Data di atas memperlihatkan bahwa tingkat probabilitas peluang keterwakilan politik antara laki-laki dan perempuan adalah seimbang. Artinya laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan politik tertentu. Namun fakta menyatakan bahwa keterwakilan laki-laki dan perempuan tidak berimbang dari setiap Pemilu (Pemilihan Umum) bahkan keterwakilan perempuan di parlemen berada jauh di bawah standar 30% yang ditetapkan pemerintah sejak Pemilu digelar secara langsung pada 2004.
Sesungguhnya di tengah tekanan dan dominasi patriarki terdapat 'oase' yang menjanjikan bagi kaum perempuan untuk merengkuh posisi puncak kepemimpinan. Bahwasannya dalam ketidakberdayaan perempuan di tengah dominasi budaya patriarki masih ada modal perempuan untuk merengkuh posisi puncak kepemimpinan.
Perempuan bukanlah sebuah botol kosong. Kaum ini memiliki kelengkapan pribadi yang utuh sebagaimana dimiliki kaum laki-laki. Namun ini semua terpulang kepada kaum perempuan. Mampukah kaum ini meneladani Kartini tanpa harus melibatkan isu patriarki sebagai bagian dari mekanisme 'pembelaan diri'? Melibatkan isu daya rusak patriarki terhadap ketidakberdayaan perempuan tidak dilarang. Bahkan implikasi budaya patriarki yang meremehkan kekuatan kaum perempuan harus dilawan. Tetapi isu patriarki tidak harus menjadi alasan utama bagi kaum yang melahirkan kaum laki-laki ini menjadi nyaman dalam zona ketimpangan gender dan puas dengan apa yang ada. Majulah perempuanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H