Prolog
Artikel ini mengangkat isu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang melibatkan dua kasus: satu dengan korban non-disabilitas dan satu dengan korban tunanetra. Ria, mahasiswa semester empat Program Studi Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, melakukan wawancara dengan Nilo Putu Mariani, seorang paralegal dan penjahit di Denpasar, Bali. Putu bekerja di Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Badung, mendampingi korban KDRT dalam memperjuangkan hak dan keadilan.
Putu menceritakan dua kasus yang saat ini ia tangani. Salah satunya telah memasuki proses pengadilan setelah gagal mencapai kesepakatan melalui mediasi, sedangkan kasus lainnya masih dalam tahap mediasi. Perjuangan korban untuk melawan ketidakadilan membutuhkan dukungan mental dan keberanian, aspek yang sangat ditekankan oleh Putu dalam setiap pendampingannya.
Dalam Surah An-Nisa ayat 135, Allah menekankan pentingnya keadilan:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kalian penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau kedua orang tua dan kerabatmu. Jika dia kaya ataupun miskin, Allah lebih tahu kemaslahatannya.” (QS. An-Nisa [4]: 135).
Ayat ini mengingatkan bahwa kita harus menegakkan keadilan tanpa memandang status sosial atau hubungan pribadi. Dukungan masyarakat sangat dibutuhkan untuk membantu korban KDRT dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan fisik maupun mental.
Kasus-Kasus KDRT: Sebuah Wawancara
Pada pertemuan ketiga ini, Ria kembali melakukan wawancara dengan Putu untuk lebih mendalami kedua kasus yang sedang ia tangani. Berikut rangkuman dari dua kasus tersebut:
1. Kasus Non-Disabilitas:
Kasus ini telah melalui empat kali mediasi selama dua tahun, tetapi korban belum berani melaporkan kekerasan tersebut ke jalur hukum karena keterbatasan finansial dan kurangnya dukungan keluarga. Kekerasan yang dialami bersifat verbal dan terjadi melalui media sosial, menyebabkan trauma emosional.
2. Kasus Disabilitas Tunanetra: