Tiba di sana, yang kami temukan ternyata lebih dari sekadar jalan putus. Rumah-rumah hanyut terbawa banjir, batu-batu besar dari arah lereng gunung sudah meratakan pemukiman, aliran air hujan dari lereng sisa banjir dan longsor masih mengalir. Sejumlah orang dalam keadaan basah kuyup, di bawah gerimis hujan, berjalan kaki mengevakuasi diri dengan wajah murung. Polisi dan tentara mulai menggotong korban luka-luka dan meninggal dengan bantuan tempat tidur dari bambu yang biasanya ada di rumah warga.Â
Di pesisir pantai, sejumlah orang sedang mengais-ngais reruntuhan material rumah dan sampah, mencari sanak keluarga mereka yang hilang.
Saya dan Andri menyusuri desa-desa yang dihantam banjir itu dengan berjalan kaki. Mulai dari desa Tanjung Batu sampai ke desa Amakaka. Seorang pria paruh baya kami dapati sedang meratapi jenazah ibunya yang baru saja ditemukan di pantai. Jalanan penuh dengan lumpur, tiang listrik, pohon-pohon dan sebuah tower telekomunikasi tumbang. Aliran listrik, sinyal telepon dan internet sudah putus total.
Dari arah lereng gunung, batu-batu berukuran besar seperti sudah membuka jalur baru, menyapu pemukiman yang sebelumnya cukup padat. Kebanyakan warga hanya berdiri terpaku memandang musibah yang baru terjadi beberapa jam lalu. Sebagian dari warga bisa selamat dari terjangan banjir dan longsor, tapi tidak dengan sanak keluarga mereka. Hari itu juga, sudah bisa dipastikan puluhan orang terkubur longsor dan reruntuhan rumah.
Kami berhenti di desa Amakaka, salah satu desa terdampak cukup parah. Sekitar belasan orang pemuda sedang berdiri di atas sebuah batu besar yang menindih salah satu rumah. Dari atas reruntuhan, tampak satu orang korban yang beberapa jam sebelumnya masih meminta pertolongan, sudah tak bernyawa lagi. Sayangnya, tenaga manusia tidak mungkin mengeluarkan jasadnya dari balik tumpukan batu dan bangunan.
Alvian Rayabelen, seorang kawan, dengan putus asa memberitahukan, masih ada puluhan orang yang hilang dan kemungkinan meninggal dunia di desa Amakaka. Saya berdiri di sebuah batu besar dan memandang ke arah timur, dari mana datangnya banjir dan longsor. Lokasi yang dulunya pemukiman padat penduduk kini habis tak berbekas, diganti tumpukan bebatuan. Tidak ada rumah lagi yang tersisa. Sesudah itu, suasananya penuh kekalutan dan kepanikan.
Kanisius Soge, seorang relawan, baru saja pulang dari desa Waimatan, melewati tiga desa lagi dari Amakaka ke arah utara. Raut wajahnya kelihatan lelah bercampur sedih. Sudah ada informasi kalau sebagian desa Waimatan sudah terkubur longsor. Saya bertanya kepada Kanisius bagaimana situasi di sana.
"Parah! masih ada 20 lebih orang yang masih terkubur longsor," ucapnya singkat.
Hujan rintik belum jua reda. Seorang bapak berbadan tegap, memakai mantel hujan dengan wajah murung dan panik tiba-tiba spontan berseru, musibah itu akibat dari pohon-pohon yang ditebang di lereng gunung. Tak ada yang merespon, mungkin karena masing-masing orang membawa pikirannya masing-masing, tapi kalimat-kalimat itu dia ucapkan dengan rasa marah yang untungnya masih bisa diredam.Â
Saya sempat hendak mewawancarai bapak tersebut dengan tujuan mewartakan sisi lain dan ungkapan hati warga yang selamat dari musibah tersebut. Tapi, selain situasi memang tidak memungkinkan, calon narasumber saya itu juga keburu menghilang dari pandangan mata. Kendati begitu, kata-katanya itu terus terngiang di dalam ingatan, memaksa pikiran saya mencari-cari benang merah atau sebab akibat antara musibah ini dan kerusakan hutan di lereng gunung.Â
Apakah dampak kebakaran hutan kemarin, ditambah aktivitas vulkanik Ile Lewotolok dan intensitas hujan yang cukup tinggi memicu tanah dan bebatuan besar di lereng gunung akhirnya 'jatuh' ke arah kaki gunung?
Hingga 10 Mei 2021, Pemerintah Kabupaten Lembata melaporkan total 68 orang yang jadi korban bencana banjir dan longsor. Sebanyak 46 orang meninggal dunia dan 22 orang masih dinyatakan hilang. Ribuan warga di Kecamatan Ile Ape dan Ile Ape Timur harus mengungsi dan 15 desa di dua kecamatan ini akan direlokasi secara bertahap.