Orang Lembata khususnya masyarakat Ile Ape pastinya masih ingat dengan kebakaran hutan yang cukup besar di seputaran lereng Gunung Ile Ape atau Ile Lewotolok pada periode akhir Agustus sampai awal September 2020. Kebakaran ini disebut yang terparah, hingga menyebabkan sebanyak 28 rumah adat yang ada dalam kompleks pemukiman adat Napaulun, desa Bungamuda hangus terbakar tak berbekas.Â
Kobaran api yang melintas di kampung adat tersebut rupanya tidak benar-benar padam kala itu. Dia justru semakin luas membakar areal kawasan hutan lindung yang ada di sekeliling lereng gunung Ile Lewotolok, melahap pohon-pohon dan tumbuhan apa saja di lereng gunung dari arah barat sampai di arah timur. Kurang lebih dua pekan lebih setelah kampung adat rata dengan tanah, api belum juga padam.
Sebagai pewarta yang turut meliput kejadian naas itu, saya masih ingat bagaimana warga di beberapa desa dibantu pegawai kehutanan dan polisi pamong praja, berupaya memadamkan api di lereng gunung terjal dengan peralatan dan teknik seadanya. Pada malam hari, cahaya api yang menyala di lereng gunung bahkan jelas dipandang dari jarak puluhan kilometer. Kepulan asap yang membubung naik ke langit juga tampak jelas pada siang hari.Â
Siapa yang pertama menyulut api hingga membakar berhektar-hektar hutan di lereng gunung? Kuat dugaan ada warga yang membuka kebun baru dengan cara membakar lahan dan api kemudian terus menjalar atau tidak benar-benar dipadamkan. Kebiasaan membuka kebun dengan membakar lahan sudah lazim dilakukan masyarakat petani di Lembata.
Duka karena kampung adat berusia ratusan tahun belum usai, warga di Kecamatan Ile Ape dan Ile Ape Timur kembali dikejutkan dengan erupsi  Gunung Ile Lewotolok pada 29 November 2020. Meski tak ada korban jiwa, ribuan warga terpaksa harus mengungsi keluar dari Ile Ape. Erupsi sebenarnya sudah terjadi dua hari sebelumnya yakni pada 27 November 2020.Â
Akan tetapi, daya letusannya tidak menyebabkan warga meninggalkan kampung. Hampir tiga bulan warga bertahan di posko-posko pengungsian di Kota Lewoleba dan di kebun-kebun. Mereka pun akhirnya dipulangkan kembali ke kampung halaman walaupun aktivitas vulkanik gunung masih terasa, bahkan dari Kota Lewoleba dan sekitarnya.
Tragedi datang lagi untuk kesekian kalinya dan kali ini memakan banyak korban. Air bah dari arah lereng Ile Lewotolok yang membawa material tanah, batu-batu besar dan gelondongan kayu menyapu beberapa desa di kaki gunung Ile Lewotolok pada Minggu dini hari, 4 April 2021 atau tepat pada Hari Raya Paskah. Desa Waowala, Tanjung Batu dan Amakaka di Kecamatan Ile Ape dan desa Lamawolo, Jontona dan Waimatan di Kecamatan Ile Ape Timur terdampak parah.
Rumah-rumah warga diseret banjir dan longsor. Puluhan orang meninggal dunia dan terkubur reruntuhan batu dan tanah. Warga kembali harus mengungsi lagi, kali ini dengan trauma yang lebih parah dari sebelumnya.
Hujan lebat dan angin kencang yang kemudian diketahui dampak dari badai siklon tropis seroja di NTT, sebenarnya sudah mulai menghantam pesisir Lembata sehari sebelumnya. Pada hari Sabtu malam, saat banyak orang Katolik baru saja pulang merayakan misa malam Paskah, hujan dan angin kencang sudah membuat panik banyak orang.
Pada pagi harinya, saya sudah membaca berita terjadi banjir yang menelan korban di Kota Waiwerang Adonara, di pulau seberang. Belum terlintas di benak saya kalau musibah serupa bakal terjadi di Lembata. Cuaca masih belum bersahabat. Awan mendung, sesekali hujan dan angin kencang.Â
Kemudian saya mendapat informasi di grup What's App Forum Pengurangan Risiko Bencana Kabupaten Lembata, rumah-rumah rusak di Lamawolo dan Jontona. Di desa Waowala, juga ada informasi kalau akses jalan ke sana juga putus total. Sekitar jam 10.00 pagi, saya dan Andri Atagoran, jurnalis TVRI, dengan sepeda motor langsung menuju ke desa Waowala untuk melihat akses jalan yang putus itu.
Tiba di sana, yang kami temukan ternyata lebih dari sekadar jalan putus. Rumah-rumah hanyut terbawa banjir, batu-batu besar dari arah lereng gunung sudah meratakan pemukiman, aliran air hujan dari lereng sisa banjir dan longsor masih mengalir. Sejumlah orang dalam keadaan basah kuyup, di bawah gerimis hujan, berjalan kaki mengevakuasi diri dengan wajah murung. Polisi dan tentara mulai menggotong korban luka-luka dan meninggal dengan bantuan tempat tidur dari bambu yang biasanya ada di rumah warga.Â
Di pesisir pantai, sejumlah orang sedang mengais-ngais reruntuhan material rumah dan sampah, mencari sanak keluarga mereka yang hilang.
Saya dan Andri menyusuri desa-desa yang dihantam banjir itu dengan berjalan kaki. Mulai dari desa Tanjung Batu sampai ke desa Amakaka. Seorang pria paruh baya kami dapati sedang meratapi jenazah ibunya yang baru saja ditemukan di pantai. Jalanan penuh dengan lumpur, tiang listrik, pohon-pohon dan sebuah tower telekomunikasi tumbang. Aliran listrik, sinyal telepon dan internet sudah putus total.
Dari arah lereng gunung, batu-batu berukuran besar seperti sudah membuka jalur baru, menyapu pemukiman yang sebelumnya cukup padat. Kebanyakan warga hanya berdiri terpaku memandang musibah yang baru terjadi beberapa jam lalu. Sebagian dari warga bisa selamat dari terjangan banjir dan longsor, tapi tidak dengan sanak keluarga mereka. Hari itu juga, sudah bisa dipastikan puluhan orang terkubur longsor dan reruntuhan rumah.
Kami berhenti di desa Amakaka, salah satu desa terdampak cukup parah. Sekitar belasan orang pemuda sedang berdiri di atas sebuah batu besar yang menindih salah satu rumah. Dari atas reruntuhan, tampak satu orang korban yang beberapa jam sebelumnya masih meminta pertolongan, sudah tak bernyawa lagi. Sayangnya, tenaga manusia tidak mungkin mengeluarkan jasadnya dari balik tumpukan batu dan bangunan.
Alvian Rayabelen, seorang kawan, dengan putus asa memberitahukan, masih ada puluhan orang yang hilang dan kemungkinan meninggal dunia di desa Amakaka. Saya berdiri di sebuah batu besar dan memandang ke arah timur, dari mana datangnya banjir dan longsor. Lokasi yang dulunya pemukiman padat penduduk kini habis tak berbekas, diganti tumpukan bebatuan. Tidak ada rumah lagi yang tersisa. Sesudah itu, suasananya penuh kekalutan dan kepanikan.
Kanisius Soge, seorang relawan, baru saja pulang dari desa Waimatan, melewati tiga desa lagi dari Amakaka ke arah utara. Raut wajahnya kelihatan lelah bercampur sedih. Sudah ada informasi kalau sebagian desa Waimatan sudah terkubur longsor. Saya bertanya kepada Kanisius bagaimana situasi di sana.
"Parah! masih ada 20 lebih orang yang masih terkubur longsor," ucapnya singkat.
Hujan rintik belum jua reda. Seorang bapak berbadan tegap, memakai mantel hujan dengan wajah murung dan panik tiba-tiba spontan berseru, musibah itu akibat dari pohon-pohon yang ditebang di lereng gunung. Tak ada yang merespon, mungkin karena masing-masing orang membawa pikirannya masing-masing, tapi kalimat-kalimat itu dia ucapkan dengan rasa marah yang untungnya masih bisa diredam.Â
Saya sempat hendak mewawancarai bapak tersebut dengan tujuan mewartakan sisi lain dan ungkapan hati warga yang selamat dari musibah tersebut. Tapi, selain situasi memang tidak memungkinkan, calon narasumber saya itu juga keburu menghilang dari pandangan mata. Kendati begitu, kata-katanya itu terus terngiang di dalam ingatan, memaksa pikiran saya mencari-cari benang merah atau sebab akibat antara musibah ini dan kerusakan hutan di lereng gunung.Â
Apakah dampak kebakaran hutan kemarin, ditambah aktivitas vulkanik Ile Lewotolok dan intensitas hujan yang cukup tinggi memicu tanah dan bebatuan besar di lereng gunung akhirnya 'jatuh' ke arah kaki gunung?
Hingga 10 Mei 2021, Pemerintah Kabupaten Lembata melaporkan total 68 orang yang jadi korban bencana banjir dan longsor. Sebanyak 46 orang meninggal dunia dan 22 orang masih dinyatakan hilang. Ribuan warga di Kecamatan Ile Ape dan Ile Ape Timur harus mengungsi dan 15 desa di dua kecamatan ini akan direlokasi secara bertahap.
Kita bisa saja membuat satu hipotesa, bagaimana perilaku kita, manusia, punya andil yang tidak bisa dianggap enteng dari bencana banjir dan longsor ini. Berangkat dari gagasan, 'kalau kita menjaga alam, maka alam akan menjaga kita,' saya mulai merunut apa yang sudah tampak selama ini.
Selama lebih dari dua pekan dari akhir Agustus sampai awal September 2020, sebagaimana disebutkan di atas, kebakaran hebat melanda kawasan hutan lindung di lereng Ile Lewotolok. Tak terhitung lagi berapa banyak tumbuhan dan pepohonan yang seketika mati dan rata dengan tanah. Tanah dan bebatuan di lereng seketika kehilangan penyangga atau perekat alamiah dari akar-akar pohon dan tumbuhan di sana. Dampaknya juga pada perubahan iklim yang disebut para ahli memicu badai siklon tropis seroja sampai ke daratan NTT.
Hutan yang terbakar erat kaitannya dengan praktik pembukaan lahan kebun baru di lereng gunung setiap tahun. Membuka kebun dengan cara membakar ilalang tanpa pengawasan selalu terjadi setiap pertengahan tahun usai musim panen jagung. Banyak warga Ile Ape dan Ile Ape Timur sebagai petani menggarap kebun yang berada di lereng gunung, atau hanya berjarak tiga kilometer dari puncak Ile Lewotolok.Â
Sewaktu erupsi, pemerintah daerah sempat melarang warga untuk tidak berkebun lagi di sana karena ancaman bahaya awan panas dan lava pijar dari kawah gunung. Banjir dan longsor menjadi dampak dari akumulasi kelalaian manusia yang merusak alam sekian lama, aktivitas vulkanik Ile Lewotolok sejak peningkatan status waspada pada tahun 2017 dan intensitas hujan yang tinggi hingga awal April 2021.
Di desa Waowala, Tanjung Batu, Amakaka, Waimatan dan Lamawolo, air bah dari lereng gunung Ile Lewotolok membawa gelondongan kayu dan batu-baru besar lalu seketika menyapu semua yang ada di depannya. Beberapa saksi mata menyebutkan, banjir malam itu bisa setinggi atap rumah atau bahkan lebih yang tanpa ampun menyeret semuanya ke pesisir pantai. Mereka yang selamat masih beruntung, tapi sisanya meninggal dunia dalam timbunan lumpur dan reruntuhan serta dinyatakan hilang sampai sekarang.Â
Di desa Waimatan, longsor yang menutup sebagian pemukiman datang dari arah yang tidak diduga sama sekali. Malam itu, warga yang  berada di jalur kali di sebelah utara desa sudah diarahkan untuk mengevekuasi diri ke titik aman. Belajar dari masa lalu, kawasan itu dianggap  paling rawan diterjang banjir dan longsor. Namun, dalam tempo singkat, longsor justru menimbun pemukiman di sebelah selatan. Hal  yang sama sekali tidak dibayangkan sebelumnya.
Mus Betekeneng, kepala desa setempat, mengakui, sebanyak 26 warga terkubur longsor dalam keadaan terjaga karena malam itu semua warga sudah dalam situasi waspada untuk menyelamatkan diri. Di Waimatan dan Amakaka, banjir dan longsor seperti membuka sebuah tanah lapang baru dengan cara menggusur atau menimbun pemukiman yang ada.
Stanislaus Ara Kian, Petugas Pos Pemantau Gunung Api Ile Lewotolok, mengirim laporan awal hari itu juga. Salah satu isinya berbunyi, 'hasil rekaman seismik mengindikasikan bahwa hujan lebat telah memicu setidaknya dua kali gempa yang berasosiasi pada kejadian gerakan tanah yaitu pada pukul 01.44 Wita dan 04.02 Wita. Hasil pemeriksaan lapangan menunjukkan adanya longsoran di wilayah desa Waimatan." Â
Dua minggu pasca bencana atau pada tanggal 26 April 2021, Badan Geologi melaporkan pemeriksaan kejadian gerakan tanah dan banjir di Kabupaten Lembata. Dalam laporan sebanyak 14 lembar tersebut, Badan Geologi menyebut beberapa faktor penyebab terjadinya gerakan tanah dan banjir bandang.Â
Pertama, curah hujan yang tinggi sebelum dan pada saat terjadi bencana. Kedua, kemiringan lereng yang curam pada daerah hulu alur lembah sungai kering sehingga batuan yang bersifat lepas mudah bergerak ketika terjadi peningkatan debit secara signifikan. Ketiga, material lereng yang tersusun oleh produk gunung api berupa bongkahan lava dan piroklastik serta lahar tua yang bersifat lepas dan mudah luruh jika terkena air. Keempat, kontras morfologi antara hulu dan hilir sehingga material bahan rombakan menyebar ketika memasuki pemukiman yang berada di daerah pantai yang lebih memadai.
Selain itu, Badan Geologi juga mengeluarkan beberapa rekomendasi teknis, di antaranya, tidak mengembangkan pemukiman mendekat ke arah lereng terjal dan pada jalur air atau sungai dan melestarikan pepohonan kuat berakar dalam terutama pada lereng terjal guna mempertahankan kestabilan lereng dan mencegah erosi air permukaan.
Dilansir dari Mongabay Indonesia, Pasca Banjir Bandang di NTT, Saatnya Menanam Pohon, 8 April 2021, Direktur LSM Barakat Lembata, Benediktus Bedil berpendapat bahwa banjir dan longsor yang terjadi di wilayah Ile Ape dan Ile Ape Timur akibat dari berkurangnya hutan tutupan akibat kebakaran hutan yang terjadi sebelumnya dan erupsi gunung yang membuat banyak pepohonan mati. Dia setuju agar dilakukan penghijauan di kawasan lereng gunung agar fungsi alami hutan tutupan bisa kembali seperti sediakala.
Jika kesadaran masyarakat akan alam masih rendah maka upaya mitigasi menemui jalan buntu. Banjir dan longsor akan datang berulang menurut siklus alamiah. Kita tidak bisa menyebut itu 'bencana alam' lagi. Itu sebuah siklus karena alam mulai bosan melihat tingkah kita, seperti kata musisi Ebiet G Ade.
Mari kita renungkan...!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H