Masih terpampang jelas kejadian hari ini dan kemarin dengan masifnya aksi demonstrasi mahasiswa yang turun ke jalan akibat tuntutan mahasiswa yang tidak terafiliasi oleh berbagai revisi undang-undang.Â
Kita kembali ke peristiwa reformasi tahun 1998, tepatnya tanggal 4 Mei 1998 bahwasanya dengan jelas terpampang enam tuntutan reformasi dari amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penghapusan dwifungsi ABRI, penegakkan supremasi hukum, pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya sampai kepada ciptakan pemerintahan yang bebas KKN.Â
Dengan semakin kuatnya gelombang aksi mahasiswa yang signifkan terlebih puncak agenda reformasi diakhiri oleh aksi Tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti.Â
Setelah itu tepat pada tanggal 21 Mei 1998, Â Presiden Soeharto secara resmi mundur dari jabatannya dan menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan secara resmi kepada Bacharuddin Jusuf Habibie.Â
Agenda reformasi tidak berhenti sampai disitu ketika Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie muncul Tragedi Semanggi  yang kembali menurunkan BJ Habibie pada tanggal 24 September 1999 yang meninggalkan kursi jabatan tanpa seorang wakil presiden. Sekelumit kisah tragedi 1998 nampaknya tidak akan terulang seperti era reformasi ini.Â
Akan tetapi, tanda ini menjadi sebuah alarm bagi pemerintah bahwa RUU bukan sebuah agenda yang terburu-buru dilaksanakan dengan tempo yang cepat. Butuh waktu bagi para legal drafter atau pembuat undang-undang dalam hal  ini DPR dan para ahli untuk menyusun bahkan merumuskan UU.Â
Disisi lain, RUU seperti produk yang genting menyikapi terjadinya konflik akhir-akhir ini bahkan hingga punya kesan melemahkan produk undang-undang itu sendiri.
Cara Kerja RUU
Penyusunan kerja UU tidak hanya menyoal syarat formil namun materiil. Dikatakan disini, seperti tidak hanya memenuhi unsur tindakan bagi si pembuat UU, tetapi akibat yang ditimbulkan bagi si pembuat UU terhadap subyek hukum di masyarakat. Subyek hukum yang dimaksud adalah orang atau badan hukum.
Dengan adanya pasal-pasal karet seperti adanya dewan pengawas di KPK, status kepegawaian KPK sebagai PNS, dsb akan memunculkan sikap spekulatif dari tujuan dari adanya revisi undang-undang. Hal ini akan meletupkan sumbu distori kepemimpinan era pemerintahan Jokowi.Â
Secara langsung, konteks RUU KPK dalam kasusnya memang inisiatif DPR, tetapi eksekutif harus menyetujui atau mengesahkan jika terjadinya revisi. Kompleksitas antara revisi UU dan pembuat UU menjadi sebuah pertanyaan besar sampai dimana garis besar bisa dilakukan perbaikan pasal per pasal. Mengingat, tidaklah mudah sebagai pembuat UU untuk mengubah dalam waktu tempo satu malam. Â