Ketidaksetaraan gender sudah menjadi isu yang lama tidak terpecahkan di seluruh penjuru dunia, baik di negara maju maupun negara berkembang. Hal ini disebabkan karena pembagian peran, tugas, fungsi, dan status yang tidak seimbang dalam setiap struktur jabatan publik maupun dalam setiap organisasi serta komunitas antara laki-laki dan perempuan.
Indonesia sebagai negara berkembang tidak luput dari ketimpangan gender ini. Keberagaman Indonesia dengan berbagai suku, bahasa, budaya, dan agama seolah-olah mewajarkan kondisi ini sebagai sebuah keniscayaan. Dominasi kaum laki-laki dalam sebuah organisasi atau institusi publik sebagai pemimpin dianggap sebagai hal yang normatif padahal kompetensi kepemimpinan kaum perempuan tidak kalah kualitas dibandingkan kaum laki-laki.
Dalam bentangan sejarah Indonesia, rakyat di negeri ini pernah merasakan kepemimpinan dari sosok perempuan dalam berbagai bidang seperti Cut Nya Din, Cut Meutia, R.A. Kartini, Megawati Soekarno Putri, dan masih banyak daftar perempuan Indonesia yang cukup berpengaruh. Bertepatan dengan hari jadinya ini, tidak berlebihan bila dari daftar nama di atas, saya menyebut yang lebih mentereng adalah R.A Kartini.
Sayangnya sepak terjang Kartini di masa lalu jarang dijadikan refleksi kaum perempuan di masa kini. Kebesaran Kartini juga tidak serta-merta mengubah pandangan publik yang menghubungkan kemampuan individu dalam memimpin dengan aspek biologis yang melekat pada diri sang pemimpin, khususnya berdasarkan pada perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Meskipun pandangan ini dicurigai sebagai pandangan patriarki namun faktanya kaum perempuan juga kerap mengamini hal yang sama. Ini yang menjadi persoalan.
Berbagai sajian literatur dan hasil riset pada umumnya menyatakan ketidaksetaraan gender dipengaruhi oleh dominasi kuat budaya patriarki. Kaum laki-laki adalah kaum yang lebih mendominasi dibandingkan dengan perempuan oleh karena pengaruh budaya patriarki yang membawa implikasi dalam setiap bidang kehidupan.
Akan tetapi yang luput dari perhatian publik adalah kegagalan kaum perempuan menaklukan dirinya sendiri dan membebaskan dirinya dari pandangan publik yang diskriminatif. Terhadap hal ini, Kartini mesti dijadikan contoh.
Kartini kala itu hidup dalam pengaruh budaya patriarki yang berimpilikasi terhadap semua bidang kehidupan. Ini berarti ketimpangan gender sudah mulai mengganas kala itu. Namun kondisi itu tidak menyurutkan semangat Kartini untuk membuat dirinya menjadi besar. Kondisi keterbelakangan dan tingkat pendidikan masyarakat yang waktu itu nihil tentu menghadirkan persepsi masyarakat terhadap kaum perempuan yang lebih kejam dari pada hari ini.
Lagi pula para pejuang gender dan gerakan feminisme waktu itu mungkin baru tercipta sebatas ide, gagasan dan wacana atau sedikit bila ada. Artinya Kartini berjuang tanpa legitimasi masyarakat ataupun organisasi luar yang mumpuni. Dan satu hal yang penting, Kartini berjuang menjadi besar tanpa terang-terangan menuduh budaya patriarki sebagai budaya yang keliru.
Kondisi sebagaimana digambarkan di atas tentu berbeda dengan hari ini. Hari ini meskipun ketimpangan gender masih terlihat di mana-mana namun banyak organisasi feminisme dan ruang-ruang kebijakan dibuka untuk memberikan peluang sebesar-besarnya kepada kaum perempuan agar dapat mengaktualisasikan dirinya dan sejajar dengan kaum laki-laki. Pemerintah juga tak henti-henti melahirkan program-program pemberdayaan perempuan untuk mengatasi implikasi budaya patriarki. Meskipun demikian tak banyak kaum perempuan yang lahir sebagai Kartini baru. Setiap bidang kehidupan tampaknya masih dikuasai oleh peran laki-laki.
Saya mengambil bidang politik sebagai contoh. Bidang ini memberikan kegelisahan bahwa perempuan selalu kalah dalam urusan keterwakilan politik meskipun secara demografis nyaris sama. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 demografi jumlah perempuan di Indonesia tidak jauh berbeda. Dari total 273 juta jiwa penduduk, penduduk Laki-laki: 138.303.472 jiwa atau 50,5% dan penduduk perempuan: 135.576.278 jiwa atau 49,5%.
Data di atas memperlihatkan bahwa tingkat probabilitas peluang keterwakilan politik antara laki-laki dan perempuan adalah seimbang. Artinya laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan politik tertentu. Namun fakta menyatakan bahwa keterwakilan laki-laki dan perempuan tidak berimbang dari setiap Pemilu (Pemilihan Umum) bahkan keterwakilan perempuan di parlemen berada jauh di bawah standar 30% yang ditetapkan pemerintah sejak Pemilu digelar secara langsung pada 2004.
Sesungguhnya di tengah tekanan dan dominasi patriarki terdapat 'oase' yang menjanjikan bagi kaum perempuan untuk merengkuh posisi puncak kepemimpinan. Bahwasannya dalam ketidakberdayaan perempuan di tengah dominasi budaya patriarki masih ada modal perempuan untuk merengkuh posisi puncak kepemimpinan.
Perempuan bukanlah sebuah botol kosong. Kaum ini memiliki kelengkapan pribadi yang utuh sebagaimana dimiliki kaum laki-laki. Namun ini semua terpulang kepada kaum perempuan. Mampukah kaum ini meneladani Kartini tanpa harus melibatkan isu patriarki sebagai bagian dari mekanisme 'pembelaan diri'? Melibatkan isu daya rusak patriarki terhadap ketidakberdayaan perempuan tidak dilarang. Bahkan implikasi budaya patriarki yang meremehkan kekuatan kaum perempuan harus dilawan. Tetapi isu patriarki tidak harus menjadi alasan utama bagi kaum yang melahirkan kaum laki-laki ini menjadi nyaman dalam zona ketimpangan gender dan puas dengan apa yang ada. Majulah perempuanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H