Mohon tunggu...
Ricky Pratama
Ricky Pratama Mohon Tunggu... -

Kue dan Cookies.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Close - Bullying and Bullshit (Scene 1)

13 November 2011   09:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:43 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama Buku : Close
Season : Pertama

arranged by Ricky Pratama

----------------------------------------

Bullying and Bullshit?
Mencemoh dan Omong Kosong?

--------------------------------------------------

Suara gemerisik memenuhi ruangan... siapa disana? Semuanya seakan terhenti dengan pikirannya masing-masing, Teri – Reno – Mirna, nama itu seakan...
“kok bisa ya si Reno backstreet ma Teri, padahalkan Teri temennya Mirna, Teri kok mau ya... temen macam apa tu?” ujaran itu seakan menjadi hal yang paling biasa, terdengar ringan seakan terasa seperti...
“Iya jahat banget tu si Teri” seru Aurel, matanya tegas seakan menguatkan keputusannya, penjelasan ketidaksukaan, “jahat ya!” kata itu seakan terdengar berulangan entah apa yang sedang dikejar... kata itu seakan terdengar ramai, walaupun terasa hanya lewat begitu saja... Teri – Reno – Mirna, nama itu kembali bergulir... tak pernah berhenti, seakan waktu memihak untuk menekan mereka bersamaan... tapi kenapa dengan orang-orang ini... kenapa mereka membicarakannya... siapa mereka? Kenalkah?

Business Class, pelajaran itu seakan tidak mampu menghapus perhatian mereka akan hubungan Teri dan Reno, guliran kertas berhiaskan ketidaksukaan berpindah dari tangan ke tangan dari pikiran ke pikiran dari hati ke hati, Teri – Reno, seakan menjadi sebuah ikon kejahatan remaja yang tidak punya hati... hitam itu tertulis jelas, gunjingan itu menghiaskan berjuta kata dan asa... berjuta lirih... menekan tanpa pembelaan, sebuah penekanan dengan paksaan, sebuah penekanan tanpa arti... mereka... sepertinya mereka sendiri tidak mengerti kenapa harus berkata seperti itu, kenapa mereka harus melakukan penekanan yang seperti itu... penekanan itu... beralasankah? Hanya sebuah cerita singkat... itukah yang dijadikan sebuah dasar penekanan? Tapi...

Aurel, gadis 165cm itu selayak terdiam, tertunduk, seakan tidak terpengaruh, layar handphone itu... jarinya bergerak bermainan, matanya... rambutnya yang ikal panjang itu berusaha untuk menutupinya... jemarinya bergulir bergantian menekan keypad... menuliskan arti... Aurel, sesekali bibirnya terlihat tertekuk, sesekali bibirnya basah... bahasa itu... seakan dia sedang menyelami sendiri dunianya... dunianya... dunia itu... tidak tampak, sebuah dunia yang tergambar dalam setiap sinaran... sebuah dunia dalam angan, sebuah refleksi jiwa... sebuah refleksi keinginan jiwa... dunia itu tergambar jelas... tubuhnya seakan mengisyaratkan setiap detilnya... jemarinya seakan memberikan kata... dunia itu... harapan, kenyataan, angan, keinginan, Aurel...

Matanya terfokus... pikirannya, jemarinya tertahan, dia berusaha, dia berfikir, dia... untuk siapa? Mata itu... sedikit sayu, rambutnya perlahan tersibak dengan sendirinya... sayu... kenapa? Aurel... ia menyelami pikirannya sendiri, terpisah dengan ia yang sedang didepan... ia... business class... cuap itu seakan terhirau... suara itu seakan hanya lewat begitu saja, seakan tanpa arti... seakan tidak ada suara... seakan hanya ada dia... seakan hanya ada dia... seakan hanya dia... kesepian itu seakan tergambar jelas... ianya... hidup dalam lembaran digital penuh kata... kata apa? Terkadang ia-nya terlihat terhenti... pikirnya ingin semuanya seperti biasa, tapi kata itu seakan sengaja diukir... sedikit penuh basa-basi... sedikit penuh...

Lembaran itu terus saja bertebaran, menggantikan “ia” hanya sebuah... hanya selembar kertas sekali jalan... hanya selembar kertas... ungkapan sekali lewat anak muda... hanya selembar kertas... hanya selembar kertas dengan tinta hitam... ungkapan yang tidak beralasan... ungkapan yang seakan terkesan natural... tapi sebenarnya dipaksakan... lembaran kertas itu seakan terdengar nyaring, menggantikan suara-suara yang seakan terdengar sumbang... lembaran kertas itu... ia-nya yang meraja...

Bel terakhir, tiga kali dentangan itu, tapi Aurel... matanya seakan masih terpaku, pikirannya masih terlelap...
“rel udah dong SMS-an-nya, pulang gak...?” tanya Vanya
“Yuk” singkatnya, senyum kecil terhias dibibirnya, sedikit tegang, terkesan hanya formalitas tanpa arti... Aurel...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun