I. Pendahuluan
Salah satu perbedaan terbesar antara masyarakat di belahan dunia Timur dengan di belahan dunia Barat adalah dalam hal adat istiadat. Kehidupan masyarakat Timur dipenuhi dengan berbagai jenis upacara adat, mulai dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan, perkawinan, penyakit, malapetaka, kematian dan lain -lain.
Masalah perkawinan sangat penting bagi semua manusia karena perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk melanjutkan keturunan. Demikian juga pada masyarakat Batak masalah perkawinan dianggap penting dan berpengaruh di dalam kehidupannya karena melalui perkawinan, marga dari orang tua laki-laki dapat diteruskan.[1]
Perkawinan di kalangan masyarakat Batak diatur menurut adat istiadat, dengan tegasnya menurut landasan yang tertuang dalam falsafah Dalihan Na Tolu.[2] Perkawinan orang Batak adalah perkawinan dengan orang di luar marganya sendiri[3] atau kawin eksogami. Kawin eksogami adalah perkawinan di mana pihak-pihak yang kawin harus mempunyai keanggotaan klan/marga yang tidak sama.[4] Karena itu, sistem perkawinan orang Batak ditentukan dengan cara menarik garis keturunan dari ayah (Patrilineal)[5] untuk menghindarkan kerancuan dan menegakkan hukum Dalihan Na Tolu. Penyimpangan perkawinan dari patokan yang berlaku berarti akan merusak eksistensi Dalihan Na Tolu itu. Untuk menegakkan dan melestarikan hukum itu maka orang Batak harus tetap menurut norma adat, terutama dalam wujud perkawinan.[6]
Pada dasarnya, adat perkawinan Batak mengandung nilai sakral karena dipahami sebagai pengorbanan. Parboru mengorbankan anak perempuannya untuk menjadi istri pengantin pria, sedangkan paranak mengorbankan seekor hewan untuk menjadi santapan (makanan adat) dalam ulaon unjuk/Pernikahan Adat itu.[7]
II. Definisi Perkawinan
2.1 Definisi Adat dan Perkawinan
Definisi Adat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan dengan suatu sistem. Aturan (perbuatan) itu lazim dituruti dan dilakukan sejak dahulu kala di suatu daerah tertentu.[8] Menurut pendapat Verkuyl, sebagaimana dikutip oleh Mangapul Sagala bahwa kata "adat" berasal dari bahasa Arab "ada" yang berarti cara yang telah lazim atau kebiasaan yang terjadi pada masyarakat.[9] Sedangkan perkawinan, asal katanya "kawin", berarti membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri dan bertujuan untuk meneruskan keturunan.[10]
Perkawinan maksudnya suatu ikatan antara dua orang yang berlainan jenis kelamin, atau antara seorang pria dan seorang perempuan, mereka mengikatkan diri untuk bersatu dalam kehidupan bersama. Proses yang mereka lalui dalam rangka mengikatkan diri ini, tentunya menurut ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam masyarakat. Laki-laki yang telah mengikatkan diri dengan seorang perempuan, setelah melalui prosedur yang ditentukan di dalam hukum adat dinamakan suami dan perempuan yang mengikatkan diri itu disebut istri.[11]
2.2 Makna Adat Bagi Orang Batak
Kehidupan masyarakat Batak dipenuhi dengan berbagai jenis upacara adat,[12] mulai dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan, perkawinan, penyakit, malapetaka, kematian dan lain-lain. Upacara adat dilakukan agar seseorang atau sekelompok orang terhindar dari bahaya atau celaka yang akan menimpanya. Malahan sebaliknya, mereka memperoleh berkat dan keselamatan. Inilah salah satu prinsip universal yang terdapat di balik pelaksanaan setiap upacara adat itu.[13]
Orang-orang Batak seringkali dipenuhi oleh berbagai macam acara adat, khususnya dalam hubungannya dengan pesta adat perkawinan.[14] Upacara adat perkawinan sangat penting bagi orang Batak, oleh karena hanya orang yang sudah kawinlah yang berhak mengadakan upacara adat. Adapun pesta perkawinan dari sepasang pengantin merupakan semacam jembatan yang mempertemukan Dalihan Na Tolu[15] dari orang tua pengantin lelaki dengan Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin perempuan. Artinya karena perkawinan itulah maka Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin pria merasa dirinya berkerabat dengan Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin wanita, demikian pula sebaliknya.[16]
III. Pelaksanaan Perkawinan dalam Adat Batak
3.1 Tahap-tahap Sebelum Upacara Perkawinan
Sebelum sampai pada suatu Pesta perkawinan adapun tahap-tahap yang ditempuh, sebagai berikut:
a) Martandang[17]
Istilah martandang kemungkinan datangnya dari kata "keluar kandang" karena anak-anak muda pergi ke seberang kampungnya hendak berkencan dengan gadis-gadis di kampung itu. Dalam acara martandang, pada mulanya tidak menjurus pada soal-soal cinta. Pembicaraan kala itu hanya berkisar pada soal-soal biasa. Namun sering pihak pemuda mengajukan teka-teki yang bermula dari iseng, tetapi lambat-laun menjurus pada hal-hal yang lebih khusus.
Kalau pertemuan semakin sering dan pergaulan muda-mudi itu semakin akrab, maka besar kemungkinan bersemilah cinta di lubuk hati mereka. Sekarang hal itu dapat diuji dengan teka-teki yang bermotifkan cinta. Kalau sang pemuda menyampaikan teka-tekinya, kemudian sang gadis menjawabnya dengan penuh perhatian dan jujur, tahulah sang pemuda bahwa dirinya berkenan di hati gadis itu.
b) Mangalehon Tanda[18]
Mangalehon tanda artinya adalah memberi tanda. Pemberian tanda ini terjadi, apabila laki-laki itu sudah menemukan perempuan sebagian calon istrinya dan perempuan sudah menyetujui laki-laki tersebut menjadi calon suaminya. Kedua belah pihak yaitu laki-laki maupun perempuan saling memberikan tanda. Dari pihak laki-laki biasanya menyerahkan uang kepada perempuan itu sebagai tanda, sedang dari pihak perempuan menyerahkan kain sarung, ataupun ulos sitoluntuho kepada laki-laki.
Setelah pemberian tanda dilakukan maka laki-laki dan perempuan itu sudah mempunyai ikatan, dan laki-laki akan memberitahukan kepada orang tuanya. Kemudian orang tua dari laki-laki menyuruh perantara yang disebut Domudomu untuk memberitahukan kepada orang tua perempuan bahwa anak laki-laki mereka sudah mengikat janji dengan anak perempuan empunya rumah. Apabila ayah perempuan menyetujui maka dia memberitahukan kepada pihak perantara agar diteruskan kepada orang tua si laki-laki.
c) Marhusip
Istilah Marhusip artinya berbisik atau perundingan secara tidak resmi diantara pihak parboru dan pihak paranak mengenai besarnya mahar. Marhusip ini dilakukan di rumah perempuan, dan dalam hal ini orang tua kedua belah pihak tidak hadir melainkan diwakili perantara. Hula-hula dari kedua pihak tersebut tidak turut hadir pada pertemuan marhusip, akan tetapi pada acara marhata sinamot mereka akan turut angkat bicara.[19] Dalam waktu marhusip juga ditentukan kapan orang tua si laki-laki datang ke rumah orang tua si perempuan untuk membicarakan keinginan orang tua si laki-laki itu kepada orang tua si perempuan secara resmi.[20]
d) Marhata Sinamot[21]
Marhata Sinamot artinya membicarakan jumlah besarnya sinamot yang harus diserahkan pihak laki-laki. Biasanya dalam pembicaraan ini terjadi tawar menawar, yang nantinya jatuh pada jumlah yang telah ditetapkan pada waktu Marhusip. Sinamot pada Batak Toba biasanya terdiri dari uang dan hewan. Sinamot yang terdiri dari uang biasanya diserahkan pada orang tua perempuan pada saat marhata sinamot. Oleh karena itu untuk pihak orang tua perempuan disebut Manjalo Sinamot. Sedangkan sinamot yang terdiri dari hewan diserahkan kemudian. Pada waktu Marhata Sinamot ini dibicarakan semua hal-hal yang penting dalam pelaksanaan perkawinan dan kapan perkawinan dilaksanakan.
e) Maningkir Lobu
Maningkir Lobu ialah melihat hewan peliharaan yang telah dijanjikan, ke tempat pihak laki-laki. Kemudian setelah acara makan bersama, perutusan perempuan akan membawa hewan itu ke tempat keluarga perempuan. Hewan yang biasanya digunakan sebagai sinamot adalah kerbau atau lembu.
f) Martonggo Raja[22]
Perkawinan dalam masyarakat Batak Toba, bukanlah urusan ayah dan ibu laki-laki saja, melainkan urusan semua keluarga. Oleh karena itu orang tua laki-laki akan mengumpulkan semua keluarganya terutama yang menyangkut Dalihan Na Tolu, untuk berkumpul di rumah orang tua laki-laki, dan membicarakan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan. Jadi Martonggo Raja merupakan suatu rapat utuk mengadakan pembagian tugas.
3.2 Upacara Perkawinan
Setelah selesai semua acara yang telah dikemukan di atas, maka pada waktu yang ditetapkan pihak laki-laki datang ke rumah orang tua perempuan dengan membawa makanan adat. Makanan adat ditaruh di dalam bakul yang disebut ampang, dan dibawa oleh seorang yang disebut Sihunti Ampang[23]. Rombongan ini sudah ditunggu oleh keluarga perempuan di rumah orang tua wanita tersebut. Setelah makan, secara bersama-sama mereka mengahantarkan kedua calon pengantin ini, untuk melakukan upacara perkawinan secara agama.[24]
Pada orang Batak Kristen dilakukan pengumuman rencana pernikahan di kebaktian minggu dua kali berturut-turut, dan setelah itu acara pemberkatan nikah (pamasu-masuon).[25] Pada upacara pemberkatan (upacara agama) hadir keluarga kedua mempelai. Kedua orang tua dari pihak pengantin bertindak sebagai saksi sementara pendeta atau pejabat agama lainnya melaksanakan pemberkatan. Selesai upacara pemberkatan dilanjutkan upacara perkawinan menurut adat, hadirin atau para undangan yang terhormat langsung ke rumah pihak perempuan[26] untuk makan bersama (mangan indahan na las dohot minum air sitio-tio). Dan setelah selesai makan bersama dilanjutkan dengan acara menyerahkan kado atau uang sumbangan dari undangan laki-laki (manjalo tumpak). Kemudian dilanjutkan acara membagi jambar (bagian), yakni bagian-bagian khusus hewan yang dipotong pada acara perkawinan, menyusul kemudian pembagian uang kepada undangan pihak perempuan oleh pihak laki-laki, dan menyerahkan ulos oleh pihak perempuan.[27]
Ada tiga ulos yang sangat penting dan dianggap sebagai keharusan yang harus disampaikan keluarga perempuan (hula-hula) kepada pihak keluarga laki-laki. Kepada ayah pengantin laki-laki diberi ulos pansamot (ulos mencari sinamot, ulos untuk mencari uang). Kepada ibu diberikan ulos pargomgom (dari kata gomgom, rangkul, merangkul kedua pengantin di dalam roh ibu). Ulos tutup ni ampang kepada namboru atau saudara perempuan laki-laki.[28] Pesta perkawinan diakhiri dengan acara menyampaikan kata-kata bertuah kepada kedua mempelai.[29]
3.3 Setelah Upacara Perkawinan
Walaupun perempuan telah dibawa ke rumah pihak laki-laki bukan berarti sudah selesai proses-proses yang harus dilaksanakan oleh kedua pihak di dalam rangka perkawinan mereka. Acara-acara tertentu yang harus dilakukan, sebagai berikut:
a) Mebat (Paulak Une)[30]
Artinya setelah kira-kira satu minggu, maka kedua pengantin dengan beberapa orang keluarganya datang kerumah orang tua perempuan. Sebelum Mebat ini maka perempuan dan suaminya belum boleh berkunjung ke rumah orang tua perempuan tersebut. Pada acara ini, kesempatan bagi kedua orang tua pengantin untuk memberikan nasihat-nasihat kepada suami isti yang baru menikah tersebut.
b) Maningkir Tangga[31]
Artinya melihat. Kedua orang tua perempuan dan beberapa keluarganya datang ke rumah orang tua pihak laki-laki untuk melihat rumah tangga anaknya. Kedatangan mereka ini selalu membawa makanan adat.
c) Manjae[32]
Setelah semua upacara selesai maka orang tua laki-laki menyuruh anaknya dengan istri untuk hidup tidak serumah dengan orang tuanya. Orang tua laki-laki akan memberi peralatan dan makanan secukupnya kepada mereka.
3.4 Beberapa Jenis Cara Perkawinan yang Melanggar Adat
Bagi orang Batak perkawinan harus dilakukan sesuai ketentuan adat yang berlaku dan teratur menurut prosedur adat Batak. Perkawinan jenis itu disebut mangoli. Selain itu ada perkawinan yang melanggar prosedur adat, yaitu:
1) Mangabing[33] adalah jenis perkawinan yang dilaksanakan secara kekerasan. Karena ketidaktegasan perempuan memberikan jawaban kepada laki-laki, maka pada waktu kampung dalam keadaan sepi pemuda datang bersama teman-temannya membawa lari perempuan tersebut. Perempuan tersebut di paksa ke kampungnya. Biasanya perempuan diabing (dipangku) dari tempatnya bertenun atau menumbuk padi. Mangalua juga termasuk jenis ini tetapi bedanya, mangambing ada unsur paksaan, rampasan sementara mangalua tidak ada paksaan.
2) Mahuempe[34] hampir sama dengan mangambing tetapi paksaan dilakukan oleh perempuan. Dalam jenis perkawinan ini, sewaktu laki-laki mertandang tidak tegas mengajaknya untuk kawin. Karena itu perempuan dan temannya pergi melaporkan kepada pangituai ni huta yaitu kepala huta.
3) Maiturun atau mahiturun[35], sedikit mirip dengan mahuempe. Perkawinan ini disebut juga mangaroba karena perempuan dianggap merebahkan diri, menyerah kepada laki-laki, tanpa peduli dibayarkan sinamotnya atau tidak. Dalam hal ini pihak laki-laki akan membayarkannya dengan sukarela. Inilah salah satu penurunan derajat hula-hula.
4) Sonduk hela[36], yaitu perkawinan di mana laki-laki tinggal di rumah keluarga istri (Uxorilokal). Biasanya karena laki-laki tidak mampu membayar mas kawin atau karena perempuan anak tunggal.
5) Pagodanghon atau pareakhoni[37] yang artinya memperkembangbiakkan. Jenis perkawinan demikian ditempuh seorang pemuda karena saudaranya, kakak laki-lakinya meninggal dunia maka dia menggantikan janda kakaknya tersebut.
6) Maninghati (singkat rere)[38] atau ganti tikar, terjadi apabila istri meninggal dunia maka suami mengawini adik istrinya.
7) Marsidua-dua[39], yaitu mengawini dua orang perempuan dalam waktu yang berdekatan. Bentuk perkawinan itu ditempuh orang Batak kalau istri pertama tidak melahirkan anak laki-laki, atau kalau hanya punya anak perempuan.
8) Marimbang[40] hampir sama dengan marsidua-dua. Marimbang artinya mempunyai saingan di dalam kehidupan rumah tangga. Terjadinya percekcokan diantara istri pertama dan kedua.
9) Marboru tapang[41], yaitu perkawinan yang dilakukan oleh pihak orangtua, di mana pasangan yang akan dikawinkan itu belum lahir, atau satu orang sudah lahir pasangannya belum.
IV. Kesimpulan
Perkawinan merupakan proses penyatuan dua orang berlainan jenis kelamin dalam suatu ikatan yang suci dan mereka bersatu di dalam kehidupan bersama untuk melanjutkan keturunan. Proses yang mereka lalui dalam rangka mengikatkan diri ini, tentunya menurut ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam masyarakat. Laki-laki yang telah mengikatkan diri dengan seorang perempuan, setelah melalui prosedur yang ditentukan di dalam hukum adat dinamakan suami dan perempuan yang mengikatkan diri itu disebut istri.
Pada masyarakat Batak perkawinan bukan saja untuk melanjutkan keturunan tapi juga untuk meneruskan marga dari pihak laki-laki (menganut sistem patriakhal). Perkawinan orang Batak harus dilakukan dengan adat yang berlaku di dalam masyarakat Batak. Adapun yang harus dilakukan, sebagai berikut:
- Sebelum upacara perkawinan, ada tahap-tahap yang harus dilakukan sebelum memutuskan melakukan upacara perkawinan yaitu: martandang, mangalehon tanda, marhusip, marhata sinamot, maningkir lobu, dan martonggo raja.
- Upacara perkawinan. Dalam upacara perkawinan ada dua hal yang dilakukan yaitu upacara agama (agama Kristen, pemberkatan di gereja) dan upacara perkawinan menurut adat Batak.
- Setelah upacara perkawinan, tahap-tahap yang harus dilakukan, yaitu: mebat (Paulak une), maningkir tangga, dan manjae.
Di dalam masyarakat Batak ada juga perkawinan yang dilakukan tidak sesuai ketentuan adat yang berlaku, yaitu: mangabing, mahuempe, sonduk hela, maiturun (mahiturun), pagodanghon (pareakhoni), maninghati (singkat rere), marsidua-dua, marimbang, dan marboru tapang.
V. Daftar Pustaka
Saragih, Djaren, dkk.
1980 Hukum Perkawinan Adat Batak,, Bandung (Tarsito).
Tambunan, E.H.
1982 Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya, Bandung (Tarsito).
Simanjuntak, Bungaran Antonius.
2006 Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945, Jakarta (Yayasan Obor Indonesia).
Saragih, Djaren.
1984 Pengantar Hukum Adat Indonesia, Bandung (Tarsito).
_______.
2005 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ketiga), Jakarta (Balai Pustaka).
Sagala, Mangapul.
2008 Injil dan Adat Batak, Jakarta (Yayasan Bina Dunia).
Simanjuntak, B.A. (ed.)
1986 Pemikiran tentang Batak, Medan (Universitas HKBP Nommensen).
Irianto, Sulistyowati.
2005 Perempuan Di antara Berbagai Pilihan, Jakarta (Yayasan Obor Indonesia).
Siahaan, Nalom.
1982 Adat Dalihan Na Tolu, Prinsip dan Pelaksanaannya, Jakarta (Tulus Jaya).
Panggabean, H.P., dkk.
2001 Kekristenan dan Adat Budaya Batak dalam Perbincangan, Jakarta (Dian Utama).
[1]Bnd. Djaren Saragih, dkk, Hukum Perkawinan Adat Batak,, Tarsito, Bandung 1980: hlm. 26.
[2]E.H. Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya, Tarsito, Bandung 1982: hlm. 136.
[3]Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2006: hlm. 108.
[4]Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung 1984: hlm. 124.
[5]Ibid., hlm. 123.
[6]Tambunan, Op. Cit., hlm. 136.
[7]http://kamissore.blogspot.com/2009/02/pernikahan-adat-batak.html, dikunjungi tanggal 19 September 2009.
[8] _______, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ketiga), Balai Pustaka, Jakarta 2005: hlm. 6.
[9] Mangapul Sagala, Injil dan Adat Batak, Yayasan Bina Dunia, Jakarta 2008: hlm. 20.
[10] _______, Kamus, Op. Cit., hlm. 518.
[11]Saragih, Op. Cit., hlm. 27.
[12] Adat ataupun hukum adat, walaupun tidak tertulis sudah merupakan peraturan-peraturan yang mengatur cara hidup manusia dan takluk kepada adat, ataupun hukum adat tersebut. Lih. I. Simanjuntak, "Pesta Adat Di Kalangan Suku Batak Toba yang Beragama Kristen", dalam: Pemikiran tentang Batak (Editor: B.A. Simanjuntak), Universitas HKBP Nommensen, Medan 1986: hlm. 115.
[13] Lih. "Pandangan INJIL terhadap UPACARA ADAT BATAK", dalam: http://be-e.info/wancil/page1/files/bab1.pdf, dikunjungi tanggal 19 September 2009.
[14] Sagala, Op. Cit., hlm. 25.
[15] Dalihan Na Tolu artinya secara harafiah, "Tungku Nan Tiga" yaitu Boru (klen kecil penerima perempuan, ayah dari pengantin laki-laki), Hula-hula (klen kecil yang memberi anak perempuan) dan Dongan Sabutuha (klen kecil dengan marga yang sama atau teman selahir). Lih. Sulistyowati Irianto, Perempuan Di antara Berbagai Pilihan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2005: hlm. 110.
[16] Nalom Siahaan, Adat Dalihan Na Tolu, Prinsip dan Pelaksanaannya, Tulus Jaya, Jakarta 1982: hlm. 50.
[17] Tambunan, Op. Cit., hlm. 136-137.
[18] Saragih, Op. Cit., hlm. 64.
[19] Siahaan, Op. Cit., hlm. 56.
[20] Saragih, Op. Cit., hlm. 65.
[21] Ibid., hlm. 65-66.
[22]Ibid., hlm. 66.
[23]Yang menjungjung bakul tempat makanan adat yang disebut sibuhai-buhai (upacara makan pagi sebelum upacara perkawinan khusus untuk hula-hula langsung yaitu orang tua si perempuan) yaitu namboru laki-laki atau saudaranya yang sudah menikah disebut manjae (anak yang sudah berumah tangga). Lih. Bungaran Antonius Simanjuntak, Op. Cit., hlm. 121.
[24]Djaren Saragih, dkk, Op. Cit., hlm. 73.
[25]H.P. Panggabean, dkk, Kekristenan dan Adat Budaya Batak dalam Perbincangan, Dian Utama, Jakarta 2001: hlm. 38.
[26] Apabila pesta perkawinan dilakukan dirumah orang tua perempuan disebut Dialap jual, kemudian setelah pesta perempuan dibawa kerumah keluarga laki-laki, sedangkan bila pesta perkawinan itu dilakukan dirumah keluarga laki-laki maka disebut Ditaruhon Jual. Lih. Saragih, Op. Cit., hlm. 74.
[27] Tambunan, Op. Cit., hlm. 143-144.
[28] Simanjuntak, Op. Cit., hlm. 121.
[29] Tambunan, Op. Cit., hlm. 144.
[30] Saragih, dkk, Op. Cit., hlm. 77.
[31] Ibid., hlm. 77-78.
[32] Ibid., hlm. 78.
[33] Bungaran, Op. Cit., hlm. 148-149.
[34] Ibid., hlm. 150.
[35] Ibid., hlm. 150-151.
[36] Ibid., hlm. 151.
[37] Ibid., hlm. 152.
[38] Ibid., hlm. 153.
[39] Ibid., hlm. 154.
[40] Ibid., hlm. 155.
[41] Ibid., hlm. 156.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H