Mohon tunggu...
Ricky Valentino
Ricky Valentino Mohon Tunggu... profesional -

* ALUMNI UNIVERSITAS HASANUDDIN * MAHASISWA PASCA SARJANA ILMU KOMUNIKASI POLITIK UNIV MERCU BUANA * DIREKTUR EXECUTIVE PIKIR KALTARA

Selanjutnya

Tutup

Money

Langkah Strategis Masyarakat Perbatasan dalam Menghadapi MEA

21 April 2016   20:14 Diperbarui: 21 April 2016   20:28 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Membincang Indonesia untuk MEA atau MEA untuk Indonesia memang selalu mengasyikkan sekaligus mengkhawatirkan sehingga pada titik tertentu mengerucut pada persoalan pilihan sikap: menolak atau menerima (menerima dengan terpaksa), meski pada akhirnya kita menyadari bahwa hal ini merupakan upaya untuk menemukan titik temu di antara serpihan-serpihan kegelisahan tentangnya. Bagaimana tidak?

Di satu fase, MEA dinilai memiliki relevansi praktek-praktek ekonomi dalam kontek spesifik Indonesia dewasa ini bahkan diramalkan membawa berkah luar biasa bagi stabilitas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Keyakinan ini mengakar pada tradisi ekonomi pasar bebas yang secara tidak total dipakai oleh aktor negara dan mayoritas pelaku bisnis. Keyakinan ini pula yang selalu menggaung dominan dan tak jarang menjadi fatwa di ruang-ruang sosialisasi, diskusi, seminar dan sejenisnya.

Pemerintah optimis Indonesia akan sangat diuntungkan. Misalnya seperti disampaikan Presiden Jokowi. Pertama, beberapa produk Indonesia sudah dikenal dan sudah memiliki pasarnya sendiri di luar negeri. Kedua, kualitas sumber daya manusia semakin ditingkatkan. Dalam hal ini, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian telah mencoba mendorong adanya peningkatan kualitas SDM dengan pelatihan melalui Balai Riset dan Standarisasi Industri. Ketiga, sektor usaha kecil dan menengah serta industri-industri besar seperti di sektor otomotif diyakini akan mampu bersaing dengan baik. Apalagi, Thailand yang menjadi pesaing utama Indonesia di sektor otomotif tengah mengalami kelesuan. Keempat, standar gaji di Indonesia yang lebih kecil dibandingkan dengan di luar negeri kelak dapat menjadi alasan kurangnya pekerja dari luar negeri datang ke Indonesia (www.bintang.com, 3 Januari 2016). Bahkan melalui LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan), pemerintah tengah berjuang meningkatkan standar dan kualitas SDM.

Pada fase yang lain, diskursus tentang MEA sampai pada sebuah kesimpulan bahwa MEA tak lain merupakan wadah terbaik penyingkiran praktek-praktek politik pencerahan, alih-alih memiliki relevansi terhadapnya. Praktek-praktek politik pencerahan yang dimaksud di sini yaitu perluasan komunikasi yang bebas dari segala bentuk dominasi (Habermas dalam Nugroho, 1997: 94). Dalam hal ini, tidak ada jaminan formal maupun substansial atas demokrasi dalam derap laju pembangunan yang hanya bertumpu pada kaidah efisiensi, efektivitas dan nilai tambah (rasionalitas instrumental).

Kemajuan manusia tidak hanya diukur dari sisi ekonomi, bukan? Tri Achya Ngasuko (pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI) mencatat, survei yang dilakukan Legatum Institute dalam The Legatum Prosperity Index 2015 secara tegas mengungkap bahwa agar suatu negara tumbuh dengan baik harus memberikan kesempatan dan kebebasan kepada warganya. Suatu negara bisa tumbuh menjadi negara yang lebih maju ketika akses warganya terhadap kualitas kesehatan dan pendidikan memadai. Survei ini membuktikan bahwa pemerintahan yang efektif dan transparan akan mampu memberdayakan warga negaranya untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya. (www.kemenkeu.go.id, 8 December 2015).

Sedangkan perluasan komunikasi atau ketegangan yang terus-menerus antara opini elit (negara) dengan opini masyarakat hanya mungkin terjadi ketika masyarakat dan Negara berada dalam posisi setara. Faktanya, informasi balik (persoalan-persoalan yang dihadapi) masyarakat tidak selalu diperhitungkan kembali atau menjadi landasan normatif atas keputusan teknis yang akan diambil (Nugroho, 1997: 94). Masyarakat, dalam sistem dan konfigurasi sosial dewasa ini selalu dijadikan objek dalam proses pengambilan keputusan karena dianggap tidak mampu mendefiniskan dan menentukan masa yang lebih baik untuk dirinya sendiri. Perihal MEA, apa yang harus dipertimbangkan dari masyarakat mayor?

Surat Kabar Harian Kompas pada 25 November 2015 – sebagaimana dicatat Tri Achya Ngasuko – melansir laporan dari Institute of Management Development (IMD). Lembaga pendidikan bisnis terkemuka di Swiss ini dalam IMD World Talent Report 2015 (sebuah penelitian berbasis survei yang menghasilkan peringkat tenaga berbakat dan terampil di dunia tahun 2015) melaporkan bahwa dari 61 negara di dunia yang di survei, Indonesia mengalami penurunan drastis. Tahun 2014, Indonesia berada di peringkat 25. Kemudian melorot ke peringkat 41 pada tahun 2015, jauh di bawah Singapura, Malaysia, bahkan Thailand. Pemeringkatan ini dihitung dengan bobot tertentu dengan mempertimbangkan tiga factor: pengembangan dan investasi, faktor daya tarik suatu negara, dan faktor kesiapan sumber daya manusia.

Dari faktor kesiapan sumber daya manusia, Indonesia terjerembab ke peringkat 42 pada tahun 2015. Bandingkan dengan tahun 2014 dimana Indonesia masih menduduki peringkat ke-19. Untuk faktor ini, Indonesia hanya unggul dalam pertumbuhan angkatan kerja dimana Indonesia menduduki peringkat ke-5. Sedangkat indikator lainnya (pengalaman internasional, kompetensi senior manajer, sistem pendidikan, pendidikan manajerial, dan keterampilan bahasa),  Indonesia berada pada peringkat di atas 30. Bahkan untuk keterampilan keuangan, berada pada peringkat ke-44 (www.kemenkeu.go.id, 8 December 2015). Mengkhawatirkan bukan?

Belum lagi persoalan-persoalan lain dimana pada titik tertentu menggiring kita pada titik kulminasi pesimisme. Di antaranya, dalam hal produk, terjadi homogenitas komoditas yang diperjualbelikan, terutama komoditas pertanian. Dari sisi pendidikan dan produktivitas Indonesia masih kalah bersaing dengan tenaga kerja yang berasal dari Malaysia, Singapura, dan Thailand serta fondasi industri yang bagi Indonesia sendiri membuat Indonesia berada pada peringkat keempat di ASEAN (Republika Online, 2013). Regulasi investasi yang belum kuat dan mengikat sehingga potensial mengakibatkan over-eksploitasi perusahaan asing atas SDA yang melimpah di Indonesia. Masih rendahnya kinerja logistik, tarif  pajak, suku bunga bank, dan sebagainya. Belum lagi soal proteksi dimana banyak pihak menilai Indonesia sudah sangat terlambat.

Bagaimana dengan masyarakat perbatasan? Sejak MEA diberlakukan, kawasan perbatasan Indonesia kini menghadapi tantangan (masalah) berat baru mengingat letak geografisnya yang strategis sebagai halaman terdepan. Bagaimana tidak? Sudah bukan konsumsi elitis lagi bahwa kawasan perbatasan Indonesia merupakan kamar tergelap dalam riuh-gemerlap pembangunan kesekian dekade terakhir. Tidak hanya dari sisi infrastruktur fisik seperti jalan darat, jalur dan sarana transportasi laut dan darat, fasilitas informasi-komunikasi, pendidikan dan kesehatan. Tetapi juga dari sisi infrastruktur non-fisik, sebut saja perangkat hukum dan kualitas SDM. Belum lagi masalah-masalah sosial kronis seperti kemiskinan, pengangguran, ancaman keamanan dsb. Dengan kondisi seperti ini, menuntut daya saing masyarakat perbatasan dalam menghadapi MEA menjadi sesuatu yang aneh, bukan?   

Benar bahwa dari sisi ketenagakerjaan, transfer tenaga kerja baru menyentuh 8 profesi (akuntan, arsitek, tenaga riset, pariwisata, surveyor, perawat, dokter dan dokter gigi di 12 sektor) dimana gelombang persebarannya belum begitu berpengaruh signifikan dalam konfigurasi ketenagakerjaan di Indonesia, apalagi di kawasan perbatasan, termasuk di perbatasan Sabah dan Serawak (Malaysia) dengan Nunukan dan Malinau (Indonesia). Tetapi mau-tidak-mau, siap-tidak-siap, kawasan strategis ini pada akhirnya akan disapu gelombang transfer tenaga kerja terutama dari Malaysia, menyusul gelombang serbuan produk, jasa, investasi dan faktor-faktor produksi.

Kendati demikian, kini persoalannya bukan lagi “menerima atau menolak”, bukan “siap-tidak-siap” tetapi lebih kepada bagaimana mengejar ketertinggalan-jauh dalam banyak hal di kawasan perbatasan. Persoalannya kini adalah bagaimana mentransformasi masalah dan hambatan menjadi peluang dan kesempatan, bagaimana mengubah kelemahan dan kekurangan menjadi kekuatan dan kelebihan, dan bagaimana mengubah keluhan dan pesimisme menjadi harapan dan optimisme.

Di satu sisi, kita perlu melakukan lompatan-lompatan perbaikan yang tepat di beberapa segmen (profesi dan sektor) yang sudah digempur MEA. Secara teknis, seperti dicatat Humas BNPP RI, perlu peningkatan kualitas SDM, pengembangan sektor-sektor prioritas dan komoditi unggulan, perbaikan infrastruktur fisik, peningkatan peran institusi pemerintah maupun swasta, menciptakan iklim usaha yang kondusif, serta penyediaan kelembagaan dan kemudahan akses terhadap permodalan (www.zonalima.com, 12 November 2015).

Di sisi lain, kita masih perlu berpacu membenahi banyak hal mendasar, terutama di sektor-sektor strategis yang belum dirambahi oleh skema pasar tunggal dan kesatuan basis produksi. Dengan demikian, diperlukan sebuah formulasi konseptual yang terpadu dan terintegrasi yang didukung dengan komitmen kolektif, baik secara kelembagaan maupun individual, dalam implementasinya.

Langkah strategis yang dibutuhkan lebih dari sekedar penyesuaian-persiapan-perbaikan, tetapi juga kepaduan dan terintegrasi. Regulasi pembangunan sudah harus terpadu dan terintegrasi dengan sederet regulasi pembangunan yang saat ini sedang jor-joran di bawah pemerintahan Jokowi-JK. Eksekusi teknis atas program-program pembangunan di kawasan perbatasan tidak lagi hanya melibatkan aktor negara dan pelaku bisnis, tetapi juga masyarakat perbatasan dalam arti yang sesungguhnya yakni tidak menempatkan masyarakat perbatasan sebagai objek pembangunan.

Negara tidak hanya perlu tetapi urgen untuk me-Rangkul aktor-aktor civil society seperti LSM, Ormas, dan Organisasi Kepemudaan dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan master plan proyek pencerahan. Lebih dari itu, perlu ditekankan bahwa derap laju pembangunan tidak lagi hanya harus berorientasi laba dan sosial tetapi juga planet sehingga pendekatan holistik-ekologis yang dewasa ini menggema tidak hanya formalitas belaka.      

Tak kalah pentingnya, sebagai bangsa yang memiliki sejarah panjang di pentas dunia dalam makna substansial, mari kita yakinkan kepada dunia, terkhusus kepada Negara tetangga bahwa masyarakat perbatasan Kalimantan Utara tidak hanya memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah-ruah, kekayaan seni-budaya yang beragam-berkarakter, kekayaan potensi destinasi wisata yang eksotis-unik. Tetapi juga memiliki kekayaan sumber daya manusia yang  memadai, tidak hanya dalam kuantitas tetapi juga dalam kualitas. Mari berpacu dalam komitmen kolektif mengejar ketertinggalan dan menjadi pemain utama dalam MEA!

                                                                                        ***

                                                                                                                                    21 april 2016

 

Penulis :

 

dr. H. Khairul, M.Kes

(Koordinator Dewan Pengawas dan Pembina Pusat Kajian Masyarakat Perbatasan Kalimantan Utara)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun