Meringkas dari beberapa pendapat di atas, kesetaraan diperoleh melalui distribusi keadilan yang merata termasuk kepada masyarakat yang kurang beruntung (di Indonesia banyak masyarakat yang kurang beruntung), pemerataan Ekosospol dan bahkan yang paling radikal adalah penghapusan kelas untuk kesamaan akses terhadap sumber daya. Sekali lagi kesetaraan bukan diperoleh melalui keseragaman pakaian, apalagi seragam sekolah.
Pencapaian kesetaraan melampaui penyeragaman pakaian sekolah. Belajar dari filsafat Aristoteles tentang hilemorfisme di mana Hyle dan morphe membentuk satu realitas, maka seragam sekolah tidak hadir sebagai salah satu unsur di atas yang membentuk realitas kesetaraan. Oleh karena itu seragam sekolah bukanlah hyle (materi) yang terbentuk dari kesetaraan atau sebaliknya ia bukan morphe (forma) yang membentuk kesetaraan.
Atas dasar refkleksi filosofis di atas, maka menjadikan seragam sekolah sebagai sarana kesetaraan adalah 'omon-omon', justru seragam sekolah adalah paradoks kesetaraan sebab penggunaan seragam sekolah tidak serta merta menghilangkan perbedaan status sosial, latar belakang ekonomi dan budaya melainkan sebaliknya.
Cukup dari perspektif ekonomi saja, seragam sekolah sudah dapat dibuktikan sebagai fakta paradoks kesetaraan. Mewajibkan penggunaaan seragam sekolah kepada siswa/siswi yang memiliki latar belakang ekonomi yang berbeda memberikan beban ekonomi kepada keluarga yang memiliki penghasilan ekonomi rendah. Keluarga yang berkecukupan memandangnya bukan sebagai beban karena tidak berdampak pada sisi ekonomi. Akan tetapi bagi keluarga yang kurang mampu akan menurunkan 'saldo' penghasilan dan jelas ini akan menimbulkan disparitas ekonomi. Jurang pemisah antara kaya dan miskin semakin melebar.
Satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan adalah dalil seragam sekolah yang berpengaruh terhadap kualitas pendidikan. Sulit bagi saya untuk menarik sebuah konklusi di atas premis-premis fiktif bahwa penyeragaman pakaian kepada peserta didik dapat menumbuhkan minat belajar yang tinggi. Berkaca dari pengalaman pribadi, ekspresi dan kreativitas diri lebih tercipta dengan bebas jika tidak dihalangi oleh ketidaknyamanan terhadap aturan eksternal yang masuk menjamah urusan privasi.
Saya kira ilmu psikologs juga mengamini hal yang sama. Bahwasannya hambatan perkembangan dan kreativitas remaja dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor psikologis salah satunya adalah tekanan sosial. Tekanan dari luar diri seperti tekanan dari teman sebaya, keluarga, dan atau masyarakat umumnya dapat menjadi hambatan bagi perkembangan remaja. Tekanan dalam masyarakat dapat dipahami berupa seperangkat aturan/regulasi yang mengekang aktualisasi diri.
Ya, aturan seragam sekolah juga belum tentu disukai oleh semua peserta didik yang adalah usia remaja sehingga pasti akan menghambat kreativitas dan pengembangan diri melalui belajar. Pada aras pemahaman ini maka penggunaan seragam sekolah untuk kualitas belajar (pendidikan) adalah keadaan paradoksal.
Apabila seragam sekolah adalah kesetaraan paradoksal, apakah isu ini perlu diformulasikan ke dalam kebijakan publik? Apakah tangan negara harus menjamah jauh ke dalam urusan pakaian? Benar bahwa negara ini bukan negara liberal tetapi urusan seragam pakaian tidak harus didikte oleh negara.Â
Menurut saya negara cukup mengatur penggunaan pakaian sekolah (bukan seragam sekolah) sesuai standar etika ketimuran dengan memasukan simbol-simbol kebangsaan. Toh, ada negara di luar sana yang tidak mewajibkan seragam sekolah seperti Kanada atau Amerika Serikat yang prestasi pendidikannya lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Kita tidak harus menelan mentah-mentah apa yang dilakukan negar-negara itu, tetapi setidaknya kita belajar dari bagaimana negara memasukan simbol-simbol negara dan menerapkan prinsip-prinsip etis ke dalam urusan pakaian tanpa harus menimbulkan perdebatan atau resistensi publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H