Mohon tunggu...
Ricky Pratama
Ricky Pratama Mohon Tunggu... -

Kue dan Cookies.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Close - Support and Semi-Realistic (Scene 3)

13 November 2011   05:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:44 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama Buku : Close
Season : Pertama

arranged by Ricky Pratama

----------------------------------------

Support and Semi-Realistic?
Dukungan dan Semi-Realistik?
--------------------------------------------------

Keceriaan... senyuman itu terlukis jelas, gak hanya sekedar formalitas, tulus itu tergambar... Aurel... seakan dia melupakan hal yang lalu...

Sekali lagi, tangannya bermain, pikirannya menghiaskan berjuta kata... keypad itu terus tertekan... “ia”-nya terhenti sejenak.
“Nya emang bener ya, backstreet tu jelek?” pertanyaan itu terulang, harap itu seakan masih sama... ia-nya berusaha menunggu jawaban, ia-nya berusaha hanya searah... terkadang ianya hanya bermaksud melepaskan luap ini... ia-nya kenapa?
“Ya ampun kok nanya gt sih? Kan dah dibilangin jelek, kalo ada cowok yang ngajakin qta backstreet pastinya dia gak bertanggung jawab, lagi pula kenapa juga musti backstreet, emangnya lo ada alasan untuk backstreet?”
“Gak” singkat Aurel
“Kalo begitu, kenapa juga musti backstreet, atau jangan-jangan si cowok lo tu, siapa namanya”
“Aditya”
“iya si Aditya, takut sama seseorang lagi atau dia berusaha nyembunyiin sesuatu... sesuatu...”
“ehm... iya sih, sebenernya dia dah punya pacar, tapi...”
“nah tu lo tau dia dah punya pacar, lagi kenapa juga lo musti backstreet ma dia, lo pikir aja... gmana kalo ternyata lo yang ada di posisi pacarnya yang sekarang, pastinya sakit banget kan? Untungna masih pacaran, ntar kalo dah mau married gmana?”
“ehm... sebenernya sih dia dah mau tunangan ma pacarnya akhir tahun ini...”
“what... lo gila apa... emangnya lo mau ya, kalo ternyata nanti si cowok lo tu juga ngelakuin hal yang sama ma lo? Ninggalin lo gt? Emang lo mau ya? Inget aja... balesan itu lebih buruk lagi... gw sih takut karmanya”
“jadi backstreet jelek ya”
“jelek, jelek, jelek”
“ah siapa bilang” sela Tri
“loh kok?” seru Vanya
“Iya... gmana kalo ternyata si cowok itu dah ngerasa gak cocok sama ceweknya yang sekarang, dan terus ketemu ma Aurel yang dilihatnya sebagai sosok wanita idamannya, terus si cowok ngajakin backstreet karena dia gak tega kalo musti langsung mutusin si ceweknya yang sekarang, gmana? Kalo kejadiannya kaya gt”
“ya itukan satu banding sejuta kalee” kias Vanya
“ya terus gw musti gmana?” ujar Aurel, katanya tidak berhias, lirih seakan terdengar, lirih seakan meminta, lirih seakan mengangkat pikirannya diantara harapan dan kenyataan. Lirih... “dia” “Aurel” “Pria itu” “Aditya”

“Ya seperti yang gw bilang kemaren, lo musti siap kalo ternyata tuh cowok ngelakuin hal yang sama ma lo” tegas Vanya, sementara Aurel... matanya bergulir... Tri... matanya mengharapkan sebuah pembelaan, dia-nya Aurel, matanya sayu... sementara Tri hanya terdiam, sedikit tersenyum tanpa makna...
“jadi gw musti mundur ya?”
“ya kalo kata gw sih gt... bilang aja, terima kasih dah ngebuat seneng gw selama ini, tapi gw ngerasa bukan orang yang tepat buat berada disamping lo, mungkin ada orang yang lebih baik dari gw... mungkin” jelas Vanya sementara... kaca itu terlihat memenuhi ruang putih di mata Aurel, harapan itu seakan tak tergambar... harapan itu, kata itu seakan tidak lagi berarti...

“ya kan lo sendiri yan bilang kemaren “kok ada sih temen yang gt” jahat, jahat” mangnya lo mau disamaain ma Teri yang ternyata backstreet ma pacar temennya sediri? Mangnya lo mau nelen balik kata-kata lo sendiri? Mangna lo mau?”, dia, Aurel, bibirnya tertekuk... dianya sekali lagi pikirannya terhening dengan berbagai spekulasi yang... apa? Dia sendiri gak tahu?

“Mangna apa sih alesan lo sampe mau diajak backstreet ma dia”
“gw suka ma dia, dia juga baik kok ma gw, perhatian” ungkapan itu terdengar berat, seakan bersiap menerima sangkalan. Yeah...sangkalan...

“yah baik? Lo yakin dia cowok baik? Kalo dia baik, pastinya dia gak akan nyeleweng, and terus gmana kalo perhatiannya ternyata palsu, Cuma buat nge-gaet lo doang?” gmana” apa lo dah siap ma hal yang kaya gini?” ehm...?”

“Iya sih bener juga apa kata vanya... kemungkinan kaya gt sih tetep ada, ya... kalo menurut gw, kenapa juga lo gak tantangin dia buat mutusin pacarnya, and pastinya kalo dia serius ma lo, dia bakalan mutusin pacarnya... jadi lo gak perlu lagi backstreet?” ya kan?”

“tapi itu kan gak nutup kemungkinan dia gak akan nyeleweng lagi...”
“iya sih, tapi seenggaknya Aurel bisa dapet kepastian, daripada kaya gini???” jelas Tri, sementara Aurel terkesan menunduk, sesekali dia berusaha agar kaca-kaca itu tidak jatuh berserakan, sesekali di terus berfikir, sesekali dia... stag... sesekali... dia... Aurel... matanya seakan kosong, pikirannya bermain dengan... tubuhnya berat... dunia ini terkesan ringan... perasaan apa ini... sulitkah? Apa? Kenapa aku? Kosong... terkadang pikirannya tak ingin mendengarkan penilaian itu, terkadang siapa sih mereka, mereka gak pernah ngenal gw... mereka gak tahu yang sebenernya... terkadang sisi egoisitasnya mulai mangambil alih... terkadang dirinya tersadar... terkadang ia hanya menemukan dirinya terjatuh kedalam jurang yang terbangun... jurang itu tidak gelap, jurang itu terang, jurang itu memiliki dua buah jalan didasarnya, jurang itu tidak menakutkan... jurang itu hanya memberikannya pilihan... jalan itu dipenuhi lampu kenangan masa lalu dan keinginan masa depan... jurang itu... seakan “dia” Aurel tidak ingin lekas beranjak... dirinya masih terdiam didasar... kalkulasi itu seakan hanya membuatnya semakin bertambah bingung... aku harus bagaimana? Kenyataan itu tak ingin ku dengar... kenyataan itu harusnya berubah... kenapa kenyataan ini tak ingin memihak padaku kenapa?

Matanya hanya berusaha menatap pikirannya sementara pikirannya enggan melihat air belas kasihan itu, terkadang air itu tidak murni, terkadang yang ada hanya sebuah luapan dari seseorang yang memakai topeng, pikir ini ingin berkata sejujurnya, tapi tangis ini pun seakan jujur, siapa yang salah, penilaian ku? Ataukah ini memang benar hanya sebuah egoisitas tanpa batas?

Bibirnya “Aurel” bibirnya ingin terangkat, sempurna, tapi kias itu kian kosong, mata itu tidak mengatakan dia bahagia, mata itu seakan terpaksa untuk tersenyum, sementara bibir itu... hanya sebuah bait puisi yang salah tempat, kias itu terkesan berlebih, kias... itu... mereka hanya terdiam... lebih dari sekedar menghormati... mereka... Aurel...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun