Di dalam UU No.1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 2 dijelaskan bahwa setiap perkawinan itu harus dicatatkan berdasarkan undang-undang yang berlaku. Adapun macam-macam perkawinan yaitu: perkawinan sunnah, perkawinan wajib, perkawinan makruh serta perkawinan haram. Sedangkan prinsip perkawinan menurut KHI sendiri berbunyi “Perkawinan menur hukum islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat untuk menaati sebuah perintah allah serta melaksanakannya merupakan bagian dari ibadah.Â
Dari penjelasan tersebut juga mempunyai tujuan yang dimuat dalam pasal yaitu pasal 3 dalam KHI sebagai berikut: "Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah ( tenteram, cinta dan kasih sayang)". tujuan tersebut juga sudah tercantum dalam firman Allah yaitu berisi "Dan diantara tanda-tanda kebesarannya merupakan dia yang menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung meras tenteram.
Â
Pencatatan Perkawinan dan DampakÂ
Pencatatan perkawinan awalnya diatur dalam undang-undang yaitu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan dan permukiman yang dimana sudah diberlakukan pada tanggal 1 februari 1974 tepatnya di wilayah Jawa dan Madura. Sebagian hukum yang ada di indonesia masih menggunakan hukum peniggalan Belanda yaitu hukum kolonial.Â
Tetapi pada tahun 1958 ada perubahan bahwa Undang-Undang tentang perkawinan harus mencakup semua yang dapat diterapkan di lapian masyarakat tanpa membedakan satu sama lain dalam segi agama, ras, maupun etnis. Pencatatan perkawinan diakui resmi oleh pemerintah, seperti catatan yang tertulis atau bukti dapat menjadi syarat keabsahan suatu pencatatan dalam perkawinan.Â
Karena sebuah pernikahan merupakan salah satu perbuatan hukum yang memerlukan kepastian hukum serta disisi lain fungsi dari pencatatan perkawinan tersebu adalah untuk mewujudkan ketertiban masyarakat dalam melaksanakan perkawinan. Selain itu sah atau tidak nya sebuah perkwanian tidak hanya ditinjau dari ketentuan agama atau kepercayaan. Tetapi juga sebuah perkawinan yang sah harus sesuai dengan hukum negara yang berlaku. Sedangkan menurut negara indonesia sendiri perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dicatatkan.
Dilihat dari sisi sosiologis, dengan adanya perkawinan tersebut secara otomatis sudah dapat dikatakan sah sebagai suami-isteri dan sudah tercatat secara negara maupun agama.Â
Tetapi ada faktor lain yang dapat menghalangi hukum positif tersebut seperti: perbedaan status kewarganegaraan,, ekonomi serta tradisi. Jika dilihat dari sisi religius pencatatan pernikahan dapat dikatakan sah jika perkawinan tersebut dilakukan sesuai dengan hukum yang ada di agama masing-masing dan kepercayaannya, selain itu dapat menjadi sebuah dasar dalam perkawinan yang sah menurut agamanya atau kepercayaanya. Jika secara yuridis pencatatan perkawinan akan mendapatkan jaminan hukum selain itu juga ada perlindungan hak.
Pendapat Ulama dan KHI wanita hamil
Menurut pendapat para ulama wanita yang hamil apalagi di luar nikah tidak dikenakan ketentuan-ketentuan hukum yang dimana itu dianggap sah secara syariat. Sedangkan jika dilihat iddahnya hanya untuk menjaga kesucian serta menjaga nasab nya. Sedangkan menurut Ibnu Qudamah mengakatan bahwa hukum perkawinan perempuan hamil karena zina tersebut tidak boleh dilakukan dalam keadaan hamil. Jika di dalam KHI membolehkan wanita hamil karena zina dinikahi oleh pria yang menghamilinya, seperti ada peluang bagi orang-orang yang lemah imannya untuk berbuat zina apabila ada di antara orang tua mereka tidak setuju.Â