Mohon tunggu...
Richard R.S. Petrus
Richard R.S. Petrus Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Mahkamah Agung

Hobi Tenis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tindak Pidana Perdangangan Orang Terkait Penipuan Online

3 Desember 2024   10:33 Diperbarui: 3 Desember 2024   11:48 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan kejahatan berat dengan modus operandi yang terus berkembang untuk menjerat lebih banyak korban. International Organization for Migration (IOM) atau Organisasi Internasional untuk Migrasi mencatat terjadinya lonjakan kasus TPPO sekitar 62,5 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terlebih modus baru penjeratan korban telah berkembang selama masa pandemi.

 Lebih lanjut, kasus TPPO ini tidak hanya terjadi di dalam negeri, tetapi juga secara lintas negara.

 Untuk merespon kasus ini, upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana ini telah melibatkan banyak pihak, diantaranya pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan organisasi internasional. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) di Indonesia telah mendukung upaya Pemerintah Indonesia untuk mencegah dan menangani tindak pidana perdagangan orang di Indonesia sejak tahun 2005.

Ketentuan mengenai TPPO diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU 21/2007). Setelah diterbitkannya UU 21/2007, Indonesia meratifikasi Protokol Palermo melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Ratifikasi Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons especially Women and Children 2000.

Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya memerangi perdagangan manusia. Salah satunya, banyak perjanjian dengan negara-negara asing perihal bantuan timbal balik, ekstradisi, dan kerja sama hukum.

Peristiwa TPPO ini bisa jadi melintasi batas-batas negara. Tak hanya di Indonesia, tapi dunia internasional memberikan atensi lebih terhadap kejahatan transnasional ini untuk perdagangan orang sebagai tindak pidana yang harus diberantas.

Perdagangan orang sudah menjadi fenomena global yang mungkin menimpa siapa saja tanpa terkecuali. Perbuatan itu tidak memandang usia, gender, atau status sosial. Di banyak negara, perdagangan orang dikualifikasi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Peristiwanya bisa jadi melintasi batas-batas negara. Itu sebabnya, dunia internasional memberikan atensi, lewat berbagai konvensi dan protokol internasional. Beberapa negara sudah memastikan perdagangan orang sebagai tindak pidana yang harus diberantas.

Tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dikualifikasi sebagai kejahatan kemanusiaan karena pada dasarnya dalam perbuatan ini, korbannya adalah manusia. Memang, ada aspek ekonominya, tetapi komoditasnya adalah manusia. Ini yang membedakan TPPO dibandingkan dengan tindak pidana lain pada umumnya.

"TPPO ini merupakan suatu bentuk kejahatan kemanusiaan khusus. Tidak bisa kita samakan dengan tindak kejahatan lain karena meski ada unsur ekonominya di situ, ini (TPPO---red) komoditasnya adalah orang," kata National Program Officer (NPO) IOM Indonesia, Unit Penanggulangan Perdagangan Orang Migrasi Tenaga Kerja Rizky Hendrawansyah pada Pelatihan kerja sama Mahkamah Agung dan International Organization for Migration (MA-IOM) bertajuk 'Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang Bagi Hakim Peradilan Umum Seluruh Indonesia.

Untuk mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan TPPO, PBB telah melahirkan Konvensi mengenai kejahatan terorganisasi, yang kemudian dikenal sebagai United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC). 

Sebagai pelengkap Konvensi ini, PBB melahirkan tiga protokol, yang dikenal sebagai Palermo Protocol: Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak; Protokol Penentangan Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut dan Udara; dan Protokol Menentang Pembuatan dan Perdagangan Gelap Senjata Api, Suku Cadang dan Komponennya serta Amunisi. 

Di tingkat regional, perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) juga punya Convention against Trafficking in Persons, Especially Women and Children (ACTIP).

Pada dasarnya, penipuan online merupakan tindak pidana yang sama dengan penipuan konvensional yang diatur baik dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan RKUHP 2022 yang telah mendapatkan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR ("RKUHP") yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, yakni pada tahun 2025 mendatang.

Yang menjadi pembedanya adalah media yang digunakan. Menurut Asril Sitompul, penipuan online dalam e-commerce merupakan penipuan yang menggunakan internet untuk keperluan bisnis dan perdagangan sehingga tidak lagi mengandalkan basis perusahaan yang bersifat konvensional dan nyata.

Adapun UU ITE dan perubahannya tidak mengatur eksplisit mengenai penipuan online. Berikut ini bunyi Pasal 28 ayat (1) UU ITE yaitu setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

Namun untuk menentukan apakah seseorang melanggar Pasal 28 ayat (1) UU ITE atau tidak, terdapat beberapa pedoman implementasi yang harus diperhatikan sebagai berikut.

Delik pidana dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE bukan merupakan delik pemidanaan terhadap perbuatan menyebarkan berita bohong (hoaks) secara umum, melainkan perbuatan menyebarkan berita bohong dalam konteks transaksi elektronik seperti transaksi perdagangan daring;

Berita atau informasi bohong dikirimkan melalui layanan aplikasi pesan, penyiaran daring, situs/media sosial, lokapasar (marketplace), iklan, dan/atau layanan transaksi lainnya melalui sistem elektronik;

Bentuk transaksi elektronik bisa berupa perikatan antara pelaku usaha/penjual dengan konsumen atau pembeli;

Pasal 28 ayat (1) UU ITE tidak dapat dikenakan kepada pihak yang melakukan wanprestasi dan/atau mengalami force majeur;

Pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan delik materiil, sehingga kerugian konsumen sebagai akibat berita bohong harus dihitung dan ditentukan nilainya;

Definisi "konsumen" pada Pasal 28 ayat (1) UU ITE mengacu pada UU Perlindungan Konsumen.

Seperti belum lama ini dikabarkan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, 17 WNI terduga korban TPPO telah dipulangkan dari Myanmar ke Indonesia Senin (14/8/2023) kemarin. Sebagai gelombang kedua pemulangan WNI dari Kantor Polisi Myawaddy, Myanmar.

Para WNI diseludupkan ke Myanmar dari Thailand sekitar 6 November sampai dengan 3 Desember 2022. Mereka lantas dieksploitasi pada perusahaan yang mempekerjakan mereka sebagai online scammer di wilayah konflik.

Ketika ditampung KBRI Yangon dan mengikuti rangkaian assessment, hasil screening yang dilakukan oleh International Organization for Migration (IOM) Myanmar mengidentifikasi ke-17 WNI yang terdiri atas 3 wanita dan 14 pria itu sebagai korban trafficking in persons menurut Pasal 3 (a) Protokol Palermo.

"Penggunaan teknologi untuk mencegah kejahatan transnasional menjadi penting. Di sisi lain, teknologi canggih membuat kejahatan transnasional meningkat karena jangkauannya global. Kita juga harus bisa memanfaatkan teknologi canggih untuk menangkal kejahatan transnasional"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun