Pandemi virus covid 19 merubah wajah dunia akhir-akhir ini. Virus yang sebelumnya menyerang kota Wuhan di Republik Rakyat Tiongkok (RRT), kini menjadi ancaman bagi seluruh dunia. Menurut data dari John Hopkins University (29/3) sebagaimana dilansir Kompas.com, di Amerika Serikat terdapat 2.202  orang telah meninggal dunia dari 123.271 kasus. Di Itali terdapat 92.472 kasus,  10.023 meninggal. Cina menghadapi 81.394 kasus dan 3.295 meninggal.  Spanyol 73.235 kasus dan 5.982 orang meninggal. Sementara, Indonesia hingga 29 Maret 2020  terdapat  1.285 kasus dengan jumlah  meninggal 114 orang. Dan, seperti diketahui sekitar 200 negara telah terjangkit.
Selain perkembangan kasus dan korban, covid-19 juga menghadirkan suasana lain dalam politik global. Hubungan Amerika Serikat dan RRT mencair menghadapi  covid-19 sebagai musuh bersama. Iran membuka diri untuk bekerja sama dengan negara lain dalam memerangi virus tersebut. Demikian juga Isarel dan Palestina. Dan masih banyak lagi bentuk kerjasama antar berbagai negara untuk menghancurkan pandemi ini.
Perasaan pesimis terhadap berhentinya covid-19 dalam jangka waktu pendek menguat. Disisi lain ada rasa optimis bahwa sinergitas antar negara dan ilmu pengetahuan akan membantu manusia mengakhiri virus ini dengan segera. Masa inkubasi virus yang menyebabkan perilaku social distancing selama 14 hari, diperpanjang menjadi 21 hari. Belum adanya uji klinis terhadap vaksin serta obat covid-19, menyebabkan banyak orang mulai kuatir dengan masa akhir peperangan terhadap pandemi ini.
Di sudut lain, Michael Levitt, seorang penerima Nobel dalam bidang kimia di tahun 2013, memperkirakan covid-19 akan berakhir, sebagai akibat dari perilaku isolasi dan pysical distancing yang berlakukan diseluruh dunia. Â Selain itu, kota Wuhan juga telah pulih dari virus ini, dan turut membantu dunia dengan cerita sukses mereka. Rasa pesimis dan optimis manusia terus berdialektika dalam perang melawan covid 19.
Pesimisme yang dimaksud disini bukanlah sebuah sikap keberserahan diri pada kondisi. Namun sebuah sikap yang berupaya untuk membuat setiap orang tetap terjaga dalam realitas. Model pesimisme seperti ini dikembangkan oleh Schopenhauer dan Nietzsche. Menurut Schopenhauer, sebagaimana dalam karyanya on the doctrine of the indestructibiity of our true nature, yang membuat manusia hidup terus menerus adalah kondisi kausalitas dalam ruang waktu, yang memaksanya terus memanifestasikan diri.
Manusia akan terus berupaya berdialektika dengan objek material yang terus melahirkan penderitaan. Untuk itu menurut Schopenhauer hanya orang cerobohlah yang mati bunuh diri, akibat dari ditundukkan oleh kehendak dan bukan sebaliknya (berupaya menundukkan kehendak). Selanjutnya Nietzsche juga membuat manusia menjadi "makluk super" yang dapat hidup abadi  dan sepenuhnya berkuasa. Menurut Niestzche sikap egois sangat penting bagi manusia. Karena sikap egois akan membantu manusia terus mentransformasi diri. Dengan demikian pesimisme akan membawa manusia pada kekuasaan dan keberkuasaan atas realitas.
Sejak akhir Februari 2020 hingga saat ini, berbagai media sosial di Indonesia menunjukan wajah manusia Indonesia yang berbeda. Wajah itu adalah wajah manusia yang digambarkan oleh Schopenhauer dan Niestzche sebagai wajah yang berupaya menangkap fenomena dan berkuasa atas realitas. Wajah orang-orang yang memandang bahwa kebijakan pemerintah tentang social distancing, merupakan sebuah keberkuasaan manusia atas virus Covid-19. Untuk itu semua orang harus egois dan tetap tinggal dirumah. Perilaku inilah yang membantu manusia memenangi perang melawan pandemi covid-19.
Berbagai bentuk strategi untuk menunjukan keberkuasaan manusia mulai ditampilkan. Bangunan gereja mulai sepi dan diganti dengan online church. Masjid-masjid juga melarang sholat berjamaah, dan memberlakukan sholat dirumah. Kampus-kampus mulai kosong, dan diramaikan dengan kuliah online. Bahkan Ujian Nasional (UN) yang selalu menjadi polemik di Indonesia, ditiadakan oleh Menteri Pendidikan dan kebudayaan lewat Surat Edaran Nomor 4 tahun 2020. Hingga di beberapa wilayah dan kota melakukan lockdown.
Kebiasaan masyarakat Indonesia dalam menjalankan ritualitas keagamaannya, berubah secara drastis. Pemuka agama, pemerintah dan masyarakat bersepakat dalam waktu singkat untuk bersikap egois atas nama kemanusiaan. Covid-19 sebagai penyebab telah membentuk perilaku dialektis dalam menjalankan ritual keagamaan.
Beberapa suara minoritas berupaya untuk tetap menjalankan ritual di gedung-gedung peribadatan, namun hal tersebut tidak menghentikan perang manusia terhadap virus. Jendela-jendela media sosial mempertontonkan ketakutan sekaligus sikap egois manusia. Inilah wajah pesimis dan sekaligus optimisme masyarakat Indonesia.
Masyarakat Indonesia dari berbagai kelas, dan dalam berbagai kelompok masyarakat, berupaya untuk melindungi diri dan mengakhiri kekuasaan virus berbahaya ini. Berbagai strategi revolusioner dikerahkan untuk memerangi pandemi ini.