Mohon tunggu...
Ricko Blues
Ricko Blues Mohon Tunggu... Freelancer - above us only sky

Sebab mundur adalah pengkhianatan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bencana Alam atau Alam Mulai Bosan Melihat Tingkah Kita

12 Juni 2021   15:09 Diperbarui: 12 Juni 2021   15:29 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kita bisa saja membuat satu hipotesa, bagaimana perilaku kita, manusia, punya andil yang tidak bisa dianggap enteng dari bencana banjir dan longsor ini. Berangkat dari gagasan, 'kalau kita menjaga alam, maka alam akan menjaga kita,' saya mulai merunut apa yang sudah tampak selama ini.

Selama lebih dari dua pekan dari akhir Agustus sampai awal September 2020, sebagaimana disebutkan di atas, kebakaran hebat melanda kawasan hutan lindung di lereng Ile Lewotolok. Tak terhitung lagi berapa banyak tumbuhan dan pepohonan yang seketika mati dan rata dengan tanah. Tanah dan bebatuan di lereng seketika kehilangan penyangga atau perekat alamiah dari akar-akar pohon dan tumbuhan di sana. Dampaknya juga pada perubahan iklim yang disebut para ahli memicu badai siklon tropis seroja sampai ke daratan NTT.

Hutan yang terbakar erat kaitannya dengan praktik pembukaan lahan kebun baru di lereng gunung setiap tahun. Membuka kebun dengan cara membakar ilalang tanpa pengawasan selalu terjadi setiap pertengahan tahun usai musim panen jagung. Banyak warga Ile Ape dan Ile Ape Timur sebagai petani menggarap kebun yang berada di lereng gunung, atau hanya berjarak tiga kilometer dari puncak Ile Lewotolok. 

Sewaktu erupsi, pemerintah daerah sempat melarang warga untuk tidak berkebun lagi di sana karena ancaman bahaya awan panas dan lava pijar dari kawah gunung. Banjir dan longsor menjadi dampak dari akumulasi kelalaian manusia yang merusak alam sekian lama, aktivitas vulkanik Ile Lewotolok sejak peningkatan status waspada pada tahun 2017 dan intensitas hujan yang tinggi hingga awal April 2021.

Di desa Waowala, Tanjung Batu, Amakaka, Waimatan dan Lamawolo, air bah dari lereng gunung Ile Lewotolok membawa gelondongan kayu dan batu-baru besar lalu seketika menyapu semua yang ada di depannya. Beberapa saksi mata menyebutkan, banjir malam itu bisa setinggi atap rumah atau bahkan lebih yang tanpa ampun menyeret semuanya ke pesisir pantai. Mereka yang selamat masih beruntung, tapi sisanya meninggal dunia dalam timbunan lumpur dan reruntuhan serta dinyatakan hilang sampai sekarang. 

Di desa Waimatan, longsor yang menutup sebagian pemukiman datang dari arah yang tidak diduga sama sekali. Malam itu, warga yang  berada di jalur kali di sebelah utara desa sudah diarahkan untuk mengevekuasi diri ke titik aman. Belajar dari masa lalu, kawasan itu dianggap  paling rawan diterjang banjir dan longsor. Namun, dalam tempo singkat, longsor justru menimbun pemukiman di sebelah selatan. Hal  yang sama sekali tidak dibayangkan sebelumnya.

Mus Betekeneng, kepala desa setempat, mengakui, sebanyak 26 warga terkubur longsor dalam keadaan terjaga karena malam itu semua warga sudah dalam situasi waspada untuk menyelamatkan diri. Di Waimatan dan Amakaka, banjir dan longsor seperti membuka sebuah tanah lapang baru dengan cara menggusur atau menimbun pemukiman yang ada.

Stanislaus Ara Kian, Petugas Pos Pemantau Gunung Api Ile Lewotolok, mengirim laporan awal hari itu juga. Salah satu isinya berbunyi, 'hasil rekaman seismik mengindikasikan bahwa hujan lebat telah memicu setidaknya dua kali gempa yang berasosiasi pada kejadian gerakan tanah yaitu pada pukul 01.44 Wita dan 04.02 Wita. Hasil pemeriksaan lapangan menunjukkan adanya longsoran di wilayah desa Waimatan."  

Dua minggu pasca bencana atau pada tanggal 26 April 2021, Badan Geologi melaporkan pemeriksaan kejadian gerakan tanah dan banjir di Kabupaten Lembata. Dalam laporan sebanyak 14 lembar tersebut, Badan Geologi menyebut beberapa faktor penyebab terjadinya gerakan tanah dan banjir bandang. 

Pertama, curah hujan yang tinggi sebelum dan pada saat terjadi bencana. Kedua, kemiringan lereng yang curam pada daerah hulu alur lembah sungai kering sehingga batuan yang bersifat lepas mudah bergerak ketika terjadi peningkatan debit secara signifikan. Ketiga, material lereng yang tersusun oleh produk gunung api berupa bongkahan lava dan piroklastik serta lahar tua yang bersifat lepas dan mudah luruh jika terkena air. Keempat, kontras morfologi antara hulu dan hilir sehingga material bahan rombakan menyebar ketika memasuki pemukiman yang berada di daerah pantai yang lebih memadai.

Selain itu, Badan Geologi juga mengeluarkan beberapa rekomendasi teknis, di antaranya, tidak mengembangkan pemukiman mendekat ke arah lereng terjal dan pada jalur air atau sungai dan melestarikan pepohonan kuat berakar dalam terutama pada lereng terjal guna mempertahankan kestabilan lereng dan mencegah erosi air permukaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun