Dalam pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang, atau bisa disebut UU Pilkada. Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan pemilihan meliputi “melakukan evaluasi penyelenggaraan pemilihan. Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin menjelaskan tujuan diselenggarakannya evaluasi setidaknya ada 3 (tiga) yaitu memperoleh rekomendasi terhadap permasalahan yang terjadi setiap tahapan pilkada, penguatan desain kelembagaan dan penyelenggaraan pilkada dan masukan untuk tata kelola pilkada yang lebih baik.
Bahkan pasca penyelenggaraan pilkada setelah penetapan pasangan calon kepala daerah terpilih, KPU Daerah, Provinsi, Kabupaten/kota menggelar evaluasi penyelenggaraan pilkada. Bahan evaluasi ini perlu dikaji dan disampaikan ke KPU untuk bahan pertimbangan dalam persiapan pilkada mendatang. Pilkada serentak telah diselenggarakan pada tanggal 27 November 2024. Keserentakan pilkada terselenggaranya di 37 Provinsi, 415 Kabupaten dan 93 kota dengan peserta sebanyak 1.553 pasangan calon. Catatan besar mewarnai penghelatan pilkada serentak 2024 seperti penurunan angka partisipasi pemilih dan penggunaan sistem informasi
Turunnya angka partisipasi pemilih pilkada 2024
Secara nasional angka partisipasi pemilih menurut data KPU sebesar 71 persen. Penurunan terjadi dalam rentan pemilu dan pilkada sebelumnya. Pada pemilu 2024 yang digelar pada 14 Februari 2024, angka partisipasi pemilih berada di 81 persen. Torehan ini lebih baik pada pilkada serentak 2020 dengan tingkat partisipasi 76,09 persen walaupun di tengah pandemi covid-19 pada waktu itu.
Penyelenggaraan pilkada serentak telah diselenggarakan sebanyak 5 (lima) kali. Diawali pada tahun 2015 yang diikuti 269 daerah, berlanjut di tahun 2017 sebanyak 101 daerah, selang satu tahun kemudian sebanyak 171 daerah, di masa pandemi covid 19, di tahun 2020 sebanyak 270 daerah. Terakhir pada pilkada serentak tahun 2024 telah diikuti sebanyak 545 daerah dan merupakan pilkada serentak terbesar yang pernah ada. KPU sendiri telah menargetkan angka partisipasi sebesar 77,5 persen. Akan tetapi secara nasional, pilkada serentak belum tercapainya target KPU. Angka partisipasi pilkada serentak 2015 yang diselenggarakan pada 9 Desember 2015 berada di angka 68,2 persen, angka partisipasi sedikit meningkat pada pilkada selanjutnya tepatnya pada 15 Februari 2017 sebesar 74,5 persen. Angka partisipasi pilkada mengalami penurunan pada 27 Juni 2018 sebesar 70,1 persen. Ketika pilkada di masa pandemi covid 19, tepatnya 9 Desember 2020, partisipasi mengalami kenaikan sebesar 70,55 persen.
Partisipasi rendah pada menandakan bahwa daya tarik pilkada tidak seperti dulu bahkan kalah dengan pemilu. Timbul pertanyaan apakah Pilkada serentak ini telah merepresentasikan kehendak rakyat.  Rakyat apakah dilibatkan sebagai user atau hanya sebagai penonton. Statemen ini diungkapkan oleh Wakil ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf. Apakah pilkada serentak ini sudah efektif?, pilkada serentak diwaktu yang waktu yang sama kehilangan daya tariknya, semangat partai politik menentukan calon sudah  habis energi karena pada pemilu 2024 kemarin, parpol sudah habis-habisan dalam pemilu 2024, belum lelah mereka pada 14 februari 2024 yang lalu kemudian dihadapkan dengan pilkada 2024. Banyak nya calon-calon kepala daerah dari caleg tidak lolos, dan mengikuti pilkada ada yang berhasil. Sebetulnya yang penggeraknya koalisi parpol atau mesin lain. Solusi adanya beri jedah antara pemilu dan pilkada untuk mendata ulang. Karena harus dipikirkan, ketika setelah pemilu akan ada penggantian kepengurusan dan berdampak pada kader-kader untuk pencalonan. Sehingga perlu dievaluasi keserentakan pilkada agar tidak diselenggarakan di tahun yang sama atau berdekatan dengan pemilu.
Faktor lain penyebab partisipasi rendah pada pilkada serentak 2024 yaitu cuaca. Hampir setiap daerah pada tanggal 27 November 2024, cuaca tidak mendukung. Hujan mulai pagi hingga sore berdampak pada kehadiran pemilih ke TPS. Kenapa pilkada serentak 2024 digelar pada bulan November? Ini ditentukan bahwa pilkada serentak tahun 2024 dilaksanakan pada bulan november 2024, pada pasal 201 ayat (8) Undang-Undang Pilkada bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati dan/atau walikota dan wakil walikota di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024. Melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada 22 Januari 2022, antara Komisi II DPR RI, pemerintah, penyelenggara pemilu KPU, Bawaslu dan DKPP, ditetapkan bersama pemungutan suara pilkada serentak pada 27 November 2024. Untuk itu evaluasi pilkada serentak kedepannya hari pemungutan suara tidak dilaksanakan bulannya iklim cuaca hujan.
Penggunaan Sistem Informasi
Penerapan teknologi informasi tidak lepas dalam kehidupan termasuk penyelenggaraan pemilu dan pilkada. Istilahnya Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Ketentuan SPBE telah diatur dalam pasal 60 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik, bahwa setiap pimpinan pusat mempunyai tugas melakukan koordinasi dan menetapkan kebijakan sistem pemerintahan berbasis elektronik di instansi pusat. Dalam hal ini KPU telah menetapkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik Komisi Pemilihan Umum, tujuannya untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, transparan, dan akuntabel serta pelayanan publik yang berkualitas dan terpercaya. Selain itu untuk mewujudkan peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan publik di bidang pemilihan umum kepada masyarakat luas serta pengembanagn pelayanan publik berbasis elektronik di lingkungan komisi pemilihan umum.
Penerapan teknologi informasi dalam pemilu menurut administration and cost of election (ACE) Project  menyarankan agar penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU pada untuk memperhatikan 12 (dua belas) prinsip penggunaan teknologi dalam pemilu yaitu : 1) penilaian yang holistik terhadap kemajuan teknologi, 2) memperhatikan dampak dari penerapan teknologi; 3). Menjaga transparansi dan etika; 4). Memperhatikan dan memastikan keamanan teknologi; 5). Mengukur akurasi yang dihasilkan; 6). Memastikan kerahasiaan; 7). Memastikan inklusifitas; 8). Mempertimbangkan efektifitas biaya; 9). Mengevaluasi efisiensi teknologi; 10). Evaluasi keberlanjutan teknologi; 11). Fleksibilitas teknologi dengan regulasi pemilu dan 12). Mudah digunakan dan dipercaya masyarakat.
Demi mewujudkan SPBE dalam pemilu, KPU mengembangkan berbagai sistem informasi untuk pemilu dan pilkada, khusus untuk pilkada tahun 2024 ini, KPU telah menerapkan yaitu:
- Sirekap, untuk proses rekapitulasi suara, penetapan hasil pemilihan dan sengketa hasil pemilihan;
- Sikadeka, untuk pengelolaan dana kampanye, pengelolaan audit dana kampanye, dan pengelolaan kegiatan kampanye;
- Sidalih, untuk pengelolaan data pemilih dan TPS, proses coklit/e-coklit, pemeriksaan keterdaftaran pemilih/cek dpt online, tanggapan masyarakat terhadap daftar pemilih/lapor pemilih;
- Siakba, untuk proses seleksi badan ad hoc  dan anggota KPU.
- Sipol, untuk update data partai politik termasuk kepengurusan dan anggota;
- Silon, sistem informasi untuk verifikasi dukungan pasangan calon perseorangan, pendaftaran paslon, verifikasi dukungan partai politik terhadap paslon dan verifikasi pendaftaran paslon.
Penggunaan teknologi informasi dalam pemilu tidak boleh melanggar asas pemilu yang langsung, umum bebas , rahasia, jujur dan adil. Direktur Eksekutif Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) Khoirunnisa Nur Agustyati memberikan pendapat bahwa penggunaan teknologi harus konstitusional dan tidak melanggar asa pemilu, penggunaan teknologi ini harus bertujuan untuk membangun pemilu yang kredibel dan terpercaya maka dibutuhkan kompetensi dan sumber daya manusia yang berkualitas untuk mebangunnnya.
Secanggih apapun sistem informasi nanti yang dimiliki oleh KPU. Apabila penggunanya dalam hal ini SDM yang ada di KPU hingga di tingkat ad hoc, maka akan menjadi permasalahan dalam pengoperasian dan hasilnya. Masyarakat berhak memperoleh hasil sentuhan teknologi informasi pemilu yang transparan. Berdampak berbahaya jika output dan outcome teknologi informasi pemilu dikelola dengan tidak profesional. Pekerjaan rumah besar bagi KPU untuk memberikan pelatihan dan bimbingan teknis kepada SDM nya hingga ke tingkat ad hoc PPK, PPS, KPPS dan Pantarlih dalam pengoperasian sistem informasi yang dimiliki KPU. Agar menghasilkan data dan informasi yang valid dan akurat bagi masyarakat luas. (c2p)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI