Mohon tunggu...
Ricky Arnold Nggili
Ricky Arnold Nggili Mohon Tunggu... Administrasi - Writer, Trainer & Researcher

Menjadi pemimpin dimulai dari dalam diri dan memberikan pengaruh pada lingkungan sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia dalam Kungkungan Identitas Kelompok

16 Januari 2017   18:03 Diperbarui: 16 Januari 2017   18:18 1017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang akhir tahun 2016 banyak persoalan menimpa identitas Nasional Indonesia, yang terkenal akan kemajemukannya. Politik identitas yang awalnya terjadi saat menentukan dasar bernegara pasca Indonesia merdeka dari penjajahan di tahun 1945, merebak kembali ditahun 2016 dengan bentuk yang lebih mengganggu kehidupan bernegara. Politik identitas ini menghantar kita masuk ke tahun 2017 dengan berbagai persoalan bernegara, yang jika dibiarkan akan memecah belah serta menghancurkan perilaku berbangsa dan bernegara. Untuk itu perjuangan identintas sebagai hak sebagai warga negara, haruslah ditempatkan dalam bingkai Indonesia sebagai Negara kesatuan dan didalamnya ada kebhinekaan yang harus selalu dihargai dan dibanggakan sebagai identitas Nasional.

Berbagai bentuk tuntutan hak bernegara yang berkaitan dengan perlindungan terhadap identitas kelompok menjadi ruang terciptanya politik identitas bernegara. Kasus penistaan agama yang sedang bergulir dengan tersangka Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, bermula dari tuntutan sekelompok massa agar negara turut hadir melindungi Alquran sebagai kitab suci agama Islam. 

Hal tersebut membebankan kewajiban kepada Negara, agar menyelesaikan kasus ini sesegara mungkin, sehingga tidak mengancam kehidupan bernegara. Menjelang memasuki tahun 2017, organisasi massa yang lain dari kelompok agama tertentu, juga melaporkan Habib Rizieq Shihab ke Polda Metro Jaya, dengan dugaan melakukan penistaan agama Kristen dalam ceramah keagamaannya. 

Kedua kasus ini merupakan bentuk dari politik identitas, yang merupakan konstruksi dalam menentukan posisi kepentingan subyek di dalam suatu ikatan komunitas politik bernegara.  Hal ini disebabkan karena identitas sosial merupakan sumber daya dan sarana politik yang lebih efektif untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam pendekatan sosiologi, politik identitas biasanya dikategorikan menjadi dua kategori utama, yakni identitas sosial (ras, etnis, gender, dan seksualitas) dan identitas politik (Nasionalisme dan kewarganegaraan). Kedua kategori identitas ini sering terjadi tarik menarik kepentingan dalam mewarnai kehidupan bermasyarakat.

Indoenesia hadir dalam identitas sosial dan identitas Nasional. Dalam makna identitas sosial, bangsa ini memiliki sumber daya yang sangat besar dengan 1128 suku bangsa, 6 agama besar (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu), kurang lebih 21 aliran kepercayaan atau agama asli Nusantara dan 18.306 pulau dengan keberagaman karakteristik budaya masyarakatnya. Keberagaman identitas sosial tersebut, menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang sangat rentan terhadap kompleksitas masalah politik Identitas. 

Dan untuk menjawab kesatuan tujuan dalam keberagaman sosial tersebut, maka dibentuklah identitas Nasional sebagai identitas pemersatu. Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 merupakan identitas Nasional yang menyatukan kekayaan sosial bangsa ini. Pancasila menurut presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, merupakan nilai-nilai yang bernafaskan jiwa yang telah turun temurun ada dalam budaya bangsa Indonesia. Nilai-nilai ini tidak meniadakan keberagaman identitas sosial, namun menyatukannya menjadi satu ketahanan yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD 1945 merupakan aturan main dalam kehidupan bernegara, yang didalamnya termaktub perlindungan terhadap identitas sosial sebagai sumber daya negara.

Akan tetapi dalam kehidupan bermasyarakat, sering kali kedua identitas tersebut saling tarik menarik dan bahkan dibenturkan. Di era internet dan media sosial saat ini, kedua identitas sering didiskusikan dengan liar dan tanpa batas. Dua kasus penistaan agama yang telah disebutkan diatas, juga diawali dari temuan di dunia maya. Dengan kemajuan teknologi internet di Indonesia, menghantar setiap orang ikut terlibat dalam politik identitas tanpa batasan profesi, pendidika, umur dan jenis kelamin. 

Seorang anak kecil dapat berdebat dengan seorang professor dalam sebuah diskusi tanpa arah di dunia maya, dengan dua pendekatan karakter yang berbeda. Individu dengan pengetahuan yang belum matang, dapat berdebat dengan seorang pemuka agama, tanpa merasa beban dan hanya meninggalkan konflik tertentu. Semua orang dapat bersembunyi dalam wajah globalisasi untuk membicarakan identitas sosial dalam kehidupan benegara, yang mana rentan untuk dibenturkan dan dijadikan alat pemicu konflik.  Media sosial yang sulit untuk dikontrol dan dikendalikan menjadi alat ampuh dalam mendialektikakan sumber daya sosial yang rentan untuk dibenturkan.

Lalu pada identitas manakah kita berlindung? Identitas sosial atau identitas Nasional. Sebenarnya dalam aturan tata negara di Indonesia sangat mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dengan adanya identitas Nasional, maka tercipta jaminan perlindungan terhadap identitas sosial. Negara didalam Pancasila dan UUD 1945 menjamin kebebasan untuk berperilaku dan berbudaya dalam bentuk keberagaman. Dan untuk menjamin agar tidak terjadi adanya benturan, maka nilai-nilai dalam Pancasila mengikat dengan nilai persatuan, toleransi, gotong royong dan kehidupan bermusyawarah. Dengan adanya ikatan Nasional seperti ini, maka hak setiap warga negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia terlindungi secara de facto dan de jure.

Dialektika identitas sebagai jalan restorasi NKRI

Setelah merasakan kemerdekaannya yang ke-71 tahun, Indonesia terus dihadapkan dengan pertanyaan mengenai identitas Nasional. Dalam kehidupan bernegara, setiap warga negara dijamin oleh hukum formal untuk melindungi kehidupan komunal dan individualnya. Namun dalam kehidupan berbangsa, seringkali timbul kecemburuan, rasa saling curiga dan sifat untuk dominan. Tiap-tiap komunal merasa bahwa ada terjadi banyak ketimpangan dalam kehidupan bermasyarakat. 

Kesenjangan antara miskin dan kaya, kaum awam dan kaum cendekiawan, terpelajar dan tidak terpelajarn, menghantar pada keberpihakan kekelompok-kelompok tertentu. Banyak orang bersembunyi dibalik kelompok agama, profesi, dan komunitas tertentu. Hal ini membuat kehidupan dalam masyarakat yang majemuk akan lebih sulit untuk dijalani. 

Pada situasi ini, banyak orang mulai untuk mempertanyakan kembali identitas yang lebih tepat dalam kehidupan bersama. Dalam berbagai ruang-ruang diskusi, Identitas Nasional dipertanyakan kemampuannya untuk menjaga identitas sosial. Bahkan peristiwa disintegrasi dan makar menjadi hal yang mudah ditemui seiring semakin bertambahnya umur bangsa ini.

Apakah hal tersebut hal yang lumrah dalam semakin dewasanya sebuah negara? Apabila kita menjawabnya menggunakan pendekatan psikologi manusia. Maka pada umur 71 tahun, sudah seharusnya negara ini menjadi negara yang matang dan lebih bijaksana. Diharapkan seluruh warga negaranya telah mampu untuk menerima perbedaan dan hidup secara harmonis. Namun dalam usia sebuah negara, kematangan dan kebijaksanaan tidaklah dapat diukur sesuai dengan perkembangan psikologis manusia. 

Amerika Serikat sebagai negara besar dan terkenal budaya demokrasinya, baru berhasil memahami dan memilih presiden secara demokratis tanpa melihat warna kulit pada usia 200-an tahun. Apabila dikaitkan dengan perkembangan psikologi manusia, maka kondisi Indonesia saat ini masuk dalam tahap identitas berlawanan dengan kekacauan identitas, dalam perkembangan psikososial tentang kepribadian manusia oleh Erik Erikson. 

Tahap ini dikenal dengan masa publer.Pada tahap ini individu manusia berupaya membentuk identitas egodan mempertahankannya dari berbagai ancaman. Hal ini terjadi karena adanya kepekaan terhadap perubahan sosial. Pada tahap ini akan terjadi penderitaan yang berat, karena adanya perbenturan antara identitas yang diyakini dan realitas saat ini. Krisis identitas terjadi dan dapat berujung pada terciptanya sebuah identitas baru, yang hadir dari dialektika antara identitas lama dan realitas kebutuhan akan identitas baru saat ini. Menurut Erikson, hal ini akan membawa individu pada kemandirian ego dan memahami realitas diri yang harus dijalaninya.

Dengan demikian secara manusiawi, benturan identitas pasti akan dilalui oleh individu dalam kehidupan sosial, dan bahkan dalam kehidupan bernegara saat ini. Indonesia setelah masuk dalam masa reformasi, mengalami masa puber. Masa dimana terjadi berbagai benturan identitas, yang mana hadir seiring dengan berkembangnya teknologi  globalisasi. 

Keterbukaan dan liberalisasi membuat setiap orang bebas untuk membentuk identitasnya sendiri dan bersatu dalam sebuah komunitas untuk menjaga identitasnya. Identitas Nasional diuji dan mengalami masa krisis yang teramat berat. Sakan-akan Pancasila dan UUD 1945 menjadi sebuah karya historis yang sudah tidak cocok lagi dengan liberalisasi saat ini. Semua orang ingin kembali ke identitas sosial dan mengesampingkan identitas Nasional. Kelompok dan kotak-kotak perbedaan lebih jelas kelihatan, ketimpang persatuan dan rasa persaudaraan.

Pada masa inilah restorasi dibutuhkan untuk membantu mengarahkan individu serta sumber daya sosial bangsa ini agar kembali mengenal entitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada masa puber, kita berupaya untuk mengenalkan diri dan membentuk diri untuk diperkenalkan kepada dunia. Dan pada masa inilah gerakan untuk kembali pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 harus dilakukan. Masyarakat akan mengalami krisis identitas, yang akan mengarahkan mereka pada penemuan identitas asali yakni sebagai bangsa dan Negara Indonesia. 

Untuk itu dialektika dalam berbagai bentuk saat ini, merupakan waktu yang tepat untuk melakukan restorasi. Nilai-nilai kebangsaan dan kenegaraan harus menjadi kunci utama untuk masuk dalam era globalisasi dan menghadapi liberalisasi. Dengan kotak-kotak perbedaan, Indonesia akan menjadi negara yang lemah. Akan tetapi lewat persatuan dan integrasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan masyarakat, Indonesia akan menjadi Negara yang besar dan berdikari di dunia internasional.

Ricky Arnold Nggili

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun