“Wow,anjirr.” Itu kata-kata yang mungkin saya terbenak dalam kepala saya ketika untuk pertama kalinya membaca dan melihat pengumuman resmi dari hammersonic mengenai siapa yang akan menjadi headliner mereka tahun itu. Saya pun langsung menghubungi teman-teman yang sudah lama tidak bersenda gurau bersama akibat kepentingan hidup masing-masing. “cs nonton hammersonic moal?” tanya saya lewat sosial messenger. Tidak banyak memang teman saya.
Saya hanya menguhubungi tiga orang saja yang memang saya rasa mereka yang paling dahulu pantas untuk saya ajak. Dan ketiganya, ada yang menolak langsung dengan alasan sudah tak ada hasrat dan juga masalah di ongkos, ada juga yang hanya sebatas punya keinginan kesana tapi tidak dibarengi semangat. Sempat saya membujuk. “ Lamb of God yeuh cs. iraha deui sok?” tapi hasilnya nihil. Sebenernanya saya juga mengirim Screenshot berita event tersebut kepada kakak saya. Yah tapi yang namanya sudah kerja kantoran pasti sangat sulit meluangkan waktu apalagi venue yang bertempat di Jakarta. Kalau di Bandung mungkin masih terkejar (mungkin). Atau juga dia sudah merasa tua hahaha.
Dan akhirnya saya pun bertekad datang kesana meski datang sendirian. Haha keputusan itu dengan pertimbangan harga tiket yang masih bisa terkejar dan waktu yang tidak terlalu dekat dengan kegiatan penting di kampus. Saya pun membeli tiket ketika tiket pre-sale mendekati akhir batas waktu pembelian. Takutnya kalau dari jauh hari, datang acara baru yang kemungkinan tidak bisa ditinggalkan.
Tiket pun didapat. Sekitar 250ribuan, saya lupa tepatnya. Dengan agak rapih saya menyimpannya. Barang yang dirasa berharga waktu itu. Kalau terjadi sesuatu (rusak atau hilang ataupun keduanya, hilanglah kesempatan nonton salah satu band favorit nih, udah gitu hilang pula duit bekal buat dua minggu di kosan hahaha.
Selanjutnya yang saya pikirkan adalah bagaimana caranya untuk datang kesana. Yang pertama terpikirkan pasti datang sendiri pakai jasa angkutan umum. Dan setelah itu belum hadir jawaban lain selain memakai jasa tersebut.
Waktu berlalu dengan biasanya. Ketika hari itu pun kian dekat, orang-orang di media sosial pun semakin ramai membicarakan acara tahunan salah satu festival musik kenamaan di Indonesia tersebut. Fenomena itu dibarengi juga dengan munculnya beberapa jasa travel yang disediakan untuk mengangkut para anak metal Bandung dan sekitarnya menuju venue dimana acara tersebut diselenggarakan. Saya pun memilih jasa travel yang bekerjasama dengan salah satu toko merchandise terkenal di Bandung, Riotic store yang berada di jalan Sumbawa. Di tempat itu pula saya dapatkan tiket. Saya lupa harganya, mungkin kalau tidak salah sekitar Rp. 150.000. termasuk bonus makanan ringan yang makannya dengan cara estafet dari orang yang duduk di depan lalu ke belakang sampai habis satu bungkus plastik besar dan ngaret sekitar satu atau dua jam saya lupa.
Pada hari H, saya pun berangkat menggunakan Bis yang sudah disiapkan dekat kampus Unisba. Waktu yang ditempuh dari Bandung ke Senayan kurang lebih tiga jam tanpa hujan dan hanya macet sedikit sebelum masuk dan keluar pintu tol, meskipun jadwal keberangkatan yang ngarét sampai satu jam yang membuat saya melewatkan penampilan dari Nectura.
Sesampainya di area venue, ini untuk pertama kalinya berada di area dekat stadion kebanggan Indonesia, Gelora Bung Karno yang memiliki magis tersendiri itu.
Waktu menunjukan pukul dua siang ketika saya tiba di lokasi. Area tersebut sudah penuh oleh para metalhead dari seluruh Indonesia. Bahkan tak jarang terlihat metalhead asal luar yang sepertinya dating untuk turut serta memeriahkan salah satu hajatan metal terbesar se-asean ini.
Tidak seperti venue-venue di bandung yang tidak perlu memerlukan waktu berlebih untuk berjalan dari area parkir menuju arena moshpit, di komplek GBK ini harus perlu beberapa menit untuk langsung berhadapan dengan Stage, meskipun sebernanya tidak terlalu jauh sih.
Tidak seperti yang lain, saya cukup langsung menuju tempat pengecekan tiket karena saya tidak membeli di Indomaret. Tengkiu Riotic, melenggang bebas deh tanpa perlu menukarkan tiket.
Yap saya pun sudah berada di Hammersonic 2016. Sehabis pengecekan selesai, saya langsung mendapati Booth-booth merchandise. Sempat muter-muter walaupun untuk sekelas Hammersonic booth yang ada bisa dihitung oleh jari. Saya kira bakal ramai sekali. Tapi mau banyak ataupun sedikit, tidak berpengaruh pada saya. Ya duit tinggal satu lembar biru.
Selanjutnya, saya lewati sebuah jeda yang tidak enak dipandang antara area booth dan tempat atau lapangan yang dijadikan arena menonton. Meskipun hujan, untungnya tidak sebecek ketika saya menonton bandung berisik 2012.
Untuk pertama kalinya saya melihat Revenge the Fate. Penampilan mereka bisa dibilang cukup menawan. Sayang saya hanya mendengar kalau tidak salah hanya tiga lagu saja. Selanjutnya tidak ada yang begitu cukup menarik perhatian saya. Waktu siang hari mungkin Beside dan Straightout yang rada nyetel sama telinga.
Tiba malam hari, waktu dimana para band luar yang cukup saya kenal namanya. Dari beberapa band yang tampil, dari Mayhem, Deathstar, hingga sang dedengkot asal Polandia yaitu Vader, sangat mempesona sekali di atas panggung. Terutama Mayhem yang membuat suasana agak lumayan bikin merinding.
Sebelum Lamb of God naik ke atas panggung, ada satu band yang cukup menguras tenaga dalam melakukan Pogo, unit metalcore asal negeri Paman Sam, siapa lagi kalau bukan Unearth. Tidak dinyana, ternyata mereka mengalirkan sebuah pergerkaan yang cepat, sistematis dan begitu panas. Meski klimaks terjadi bukan diakhir, yaitu tepat ketika tembang “My Will be Done” dikumandang. Menurut saya pada waktu lagu tersebut dimainkan, merupakan salah satu moment dimana Atmosphere yang diinginkan saya dapatkan ketika nonton konser metal. Dan sekali lagi menurut saya lagu tersebut lebih cocok menjadi penutup gelar Festival ini ketimbang Black Labelnya LOG. Dan satu yang unik dari Unearth ini adalah ketika saya perhatikan ternyata drummernya menggunakan teknik traditional dalam menggunakan stik drum nya. Jarang sekali terlihat.
Well, satu dari sekian banyak band metal yang patut anda tonton sebelum anda kerja. “Lamb of God from Richmond Motherfucker Virginia”. Itulah penggalan kalimat yang mungkin selalu diucapkan Randy Blythe ketika bandnya naik panggung. Seakan menjadi trademark sendiri bagi dia. Ketika untuk kedua kalinya mereka memanaskan panggung Indonesia, kalimat tersebut tak lupa diucapkan. Seperti set list biasanya, penampilan mereka dibuka dengan titel Desolation yang kemudian sudah pasti dilanjutkan oleh Ghost Walking.
Penampilan tak henti-hentinya membuat para metalhead ber-moshing ria selama pertunjukan berlangsung. Beberapa lagu andalan mereka dari album Sacrament dan Ashes of the Wake terus menghujani telinga metalhead tanah air. Meski di seperempat akhir penampilan mereka sedikit agak aus, tetapi malam itu diakhiri dengan tembang yang sudah pasti dapat kita tebak disetiap penampilan band yang sudah menelurkan tujuh album ini. Tembang Black label seakan menjadi peluru yang menyobek gendang telinga anak-anak berjiwa muda ini.
Bisa ditebak, ataupun kita sudah pasti tahu apa yang akan Lamb of god tampilkan, tapi tidak ada yang bisa menyangkal bahwa mereka menjadi salah satu band yang dapat membagi atmosphere yang panas dalam setiap konsernya. Meski crowd berusaha untuk menambah jam kerja mereka, tapi teriakan “we want more” ibarat menanak bubur menjadi nasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H