Mohon tunggu...
Richa Sandoro
Richa Sandoro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penyadang Disabilitas.

Saya seorang oendang disabilitas yang ingin mengembangkan kemampuan menulis saya menjadi lebih baik dan menghasilkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keponakan Hilang Kaki Sang Paman Tak Punya Hati

15 Oktober 2024   14:09 Diperbarui: 15 Oktober 2024   14:23 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sudahlah, buat apa anaknya disekolahin lagi? Toh, dia nggak akan jadi apa-apa."

Kira-kira begitulah kata-kata yang sampai di telinga ayahku. Waktu itu, ayah bergegas mencari orang yang mengucapkannya, membawa perasaan sedih, marah, dan kecewa. Yang membuat luka lebih dalam, kalimat itu keluar dari mulut seseorang yang sangat dekat dengan ayah---keluarganya sendiri.

Seharian ayah mencari orang tersebut, ingin bertanya langsung maksud dari kata-kata yang begitu menusuk hati. Tapi, tak ada hasil. Setelah berjam-jam, ayah pulang dengan langkah lesu dan wajah penuh kekecewaan.

Ayah adalah anak keempat dari lima bersaudara. Di atasnya ada tiga kakak laki-laki, dan di bawahnya seorang adik perempuan. Saat kejadian itu, hidupku baru saja berubah drastis. Aku baru saja menjalani amputasi akibat kecelakaan motor. Ayah menjual kebun karet, satu-satunya warisan yang ia miliki, untuk biaya operasi dan pengobatan.

Kami tinggal di perantauan saat musibah itu terjadi, mencoba mencari nafkah di kampung orang. Tapi karena situasi yang kian sulit, kami memutuskan pulang ke kampung halaman dan tinggal di rumah nenek, ibu dari ibuku. Kami tidak punya rumah lagi. Rumah yang dulu kami tempati telah menjadi sengketa antara kakak tertua ayahku dan adiknya yang paling bungsu. Mereka ingin merebut rumah dan tanah peninggalan kakek. Padahal, secara syariat Islam, semua anak sudah menerima bagian warisan mereka masing-masing, termasuk rumah dan kebun karet. Tapi ayahku memilih mengalah, membiarkan harta itu jatuh ke tangan mereka, walaupun akibatnya kami harus menumpang di rumah nenek.

Masa-masa itu terasa begitu berat. Kami masih harus menjalani rawat jalan sebulan sekali untuk memastikan luka bekas operasi sembuh total. Meski dalam kondisi sulit, ayah tetap berharap aku bisa melanjutkan pendidikan. Kami mempertimbangkan beberapa pilihan, antara kuliah atau kursus komputer di kota kecil dekat desa kami. Belum pasti arah mana yang akan diambil, tapi niat itu selalu ada.

Suatu hari, kakak tertua ayah datang ke rumah, meminjam uang Rp5.000.000 untuk biaya sekolah anaknya yang duduk di kelas 2 SMA. Ayahku tidak bisa meminjamkannya karena uang itu sangat kami butuhkan untuk bertahan hidup. Kedua orang tuaku belum bekerja, dan adikku yang pertama baru masuk SMP, tentu butuh biaya juga.

Yang membuat hati ini semakin teriris, selama musibahku terjadi, paman tak pernah sekalipun membantu kami. Bahkan ketika ayah menjual kebun karet untuk biaya operasi, ia justru meminta bagian dari uang tersebut untuk kebutuhan keluarganya. Saat mereka datang ke rumah sakit pun, mereka meminta uang bensin dan makan dari ayahku.

Sungguh, bukan kehilangan kaki yang membuatku merasa hancur, tapi sikap mereka. Di saat kami jatuh, bukannya membantu, mereka malah mencari keuntungan dari penderitaan kami. Dan ketika keinginan mereka tak terpenuhi, keluarlah kalimat yang begitu menyakitkan itu---kata-kata yang tak hanya merendahkan impian, tapi seolah mencabut harapanku hidup.

Namun, Alhamdulillah, beberapa tahun kemudian, Allah menunjukkan jalan. Setelah mengikuti pelatihan untuk penyandang disabilitas di tingkat provinsi dan nasional, aku berhasil diterima bekerja di salah satu BUMN terkemuka di Indonesia. Sekarang, aku juga melanjutkan studi yang sempat tertunda dulu. Aku sudah di semester lima, mengambil jurusan Ilmu Komunikasi.

Allah juga memberiku kebahagiaan lain---aku menikah dan kini dikaruniai dua anak: seorang putra berusia empat tahun dan seorang putri yang baru berumur satu tahun. Sementara itu, kakak tertua ayah dan istrinya telah meninggal dunia. Ironisnya, mereka wafat tepat ketika aku diterima bekerja di BUMN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun