Salah satu gangguan paling heboh dalam beberapa tahun belakangan terhadap komunitas sains (ilmu alam) adalah merebaknya teori Bumi datar. Bagi penggemar dan 'pelaku' sains, hal ini tampak sebagai sebuah guyonan konyol yang tidak lucu. Masalahnya, penganut teori Bumi datar itu benar-benar ada dan nyata, dan jika diabaikan tentu komunitas ini akan terus berkembang menjadi masif. Ini sangat mungkin terjadi, karena seiring berjalannya waktu penganut paham ini akan terus menerus merekrut semakin banyak orang untuk jatuh ke dalam teori konyol ini. Hal ini tidak bisa dihindari, karena tidak semua orang memiliki latar belakang sains atau ilmu alam, dan tidak semua orang pernah menempuh dunia pendidikan. Belum lagi diperparah dengan kontribusi dari kumpulan manusia pemalas yang dulunya sekolah Senin-Kamis (kata pemalas sepertinya terlalu kasar jika dibandingkan dengan kata tolol yang cenderung lebih halus).
Dengan alasan-alasan tersebut, maka akan menjadi 'bencana kecil' di era digital sekarang ini yang mana siapa saja bebas menulis dan atau membuat konten video untuk menebar paham ke semua orang. Sebaliknya, karena setiap orang bebas memiliki gadget dan mengakses informasi melalui internet tanpa syarat apapun - entah berpendidikan atau tidak - kecuali hanya diganggu masalah finansial, maka jelas sangat mudah bagi jenis-jenis 'manusia' yang telah disebutkan di atas untuk jatuh ke dalam teori ini, bahkan kemudian dapat berperan sebagai 'nabi' dalam memberitakan 'keagungan' dari paham yang mereka percayai.
Mungkin masih dapat dimaklumi ketika teori ini heboh di masa lampau, namun karena hebohnya di era sekarang yang mana segala sesuatu bisa diuji dan dicek secara riil time, maka tidak salah jika teori ini dianggap sebagai teori lucu-lucuan. Sekarang kita bisa dengan mudah mendapatkan foto Bumi secara riil time, contohnya lewat situs https://himawari8.nict.go.jp/ kita bisa mendapatkan foto Bumi secara riil time dari satelit Himawari 8. Himawari 8 adalah satelit cuaca milik pemerintah Jepang yang bertugas khusus memantau prakiraan cuaca dan laporan terkait cuaca lainnya untuk memastikan keselamatan pelayaran dan penerbangan di wilayah Jepang, Asia Timur dan Pasifik Barat. Melalui https://zoom.earth/ juga kita bisa mendapatkan foto Bumi secara riil time dari satelit cuaca yang dioperasikan oleh lembaga Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) milik Amerika Serikat yang tugas utamanya mirip dengan tugas dari satelit Himawari.
Akan tetapi, karena teori Bumi datar adalah teori konspirasi maka jelas penganutnya akan mengelak bahwa contoh teknologi yang disebutkan di atas adalah bagian dari konspirasi para elit global. Hal yang paling lucu dari penganut paham ini adalah mereka berusaha menyerang fakta Bumi bulat dengan menyodorkan bukti-bukti semu untuk membuktikan bahwa Bumi tidak bulat, tapi di saat bersamaan mereka tidak pernah berhasil menghasilkan pembuktian nyata, baik secara teori maupun eksperimen bahwa Bumi itu datar demi meyakinkan bahwa memang Bumi itu datar.
Dalam 'peradaban' sebuah komunitas biasanya ada beberapa orang yang diberkahi kemampuan berpikir yang lebih maju ketimbang yang lain. Hal ini juga berlaku dalam komunitas penganut teori Bumi datar. Maksudnya, dalam komunitas mereka ada juga beberapa yang cukup waras yang berusaha membuktikan bahwa Bumi itu datar, entah itu melalui kalkulasi (teori) atau, yang terutama, melalui eksperimen - umumnya menggunakan roket agar dapat terbang tinggi untuk melihat langsung Bumi dari jarak yang setinggi mungkin.Â
Kelihatannya ilmiah, tapi tetap saja masih lucu. Mengapa ? alasannya adalah bagaimana bisa seseorang membuktikan bahwa X bukanlah X jika pembuktiannya menggunakan sesuatu yang menjadi ciri atau menjadi bagian yang menunjukkan bahwa X adalah X ?
Apa artinya ? sebenarnya inilah yang menjadi inti dari artikel ini. Jadi, tulisan ini bukan untuk membeberkan berbagai alasan yang menunjukan bahwa Bumi itu bulat dan bukannya datar, melainkan untuk menjelaskan mengapa Bumi harus bulat dan tidak bisa berbentuk lain.
Menyebut Bumi bulat mungkin kurang tepat karena umumnya kata bulat itu merujuk pada bentuk lingkaran, dan lingkaran sendiri merupakan objek dua dimensi. Lebih tepat mungkin menggunakan frasa Bumi berbentuk menyerupai bola. Karena sudah sering menggunakan frasa Bumi bulat, maka dalam tulisan ini tetap mempertahankan kebiasaan tersebut. Jadi, dengan menyebut Bumi bulat dalam artikel ini, itu berarti mengarah pada bentuk Bumi dalam bentuk 3 dimensi yang menyerupai bola, bukan lingkaran atau bulat dalam arti 2 dimensi.
Sebenarnya, Bumi bukan satu-satunya objek astronomi yang berbentuk bulat. Matahari, bulan, ketujuh planet anggota tata surya lainnya, serta bintang-bintang dan planet-planet di galaksi lain juga memiliki bentuk yang kurang lebih sama. Bentuk bulat-nya Bumi maupun sebagian besar objek astronomi lainnya disebabkan dan dipengaruhi oleh gravitasi, dan gravitasi sendiri dipengaruhi oleh massa atau bobot dari benda. Semua objek yang ada di alam semesta memiliki massa, mulai dari yang paling besar seperti bintang, matahari dan planet-planet sampai yang paling kecil seperti pasir, debu, bakteri, hingga virus sekalipun, semuanya memiliki massa.
Benda yang memiliki massa pasti memiliki kecenderungan untuk menarik benda lain dengan 'kekuatan' yang disebut gravitasi, tidak peduli seberapa besar jarak yang memisahkan objek-objek tersebut. Oleh karena hubungan tersebut maka besarnya gaya gravitasi yang terjadi bergantung pada massa benda dan jarak antar benda. Hukum alam ini ditemukan pertama kali oleh Sir Isaac Newton. Dalam konsep gravitasi yang lebih umum yang didasarkan pada teori relativitas umum dari Albert Einstein, gravitasi adalah kelengkungan ruang-waktu yang diakibatkan oleh massa benda. Dengan kata lain, benda apapun itu, selama memiliki massa, maka benda tersebut memiliki gravitasi atau melengkungkan ruang-waktu.
Selanjutnya, karena setiap benda yang memiliki massa memiliki gaya gravitasinya masing-masing, maka jika ada benda - sebut saja benda M - bergerak dalam jangkauan (medan) gravitasi dari benda L, benda M tersebut akan mengalami percepatan gravitasi dari benda L dan sebaliknya. Contohnya, apel yang jatuh menimpa kepala Newton diakibatkan oleh gravitasi Bumi dan jatuh dengan percepatan yang sama dengan percepatan gravitasi Bumi. Dalam kasus ini, apel juga memberikan pengaruh gravitasi terhadap Bumi (termasuk Newton), sehingga Bumi juga seharusnya mengalami percepatan gravitasi apel. Namun, karena besarnya gravitasi bergantung pada massa benda, maka apel yang ukurannya begitu kecil dibandingkan dengan Bumi terpaksa pasrah terhadap 'gaya tarik' Bumi. Makanya apel-lah yang 'jatuh' menuju Bumi dan bukan Bumi yang 'jatuh' menuju apel.
Pada prinsipnya, gravitasi bekerja dengan cara menarik benda lain ke pusat gravitasi dari segala arah secara merata. Karena gaya tarik gravitasi berasal dari segala arah secara merata, maka benda yang memiliki gravitasi lebih besar akan menarik benda-benda lain yang gravitasinya lebih kecil untuk menempel di segala arah pada benda yang gravitasinya lebih besar tersebut. Jika benda/materi yang ditarik semakin banyak maka bentuk dan ukuran dari benda yang gravitasinya lebih besar tersebut akan bertambah besar di segala arah dan di segala titik dan mengubahnya menjadi bongkahan yang lebih besar.
Meskipun gravitasi menarik benda lain dari segala arah, hal tersebut tidak serta-merta membuat semua benda langit yang tersusun atas miliyaran materi otomatis bentuknya menjadi bulat seperti bola. Jika kita amati dengan seksama kita akan menyadari bahwa benda langit yang berbentuk bulat adalah benda langit dengan ukuran yang sangat besar, sedangkan benda langit dengan ukuran yang kecil seperti meteor, asteroid, komet dan lain-lain tidak berbentuk bulat melainkan lebih mirip bongkahan batu besar. Mengapa demikian ?
Setiap benda di alam semesta memiliki kecenderungan untuk mempertahankan bentuk dan kekakuannya masing-masing. Semakin padat suatu benda semakin kaku strukturnya dan semakin sulit untuk dibentuk. Semakin kaku struktur suatu benda maka untuk mengubah bentuknya membutuhkan tenaga yang lebih besar. Hal ini analog dengan kasus ketika kita membentuk adonan kue; semakin padat adonannya semakin kaku strukturnya sehingga untuk membentuknya sesuai keinginan kita membutuhkan 'tenaga/kekuatan' yang lebih besar.
Benda langit dengan ukuran dan massa yang kecil seperti komet, meteor dan asteroid akan memiliki gravitasi yang kecil/lemah sehingga tidak cukup untuk melawan kekakuan dari bentuk fisiknya sendiri untuk membentuknya dirinya sendiri ke dalam bentuk bola. Sedangkan benda langit dengan ukuran dan massa yang besar seperti Bumi misalnya, memiliki gravitasi yang besar sehingga memungkinkannya melawan kekakuan dari bentuk fisiknya sendiri dan memaksa untuk membentuknya ke dalam bentuk bola. Ini sama seperti analogi adonan kue sebelumnya. Jadi, suatu benda hanya bisa membentuk dirinya sendiri menjadi bulat seperti bola jika benda tersebut memiliki gravitasi yang cukup besar yang mampu melawan kakakuan dirinya sendiri, dan untuk memiliki gravitasi yang besar maka benda tersebut juga harus memiliki massa yang besar.
Sejauh ini ada dua benda langit berbentuk bulat dengan massa paling ringan yang ditemukan manusia yaitu Mimas dan Miranda. Mimas adalah bulan dari planet Saturnus dengan massa sebesar 3,75 kali 10 pangkat 19 kg atau sama dengan 37,5 juta milyar ton. Sedangkan Miranda adalah bulannya planet Uranus dengan massa 6,5 kali 10 pangkat 19 kg atau 65 juta milyar ton. Benda langit lain yang telah ditemukan atau diamati manusia dengan massa yang lebih ringan atau lebih kecil dari ukuran tersebut tidak ada yang bentuknya menyerupai bola, melainkan hanya berupa bongkahan batu raksasa.Â
Apabila diambil rata-rata massa dari Miranda dan Mimas maka syarat agar suatu benda langit bisa memiliki bentuk bulat menyerupai bola adalah jika benda langit tersebut memiliki massa minimal kurang lebih 50 juta milyar ton. Ukuran massa Bumi sendiri jauh berkali-kali lipat lebih besar dari ukuran tersebut sehingga Bumi lebih bulat jika dibandingkan Mimas dan Miranda.
Kita mungkin berpikir, jika memang Bumi bulat dan itu diakibatkan oleh gravitasi Bumi sendiri, maka mengapa permukaan Bumi tidak cenderung rata, malah sebaliknya justru ada gunung yang menjulang di mana-mana ? Kita mungkin membandingkannya dengan analogi adonan kue yang mana ketika kita 'membolanya' maka permukaan adonan kue terlihat rata tanpa tonjolan seperti gunung-gunung di permukaan Bumi. Dalam masalah ini, ukuran menjadi relatif. Kita mungkin berpikir bahwa gunung Q itu tinggi, dan lembah R atau jurang Y itu dalam, namun tinggi dan dalam ini sebenarnya relatif tergantung penglihatan dan perspektif kita.
Gunung tertinggi di dunia adalah gunung Everest yang merupakan puncak tertinggi dari pegunungan Himalaya dengan ketinggian mencapai kurang lebih 8 km di atas permukaan laut. Bagi kita manusia yang mendiami planet Bumi ukuran itu jelas sangat tinggi, namun jika tingginya gunung Everest dibandingkan dengan ukuran Bumi sendiri yang diameternya hampir mencapai 13.000 km, maka tingginya gunung Everest menjadi tidak berarti. Perbandingannya kurang lebih 1 banding 1.500.
Bandingkan, jika seorang bernama H berdiri sejauh 10 meter dari seorang bernama R, dan diketahui bahwa tinggi badan si H dalah 1,7 meter, dan di wajahnya muncul jerawat batu yang ukuran 'tinggi' jerawat dari permuakan kulitnya 0,25 cm, maka pada jarak tersebut si R tidak dapat melihat dengan jelas jerawat pada wajah si H. Apalagi jika jarak keduanya diperlebar hingga pada jarak yang memungkinkan si R melihat si H seukuran adonan kue, maka hasilnya jerawat si H benar-benar tidak akan terlihat oleh si R. Padahal perbandingan jerawat dan tinggi badan H kurang lebih cuma 1 berbanding 700, bukan 1 berbanding 1.500, seperti perbandingan tinggi gunung Everest dan ukuran Bumi.
Jadi, jika kita bisa berada pada posisi yang cukup jauh dari Bumi maka kita akan melihat Bumi seperti kelereng biru yang tampak bulat tanpa tonjolan dan mengambang bebas di angkasa. Itulah alasan mengapa foto Bumi dari satelit tampak bulat sempurna. Masalah persepktif ini berlaku juga pada adonan kue tadi, atau terhadap benda apapun yang ada di sekitar kita yang kita anggap rata. Apa yang kita anggap rata itu jika ukurannya diperbesar atau dilihat dan diamati menggunakan bantuan alat optik seperti kaca pembesar, maka kita akan mendapati bahwa permukaan benda yang kita anggap rata dan mulus tadi ternyata tidak rata, melainkan banyak tonjolan dan lubang di mana-mana. Jadi, ini benar-benar bergantung pada perspektif dari mata kita.
Sampai di sini jelas bahwa dengan adanya gravitasi, maka tidak peduli apapun teori konsiprasinya, wajib hukumnya secara alamiah bahwa Bumi mau tidak mau harus berbetuk menyerupai bola. Bahkan, jika seadainya pada awalnya Bumi itu memang datar atau berbentuk segitiga dan lain sebagainya, maka karena adanya gravitasi pada akhirnya Bumi tetap harus menerima nasibnya untuk berevolusi ke bentuk bola. Karena gravitasi adalah alasan dan penyebab utama Bumi berbentuk bola, maka pekerjaan rumah terbesar bagi penganut teori Bumi datar adalah menyingkirkan gravitasi. Dengan kata lain, mereka harus membuktikan bahwa gravitasi itu tidak ada, atau setidaknya menemukan sesuatu sebagai pengganti gravitasi.
Memang sudah ada beberapa usaha dari pihak mereka yang mencoba menggantikan percepatan gravitasi Bumi dengan suatu percepatan jenis lain yang besar nilainya sama dengan percepatan gravitasi Bumi. Ini dilakukan untuk memberi bukti mengapa benda yang jatuh selalu ke bawah. Masalahnya, mereka tidak bisa membuktikan dari mana datangnya percepatan yang mereka maksudkan ini, tentu ini berbeda dengan gravitasi yang hukumnya sudah mapan. Jika hanya sekadar mengganti nilai percepatan gravitasi dengan percepatan jenis lain namun dengan nilai yang sama dengan percepatan gravitasi tanpa asal usul yang jelas, itu sama saja dengan mengakui keberadaan gravitasi dengan nama yang berbeda. Jika mengakui keberadaan gravitasi, maka mau tidak mau harus mengakui bahwa apapun alasannya, Bumi harus berbentuk bulat.
Menyingkirkan gravitasi bukan masalah sepele. Sejak mekanika atau fisika klasik lahir yang ditandai dengan penemuan atau penetapan hukum-hukum gerak Newton, bersamaan dengan itu juga lahir hukum gravitasi universal Newton. Hal ini berarti bahwa hukum gravitasi termasuk hukum tertua dalam sejarah fisika. Karena menjadi salah satu yang tertua, maka selain hukum-hukum gerak Newton, hukum gravitasi juga menjadi landasan bagi perkembangan teori dan hukum-hukum fisika yang terus berkembang sampai sekarang. Gravitasi bukan hanya sekadar berurusan dengan benda jatuh, tapi juga berurusan dengan bagaimana kapal terapung, bagaimana kapal selam melayang di dalam air, bagaimana munculnya gaya angkat yang memungkinkan pesawat terbang hingga desain roket dan sebagainya. Bahkan, presisinya perhitungan koordinat posisi pada teknologi GPS bergantung pada gravitasi dari versi relativitas umum Einstein.
Teknologi transportasi modern tidak jauh-jauh dari gravitasi, karena untuk mendapatkan kecepatan, keseimbangan demi kenyamanan berkendara memperhitungan centre of gravity. Dengan kata lain, baik langsung maupun tidak langsung, teori dan hukum gravitasi telah merevolusi peradaban manusia menjadi seperti sekarang. Jadi, jika ingin bersikeras bahwa Bumi itu datar maka harus menolak keberadaan gravitasi. Menolak keberadaan gravitasi, itu artinya cuma dua, yang pertama adalah menolak semua kemajuan teknologi dalam sejarah peradaban manusia, selanjutnya yang kedua adalah merombak ulang fisika dari dasar. Tentu saja ini bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah bagi kaum sekolah Senin-Kamis yang berlagak cerdas di usia senja.
Daftar Rujukan:
Milone, E. dan Wilson, W. 2014. Solar System Astrophysics, 2nd edition. New York: Springer.
Seeds, M. dan Backman, D. 2012. Universe: Solar System, Stars, and Galaxies, 7th edition. USA: Brooks/Cole Cengage Learning.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H