi Muda Sepenuhnya Bersalah Atas Gaya Hidup Konsumerisme Mereka?
Tidak sepenuhnya. Generasi muda telah tumbuh dalam lingkungan yang memperkenalkan konsep konsumsi dan pembelian produk yang sangat berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Di masa kini, ada banyak platform untuk memfasilitasi perilaku konsumtif, dan begitu banyak produk yang bisa dibeli untuk dipamerkan di media sosial. Penelitian HubSpot menunjukkan bahwa 71% Gen-Z menemukan produk baru melalui media sosial, berbeda dengan generasi sebelumnya yang terbiasa dengan metode pemasaran tradisional seperti spanduk dan baliho, Sedangkan generasi muda harus menghadapi teknik pemasaran metode tradisional dan modern setiap hari melalui sosial media.
Generasi Baru = Solusi Baru?
Dengan banyaknya pilihan produk dan hiburan di dunia digital, pengelolaan keuangan menjadi semakin kompleks. Kampanye menabung dan pendidikan finansial harus disesuaikan untuk generasi digital. Pendekatan berbasis aplikasi dan media sosial terbukti lebih efektif dalam menjangkau generasi muda dibandingkan metode tradisional.
Beda Generasi = Beda Persepsi
Generasi 80-an atau 90-an mungkin lebih berfokus pada stabilitas keuangan dan kehidupan yang tenang di masa depan. Namun, hasil riset menunjukkan bahwa Generasi Z memiliki pandangan yang berbeda. Meskipun keinginan untuk stabilitas tetap ada, itu bukan lagi satu-satunya tujuan. Literasi keuangan dan kesadaran akan pentingnya menabung tetap diperlukan, namun bukan solusi tunggal dalam menghadapi risiko konsumtif di era digital ini. Generasi muda di Indonesia sadar bahwa mereka sering menghabiskan uang secara berlebihan, sehingga muncullah tren 'When lifestyle lo tidak sesuai dengan kerjaan lo'. Mereka menyadari bahwa gaya hidup yang mereka inginkan melebihi apa yang bisa ditopang oleh pekerjaan mereka, tetapi mereka kesulitan untuk menahan diri, memilih gaya hidup yang mereka inginkan daripada hidup stabil dengan banyak simpanan.
Solusi untuk Generasi Muda Sangat Sulit Untuk Ditemukan
Generasi muda yang telah tumbuh dengan idealisme, konsep kebebasan, dan pemahaman tentang apa yang benar dan salah, cenderung tidak merespons kritik atau perintah langsung. Mereka lebih mungkin merespons solusi yang saling menguntungkan, yang meskipun bisa mengubah gaya hidup mereka, tetap memungkinkan mereka untuk mencapai tujuan yang baik.
Dari Pengeluaran Berlebihan ke Pertumbuhan Keuangan Strategis
Salah satu contoh yang mungkin bisa dilakukan, sebagian besar keputusan konsumsi generasi muda didasarkan pada perasaan. Rasa pencapaian ketika membeli sesuatu yang telah lama diinginkan, seperti menyimpan uang untuk menikmati liburan di Bali, brunch yang "Instagrammable", atau membeli mobil baru, gadget dan handphone baru konsep ini sama bahkan dengan investasi atau donasi. Generasi muda sering kali merasa perlu menceritakan kisah tentang keputusan finansial mereka kepada teman atau orang terdekat, baik secara offline maupun online.
Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan adalah memberikan ide tentang bagaimana uang bisa digunakan dengan lebih bermanfaat, misalnya melalui investasi di pasar uang, saham, atau kegiatan sosial seperti amal. Ini dapat kita lihat dari aplikasi investasi dan penggalangan dana untuk amal yang gencar memasarkan diri di platform yang digunakan generasi muda seperti Instagram, X dan lain-lain.
Kesimpulan
Generasi muda menghadapi tekanan sosial besar untuk menjalani gaya hidup konsumtif yang dipengaruhi oleh media sosial. Namun, dengan pendidikan finansial yang lebih adaptif dan pendekatan yang relevan, ada potensi untuk mengelola konsumerisme ini tanpa harus mengorbankan stabilitas finansial atau kesejahteraan mental. Pemerintah dan masyarakat harus bekerjasama dalam menciptakan solusi modern yang adaptif dan celik terhadap permasalahan sosial dan tekanan di masa modernisasi yang begitu cepat yang dapat membantu generasi muda menjaga keseimbangan antara gaya hidup dan kestabilan finansial jangka panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H