Mohon tunggu...
ricky gaok
ricky gaok Mohon Tunggu... Penulis - Back to Nature

Demokrasi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Cinta dalam Filsafat Eksistensialisme ala Jean Paul Sartre

25 Mei 2019   20:14 Diperbarui: 27 Mei 2019   19:03 2079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
twitter.com/cdobrila


Gadis kecilku yang manis, malam ini aku mencintaimu dengan cara yang belum pernah engkau temui sebelumnya:
Aku tak perlu letih menempuh jarak dan tak perlu tenggelam dalam mengharapkan hadirmu
Telah kukalahkan rasa cintaku kepadamu kemarin
dan mengubah cintaku padamu sebagai unsur pembentuk diri.
Kumohon, pahamilah carakku.
Aku mencintaimu pada saat perhatianku kuberikan kepada yang lain.
di toulouse aku mencintaimu
di malam musim gugur Aku mencintaimu dengan "Jendela terbuka"

Engkau milikku,
Segala sesuatu milikku.
Dan cintaku mengubah segala sesuatu di sekitarku
Begitu pun segala sesuatu di sekitarku mengubah cintaku.
-Sartre- 

Demikianlah isi surat Jean Paul Sartre  kepada "Istri" nya Simone de Beauvoir.
Tapi maaf, tentu saja kata istri yang saya maksud bukan istri sebagaimana kita biasa memahaminya.
Dalam penganut aliran filsafat esksistesialisme, kata "Istri" mungkin sama asingnya seperti bahasa Rusia di daerah tempat tinggal saya, tambun bekasi. 

Sartre atau yang bernama lengkap
Jean Paul Sartre termasuk dalam jajaran filsuf modern abad 20. Dilahirkan pada tanggal 21 Juni 1905 di kota Paris. Ayahnya adalah seorang angkatan Laut dan ibunya seorang dosen diUniversitas Sorbone. Kehilangan ayah dimasa kecil, kemudian Sartre dididik oleh kakeknya. Pengalaman di masa kecil Sartre ini yang banyak mempengaruhi pemikirannya.
Salah satu pengalaman masa kecilnya tercurah di buku 'Kata Kata' (Les Most). Ini menyentil kehidupan negatif pada masa kecilnya. Sartre berasal dari keturunan yang memeluk Protestan. Namun dia justru memilih "pindah" menjadi seorang katolik. Tetapi setelah menjadi dewasa dia lebih memilih untuk tidak menganut agama apapun, atheis. Sartre tidak mengakui adanya tuhan, sastra adalah agama terbaru. Begitulah prinsipnya yang bercita cita menjadi penulis kala itu.
Dari sisi kehidupannya yang lain. Sartre pernah hidup bersama Simone de Beavoir  tanpa adanya ikatan pernikahan. Pasangan ini tidak menikah karena berpendapat, pernikahan hanya milik kaum berjouis kala itu. Ini sebagai bentuk kritik pada kaum kapitalis dan idealis pada saat itu.

Saya tidak akan panjang lebar menjelaskan sejarah perjalanan hidup sartre.
yang akan saya ulas disini adalah, bagaimana eksistensialisme bekerja pada hubungan "percintaan" dua manusia.

Perenungan:
Bagi Seorang Sartre
Cinta itu adalah konflik, dan karakter dasar cinta adalah Pertikaian
Kenapa konflik?
Kenapa bertikai?

Ketika kamu mencintai seseorang, maka kamu berhadapan langsung dengan kemerdekaan orang yang kamu cintai tersebut.  Alih-alih Kamu ingin mencintai seseorang dengan mempertahankan kemerdekaanmu sendiri, tetapi kamu tidak berani memberikan kemerdekaan yang utuh pada pasanganmu.

Pada dasarnya setiap orang memiliki sifat individualisme. tak perduli latar belakang, usia, dan pendidikan. Sifat individualitas / menganggap dirimu adalah subjek (pemegang kendali terhadap diri sendiri) dan melihat orang lain hanya sebagai objek.  Sedangkan di lain sisi kita tidak ingin dijadikan objek bagi orang lain.
Begitulah fitrah manusia, tak kenal apapun jenis kelaminnya selalu pasti sama .

Sehingga cinta itu adalah subjek yang ingin menjadikan yang dicintai sebagai objek, begitu juga sebaliknya.

Semisal, Ketika kita bertemu seseorang dan saling jatuh cinta, pada dasarnya adalah penjara.
Karena kamu berusaha menjadikannya objek bagi dirimu dengan segala tuntutan dan sebaliknya dia juga berusaha menjadikanmu objek dengan segala tuntutan sehingga akhirnya kita kehilangan eksistensi kita sebagai manusia. 

Orang yang mencintai pada hakekatnya ingin memiliki dunia orang yang dicintai. Mengobjekan-nya,  dan meminta menyerahkan dunia serta dirinya secara "bulat-bulat". Kondisi tersebut dapat kita simpulkan sebagai "Terjebak pada dunia orang lain" atau "Berada bagi orang lain". hal tersebut merupakan sesuatu yang Nausea (Memuakkan!)

Cinta juga sebuah paradoks. alih-alih memberikan kebebasan.. kalimat
"Aku cinta padamu dan cintaku ini bukan belenggu"  sebetulnya kalimat itu secara tidak langsung sudah membelenggu. 

Manusia lahir dengan segala keinginan
Tidak ada satu manusia pun yang ingin tunduk pada manusia lain.
Fenomena yang disebut cinta tentu bertentangan dengan kodrati tersebut. Bagi Sartre, hanya ada 2 pilihan dalam mencintai dan dicintai.
Pertama, salah satu dari kita harus rela dijadikan objek bagi pasangan kita seumur hidup.
Pilihan ke-2 adalah masing-masing bersikukuh tidak ingin dijadikan objek.   Apabila itu terjadi, Tanpa sadar akhirnya kita hancur, lebur dan keduanya tanpa sadar sudah sama-sama menjadi objek.

Sudahlah, rumus-rumus cinta yang mainstream yang selama ini kita dengar bahwa cinta itu agung, suci, tanpa pamrih, tanpa suatu apa, tidak lain itu hanyalah ilusi semata.
Rasa ketertarikan hanya sebuah tabir bagi hawa nafsu, selimut bagi hasrat seksual. Begitu kamu bertemu 2 individu atau 2 subjek, yang terjadi adalah kamu akan saling mengobjek-an satu sama lain.
Disitu manusia akan kehilangan subjektifitas dirinya.
"Khazanah percintaan seperti naksir, kasih, pacaran, perkawinan adalah sebuah kegagalan manusia dalam mempertahankan subjektifitas/kuasa terhadap diri sendiri" 

Cinta tanpa mendominasi atau menuntut tidaklah mungkin ada, tidak mungkin di sebut cinta.

Dua orang manusia hanya bisa saling mendukung dan "mencintai" tanpa mendominasi
HANYA APABILA MEREKA MEMILIKI MUSUH YANG SAMA.
namun apabila 2 manusia tidak memiliki musuh bersama, maka mereka akan memakan satu sama lain guna mempertahankan subjektifitas dirinya.
seperti Romeo dan Juliet terlihat kompak karena mereka memiliki musuh bersama yaitu keluarga yang tidak merestui hubungan mereka. Dan kita iri melihat kekompakan mereka.
Bukankah rasa iri tersebut membutakan mata kita?. seolah cinta itu suci, agung, dan hebat. Tidak!
Cinta hanyalah ilusi dari kisah perlawanan dua melawan banyak

Tetapi coba kalau kita bayangkan bagaimana bila tidak ada musuh bersama dalam hubungan Romeo dan Juliet.
Dalam artian keluarga mereka saling merestui. Tentu mereka tidak akan sekompak itu dalam menenggak racun dan mati bersama..
mereka akan sengsara satu sama lain, rumah tangga mereka akan dipenuhi karakter dasar cinta yang yaitu "Konflik"

Jadi sebenarnya jalan menuju kebahagiaan bukan melalui percintaan / pernikahan semata. 
Kalau tujuan pernikahan hanya sebatas hidup bahagia, pikirkan seribu kali.
Kalau kamu mencari kebahagiaan, jelas
ia tidak ada disana.
Pernikahan hanyalah seni mengelola konflik antara dua makhluk individualis yang  disebut manusia.

-Gaok-
"Cinta Dalam Eksistensialisme Jean Paul Sartre

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun