Kerancuan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Kritik terhadap Peraturan Bersama Menteri yang diterbitkan secara bersama-sama oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama merupakan suatu hal yang harus dicermati bersama. Sesuai dengan hirearki perundang-undangan seperti yang dinyatakan dalam UU No. 10 tahun 2004 pasal 7 bahwa : kekuatan hukum suatu perudang-undangan adalah sesuai dengan hirearki seperti yang telah disebutkan diatas. Dan pada penjelasan Pasal 7 tersebut dikatakan bahwa berdasarkan hirearki, suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Pada pasal 29 UUD 1945 sudah sangat tegas disebutkan bahwa : "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannnya itu."
Sehingga UUD 1945 sebagai Verfassungnorm (Norma-norma Hukum Dasar) yang telah mengamanatkan kebebasan beribadah ini harus diikuti ke seluruh peraturan perundangan yang berada dibawahnya termasuk Peraturan Menteri yang berada beberapa tingakatan dibawanya. Jika boleh mengacu pada asas hukum, bahwa hukum yang lebih tinggi itu akan mengesampingkan peraturan yang lebih rendah.
Dalam sambutan Menteri Agama pada sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9/No.8 tahun 2006 dikatakan bahwa : "Beribadat dan membangun rumah ibadat adalah dua hal yang berbeda. Beribadat adalah ekspresi keagamaan seseorang kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan membangun rumah ibadat adalah tindakan yang berhubungan dengan warga negara lainnya karena kepemilikan, kedekatan lokasi, dan sebagainya."
Inti dari pernyataan tersebut yang bisa saya tangkap adalah : jika rumah ibadat belum diberi ijin untuk berdiri, seharusnya tidak menghalangi kebebasan untuk beribadah bagi pemeluknya, karena kebebasan untuk beribadah ini sudah dijamin dalam konstitusi yang kedudukannya paling tinggi dalam hirearki peraturan perundangan di Indonesia.
Harus ada Solusi
Saya kira tidak perlu diulang-ulang bahwa negara ini didirikan diatas suatu pluralisme. Semua elemen bangsa tentu sangat mengetahui dan memahami bahwa perbedaan di Indonesia adalah suatu keniscayaan. Perbedaan itu tidak hanya untuk ditoleransi, tetapi harus diterima sebagai suatu kekayaan dari Kebhinekaan Indonesia. Isu yang terjadi akhir-akhir ini tentu sangat sensitif apalagi terjadi di dekat Ibukota negara, pusat pemerintahan Nasional sehingga sangat perlu diperhatikan dan ditindak tegas pelaku anarkisme. Jika tidak, mohon agar pasal 29 (2) UUD 1945 dihapuskan saja, karena memang tidak ada jaminan dari Negara bagi kebebasan beragama di Indonesia.
Semoga ada solusi yang baik untuk hal ini dan negara Indonesia bisa keluar dari permasalahan yang menumpuk sehingga pada akhirnya bangsa ini bisa menjadi bangsa yang maju dan menjadi panutan bangsa-bangsa lain di dunia.
Jika hal ini tercapai, maka saya percaya, Indonesia akan menjadi laboratorium pluralisme dan keagungan toleransi umat beragama di dunia.
Warmest Regards