Mohon tunggu...
Ricky Alif
Ricky Alif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurnalistik

Mahasiswa Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gengsi Ubah Esensi Thrifting

21 Desember 2022   19:30 Diperbarui: 21 Desember 2022   19:32 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: merdeka.com

JAKARTA - Berburu pakaian bekas layak pakai atau disebut dengan thrifting sedang ramai diminati anak muda Indonesia belakangan ini. Kegiatan ini awalnya bertujuan sebagai alternatif kebutuhan fashion guna menghemat pengeluaran dan mendukung gerakan sustainable fashion dalam rangka membantu ekologi dengan mengurangi limbah tekstil.

Dilansir dari Kompas.com, Fashion Designer brand Rengganis dan Indische sekaligus Vice Executive Chairman Indonesian Fashion Chamber (IFC), Riri Rengganis mengatakan, ada tiga faktor pemicu orang-orang menyukai thrifting. 

Pertama, thrifing menantang kreativitas dalam styling karena ada unsur surprise dalam berbelanja thrift. Pemicu kedua yakni karena barang-barang thrift lebih murah. Ketiga, adanya kesadaran akan sustainability (keberlanjutan), karena masyarakat mulai memahami bahwa baju bekas merupakan sumber limbah dunia yang sangat besar.

Namun, seiring berjalannya waktu esensi utama dari thrifting mulai berubah. Hal ini juga dirasakan oleh salah satu penjual pakaian bekas di Pasar Senen, Mega. Ia merasakan perubahan esensi ini dapat dilihat dari sisi pembeli yang mana sekarang hanya mencari pakaian dengan merek-merek ternama saja.

"Karena hal ini, toko yang penjualnya orang tua yang awalnya nggak tahu merek-merek ternama akhirnya jadi tahu. Kayak waktu itu gua masih dapet Giordano ori cuma Rp30.000-Rp50.000. Tapi sekarang udah tahu nih Giordano tuh mahal, ya tetep dijual mahal aja padahal mah nggak tahu itu ori atau nggak," ujarnya saat diwawancarai di Pasar Senen, pada Sabtu (17/12).

Senada dengan mega, salah satu penikmat thrifting, Rizal Feriansyah mengungkapkan, esensi thrifting di zaman sekarang hanya sebatas menjadi pemuas gengsi para penikmatnya saja. Karena menurutnya esensi tersebut tidak sesuai dengan esensi awal dari thrifting.

"Karena sekarang yang gua lihat orang thrifting tuh kebanyakan lihat dari brandnya gitu nggak kayak dulu kan thrifting tuh cari yang masih bagus atau layak kan, sekarang lebih cari brand yang bagus, brand yang ternama gitu," ucapnya saat diwawancarai di Pasar Senen, pada Sabtu (17/12).

Rizal juga menjelaskan adanya media sosial sangat berpengaruh pada perubahan esensi thrifting ini. Karena banyaknya konten-konten mengenai thrifting dengan memfokuskan pada merek-merek ternama dan harga yang terbilang murah.

"Akhirnya sekarang banyak bermunculan toko-toko thrift online yang hanya ngejual barang-barang dengan brand-brand ternama doang dan dibandrol dengan harga yang cukup mahal kisaran Rp100.000-500.000," ucapnya.

Hal ini juga disepakati oleh pemilik toko thrift Mtstudioz, Rahmat Hidayat menjelaskan selain konten media sosial, obrolan dari mulut ke mulut juga memengaruhi perubahan esensi thrifting yang membuat masyarakat menjadi Fear of Missing Out (Fomo).

"Harganya pun berubah, mungkin kalau dulu 20 ribu kita sudah dapat hoodie bagus. Kalau sekarang kita Belanja ke pasar bawa duit 20 ribu tuh kita kayak belum dapat apa-apa. Ya mungkin itu tadi penyebabnya ya," ujarnya saat diwawancarai di toko miliknya, pada Sabtu (17/12).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun